Opini Pos Kupang

Mempersoalkan Kewarganegaraan Bupati Terpilih

TERSIBAKNYA persoalan tentang status kewarganegaraan Bupati Terpilih Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore (OPRK) menarik untuk disimak

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Mempersoalkan Kewarganegaraan Bupati Terpilih
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh: Robert Bala (Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol)

POS-KUPANG.COM - TERSIBAKNYA persoalan tentang status kewarganegaraan Bupati Terpilih Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore (OPRK) menarik untuk disimak. Ia telah memunculkan aneka tanggapan hal mana ingin diperjelas (semoga) dalam tulisan ini.

Selain itu, postingan video klarifikasi dari yang bersangkutan telah memberikan sedikit gambaran tentang masalah di baliknya. Di sana, OPRK menyampaikan bahwa ia lahir dan bersekolah hingga PT, meski kemudian ia menjadi Warga Negara (WN) Amerika Serikat (AS).

Sebagai guru PKn, masalah seperti ini dapat menjadi topik menarik diskusi. Di tengah pandemi, anak-anak dihadapkan pada kasus menarik. Anak-anak dihadapkan pada permasalahan kontekstual dan bisa terpacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Pengolahan Sampah Medis

Tentu saja dalam diskusi ini tidak dikaitkan apakah Bupati terpilih Sabu Raijua adalah orang yang kompeten atau tidak sehingga terpilih. Juga tidak akan membicarakan tentang panggilan rohani (termasuk pesan mendiang orang tua untuk membangun kampung halaman kalau sukses) untuk membangun daerahnya di tengah korupsi yang merajalela. Tulisan ini akan fokus pada problem kewarganegaraan.

Dwi Kewarganegaraan Terbatas

Mendengar pengakuan OPRK bahwa memiliki kewarganegaraan asing (AS), padahal ia juga sejak lahir hingga kuliah di Indonesia, maka persoalannya sebenarnya terletak pada status kewarganegaraan.

KUNCI Jawaban Tema 7 Kelas 5 Halaman 83-86 & 78-82 Siapa yang Membuat & Membacakan Teks Proklamasi?

Tepatnya, apakah Indonesia atau AS menganut dwi kewarganegaraan? Bagi AS (hal mana perlu diteliti lebih jauh) bisa saja menerapkan sistem dwi kewarganegaran. Artinya seseorang bisa menjadi WN AS, tetapi pada saat bersamaan ia tidak kehilangan warga negara asalnya. Ia punya dua (dwi) kewargangeraan.

Persoalan ini bisa muncul kalau OPRK melamar jadi calon bupati di AS. Misalnya saja menurut UU Pemilu di sana, seseorang hanya bisa jadi calon bupati kalau hanya boleh memiliki satu kewarganegaran, maka OPRK tidak akan lolos.

Tetapi bila dimungkinkan akan adanya dwi kewarganegaraan, maka OPRK bisa menjadi bupati di sana (ini pengandaian).

Pertanyaan tentang dwi kewarganegaraan justru menjadi lebih penting untuk dibahas di Indonesia. Apakah Indonesia menganut juga dwi kewarganegaraan, dalam arti ketika seseorang pindah menjadi WN di negara lain, ia masih tetap memiliki status WNI?

Bila mengacu pada UU No 12 Tahun 2006 maka jawabannya jelas. Indonesia hanya mengakui dwi kewarganegaraan secara terbatas. Hal ini hanya mungkin untuk dua syarat yaitu: anak yang lahir dari perkwainan campur dan anak yang lahir di negara yang menerapkan `ius soli' (penentuan kewarganegaraan sesuai tempat lahir) dan menyatakan pilihannya sampai berumur 21 tahun untuk menjadi WNI.

Bila bertolak pada dasar ini maka tidak ada status dwi kewarganegaraan untuk OPRK. Jelasnya, ketika menjadi WN AS, maka dengan sendirinya OPRK tidak lagi menjadi warga negara Indonesia. Kewarganegaraan negaraan Indonesia hilang dengan sendirinya.

Yang jadi pertanyaan: OPRK masih memiliki KTP hal mana tertulis pernah jadi warga Jakarta dan kemudian sesuai aturan Pilkada, ia kembali mencatatkan diri di Dinas Dukcapil Kupang. Menjawabi pertanyaan ini sebenarnya sederhana saja tentang perbedaan warga negara dan penduduk.

Penduduk adalah orang-orang yang menempati suatu wilayah di suatu negara. Jadi, penduduk Indonesia adalah orang-orang yang tinggal atau menempati wilayah di Indonesia. Itu berarti, WNA yang tinggal untuk periode waktu tertentu, menjadi penduduk Indonesia. Mereka juga bisa memperoleh "Kartu Tanda Penduduk" atau KTP.

Hal ini mengingatkan kita tentang keheboan warga Tiongkok yang punya KTP. Hal itu tidak ada masalah karena mereka memiliki KTP tetapi mereka tidak bisa ikut pemilu karena bukan warga negara. Di AS dikenal sebagia `green card' atau di Spanyol dikenal dengan `carne/ cedula de identidad'.

Warga negara sementara itu diartikan sebagai orang-orang yang menempati wilayah di suatu negara dan diakui secara hukum. Merekalah yang diizinkan mengikuti pemilu karena secara hukum mendiami sebuah wilayah.

Bila kembali kepada persoalan, maka OPRK bukan WNI karena ia telah menjadi WN AS. Hal itu terbukti juga dengan paspor AS yang dimiliki. Ia juga sebenarnya bukan penduduk Indonesia karena tidak menempati Indonesia untuk periode lama secara bersinambungan. Ia bisa saja sering pulang Indonesia mengunjungi keluarga tetapi hanya untuk berlibur mengingat statusnya adalah WN Asing.

Jalan Keluar

Bagaimana bisa keluar dari persoalan seperti ini? Pertama, pesoalan ini telah menunjukkan kepincangan dan celah yang masih terdapat dalam UU kewarganegaraan kita. Jelasnya, WNA yang punya KTP Indonesia (karena tinggal di Indonesia) tidak ikut pemilu (karena bukan WNI) tetapi `orang asing' (OPRK) yang WNA bisa mencalonkan diri dan lolos menjadi bupati di Indonesia.

Hal ini terjadi karena pemahaman kita yang minimalis tentang perbedaan penduduk dan warga negara (hal mana perlu kita perhatikan ke depannya). Mestinya orang yang mencalonkan diri sebagai pejabat publik (terutama bagi mereka yang memiliki masalah kewarganegaraan), perlu mendapatkan keterangan dari kantor keimigrasian dan bukan hanya KTP. Ini penting karena memilih dan dipilih hanya untuk warga negara Indonesia dan bukan untuk penduduk Indonesia.

Kedua, masalah kewarganegaraan perlu menjadi masukan bagi pemerintah dalam menata UU Pemilu/Pemilukada. Harus diakui, persoalan yang terjadi di Sabu Raijua bisa saja karena hal itu tidak ditulis secara detail dan diberikan catatan khusus tentang pemilu dengan mengklarifikasi tentang status warga negara dan penduduk.

Pengakuan akan hal ini (dan pembenahan ke depan) tidak sendirinya membatalkan hasil yang ada. KPU maupun Bawaslu telah menerapkan peraturan dengan melampirkan persyaratan. Dengan demikian OPRK secara sah dan prosedural dan telah memenuhi semua persyaratan.

Permasalahan ini akan menjadi lain kalau OPRK mengakui bahwa semestinya ia tidak hanya mengikuti persyaratan minimalis. Ia tahu bahwa sesungguhnya ia bukan WN Indonesia meski punya KTP. Pengakuan itu akan lebih baik dan persoalan akan selesai.

Ketiga, persoalan OPRK sebenarnya bukan hal baru (dan tidak perlu diperdebatkan). Kasus serupa justru pernah terjadi dengan calon menteri ESDM, Arcandra Tahar di tahun 2014 lalu. Ia terpilih jadi menteri padahal sudah menjadi WN AS. (Kemungkinan ini bisa saja telah diambil oleh OPRK sebagai salah satu alasan).

Kalau masalah ini telah terjadi dan bisa menjadi yurisprudensi, maka sesungguhnya pemrosesan di AS agar OPRK menjadi WNI adalah hal yang bisa dipahami (meski seharusnya ke depannya hal ini tidak mesti terjadi). Jelasnya, hal ini perlu jadi pembelajaran berharga. *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved