Kudeta di Myanmar, Warga Protes dengan Memukul Panci dan Membunyikan Klakson

Bentuk penentangan yang pada awalnya hanya akan berlangsung selama beberapa menit akhirnya berlangsung lebih dari 15 menit di beberapa perkampungan

Editor: Agustinus Sape
ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/cfo
Polisi menahan aktivis saat protes atas patung Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar dan ayah dari pemimpin Aung San Suu Kyi di Loikaw, negara bagian Kayah, Myanmar, Kamis (7/2/2019). Foto diambil tanggal 7 Februari 2019. 

"Kita tidak bisa menerima diktator dan pemerintahan yang tidak dipilih secara sah," kata Myo Thet Oo, seorang dokter yang ikut dalam kampanye, yang bekerja di lota Lashio,sekitar 500 km dari ibukota yang baru Naypyidaw.

"Mereka bisa menahan kita kapan saja. Kami sudah memutuskan untuk menghadapinya.

"Kami semua memutuskan untuk tidak lagi pergi ke rumah sakit."

Pembangkangan sipil

Seorang politisi senior yang sangat dekat dengan Aung San Suu Kyi juga menyerukan kepada warga untuk menentang militer lewat pembangkangan sipil.

Win Htein salah seorang ketua di Liga Nasional Bagi Demokrasi (NLD) berbicara hari Selasa (02/02) dari kantornya yang kecil di ibukota Naypyidaw, tidak jauh dari lokasi di mana ratusan politisi yang terpilih lewat pemilu November lalu ditahan.

"Kutukan kudeta sudah mengakar di negeri ini, dan itulah alasannya mengapa negeri kita tetap miskin. Saya merasa sedih dan kecewa bagi para warga dan juga masa depan mereka," kata mantan tahanan politik itu.

"Semua pemberi suara yang sudah mendukung kami dalam pemilu tahun 2020 harus mengikuti perintah Aung San Suu Kyi untuk melakukan pembangkangan sipil," katanya mengacu pada catatan yang diposting di Facebook hari Senin (1/2).

Kudeta ini adalah ujian bagi masyarakat internasional sekaligus memperlihatkan bahwa sebenarnya yang masih berkuasa di Myanmar adalah para jenderal, meskipun selama 10 tahun terakhir sudah ada pembicaraan mengenai reformasi yang demokratis.

Sebelumnya negara-negara Barat telah menyambut baik perjalanan ke arah demokrasi dengan mencabut sanksi yang sudah diterapkan sebelumnya.

Sekarang Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyebut tindakan militer itu sebagai 'serangan langsung terhadap transisi demokrasi dan penegakan hukum' dan mengancam akan menerapkan sanksi baru.

Dewan Keamanan PBB sudah mengadakan pertemuan darurat hari Selasa (2/2/2021) tetapi tidak mengambil tindakan apapun.

Partai NLD juga telah mengeluarkan pernyataan yang menyerukan militer untuk menghormati hasil pemilihgan umum dan melepaskan semua orang yang ditahan.

"Pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan Panglima Angkatan Bersenjata merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, dan juga tidak mengindahkan hak kedaulatan rakyat," kata NLD.

Kudeta ini menggambarkan kekuasaan rapuh yang dipegang oleh Suu Kyi sejak tahun 2015 ketika partainya memenangkan pemilu, namun pemenang Nobel Perdamaian ini tidak bisa menjadi presiden.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved