Breaking News

Opini Pos Kupang

Protokol Keadilan dalam Sengketa Pilkada

Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) pada 9 Desember 2020 kemarin menimbulkan fluktuasi rasa puas di antara para pasangan calon ( Paslon)

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Protokol Keadilan dalam Sengketa Pilkada
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Kristianto Naku, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

POS-KUPANG.COM - Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) pada 9 Desember 2020 kemarin menimbulkan fluktuasi rasa puas di antara para pasangan calon ( Paslon). Dari beberapa paslon, kebanyakan yang menjadi the winner adalah para pendatang baru.

Paslon incumbent atau petahana sebagian besar gagal meraih suara konstituen.  Para pengamat politik dan analis menilai, faktor-faktor penentu, seperti uang, kekuasaan, track record, dan popularitas justru tak berstamina dalam mengawal langkah para petahana menuju kursi kekuasaan.

Alhasil, banyak petahana yang merasa kurang puas dengan perolehan suara yang ada. Rasa tidak puas ini, kemudian dikelola dengan menempuh jalur hukum. Dari informasi hasil perolehan suara yang ada di berbagai tempat penyelenggara pilkada, beberapa paslon berusaha membawa hasil keputusan yang dirasa kurang memuaskan ke meja Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Abraham Badu Sesalkan Peserta Pemakaman Pasien Covid-19 tak Kenakan APD Lengkap

Putusan MK nantinya menjadi final decision yang akan diterima oleh masing-masing paslon yang berkeberatan. Ketika sengketa pilkada ramai-ramai digotong ke MK, rasa penasaran dan kecurigaan memang tak mudah dikelola.

Soalnya, sejarah telah mencatat bagaimana lembaga peradilan ini menggunakan kewenangannya dalam membuat sebuah putusan. Di tangan MK, putusan bisa bermuatan ganda: adil sesuai fakta hukum atau adil sesuai fakta besaran bayaran. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, meski MK sudah memakai jubah keadilan dan menyandang status "Yang Mulia."

Baca juga: Pembayaran Sisa Pekerjaan Enam Puskesmas Prototipe Dibayarkan Tahun 2022

Sejak Mantan Ketua MK Akil Mochtar dipukat KPK pada tahun 2013 karena terbukti menerima suap selama sidang sengketa Pilkada, indeks kepercayaan publik atas wibawa MK turun drastis.

Saat itu, MK menuai banyak kritik dari masyarakat terkait kode etik penyalahgunaan wewenang. Lembaga peradilan ini diserang habis-habisan karena cara kerja dan perilaku para hakim yang tak senonoh. Seharusnya, sebagai penyandang gelar "Yang Mulia," hakim MK menjadi representasi dari dewi keadilan.

Dalam semua kasus sengketa pilkada yang dibawa ke MK, ada oknum-oknum tertentu yang berupaya menyelipkan santunan berjumlah fantastis dalam memborong hasil putusan.

Keadilan dengan demikian tak jauh berbeda dengan upaya melelang barang dagangan. Semakin besar tawaran yang dikeluarkan, semakin mudah bagi "Yang Mulia" untuk menetapkan kata adil. Maka, keadilan dalam hal ini pun, hadir dalam dua rupa: adil secara hukum dan adil sesuai fakta finansial.

Dalam ruang sidang, hakim MK tentunya bertugas sebagai penutur keadilan sesuai dengan bukti-bukti perkara dan fakta-fakta hukum. Sebagai penutur, ia tentunya bertindak netral tanpa adanya tekanan dari pihak manapun -baik keluarga, jabatan, kuasa tugas, maupun besaran isi amplop yang disodorkan.

Maka, protokol kewenangan dalam hal ini perlu dijaga dan diperketat demi mempermudah proses pengawasan. Jaga jarak antara hakim MK dan mereka yang bersengketa menjadi protokol yang wajib diterapkan di dalam maupun di luar ruang sidang.

Fakta kecurangan di lembaga Yudikatif ini memang kerapkali terjadi. Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa kecurangan di ruang MK potensial terjadi karena banyak faktor.

Salah satu diantaranya adalah soal kebocoran putusan (MI, 2/1/2020). Putusan yang bolong bisa saja digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menekan pihak yang bersengketa. Ketika bocoran putusan bisa dibeli, dengan demikian wibawa MK akan mudah diperjualbelikan.

Putusan yang bocor umumnya dipakai oleh tim kuasa hukum masing-masing pihak yang bersengketa. Dengan membujuk hakim MK, kuasa hukum bisa mendapatkan informasi hasil putusan secara dini. Bocoran putusan ini kemudian dipakai sebagai jerat, agar kuasa hukum dapat menodong kliennya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved