Opini

Perempuan Berhati Bumi

Opini ini ditulis bertepatan dengan peringatan hari Perempuan yang jatuh pada tanggal 22 Desember 2020. Kiranya opini bisa menyadarkan semua pihak.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Perempuan Berhati Bumi

Oleh Steph Tupeng Witin

Penulis, Jurnalis, Alumnus Magister Jurnalistik Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta

“PEREMPUAN adalah bumi, yang menumbuhkan padi dan singkong, tetapi juga yang akhirnya memeluk jenazah-jenazah manusia yang pernah dikandungnya dan disusuinya” (Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Rantau (2016).

Lukisan Romo Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Rantau edisi cetak ulang kedua tahun 2016 di atas menarasikan eksistensi seorang ibu khususnya dan perempuan umumnya. Bumi adalah ruang hidup, area kaki berpijak, lokasi menenun hidup dan dermaga kepulangan manusia. Bumi menjadi ruang hidup kedua setelah seorang anak manusia “terlempar” dari rahim ibu dalam keadaan hidup yang ditandai tangisan pertama dan menjadi palungan terakhir ketika seorang anak manusia mengakhiri hidup yang disertai tangisan kekasih dan sahabat. Maka bumi adalah segala-galanya bagi segenap makhluk hidup.

Bagi Romo Mangun, perempuan khususnya ibu menjadi segala-galanya bagi seorang anak manusia. Rahimnya subur menumbuhkan hidup yang disimbolkan oleh padi dan singkong yang juga merupakan sumber hidup bagi segenap makhluk. Seorang perempuan (ibu) menjadi sumber hidup yang mengestafetkan kehidupan itu kepada kehidupan yang lain yang akan terus berputar membentuk sebuah lingkaran hidup sepanjang waktu. Perputaran yang abadi itulah yang mengabadikan hidup sampai detik ini. Bahkan keberlanjutan hidup itu tetap berpusat pada rahim seorang ibu ketika “kehidupan” ini mencapai kulminasinya.

Sebuah lukisan yang menarasikan energi hidup dari seorang perempuan (ibu). Proses tumbuh kembang kehidupan (padi dan singkong) bukan sebuah kerja instan. Ada keringat, air mata, tantangan dan beban yang menindih pundak lembut seorang ibu hingga akhir. Maka seorang perempuan (ibu) adalah ziarah hidup yang abadi. Prasasti kemanusiaan universal. Monumen hidup yang dilukiskan oleh Nawal e Sadawi sebagai “kisah hidup seorang wanita sejati” dalam novel Perempuan di Titil Nol (YOI, 2003). Ibu mulai menenun sebuah kehidupan dari titik nol saat matahari menyebarkan berkas cahaya, berjuang merawat hidup dalam dunia yang dihujani panas terik hingga senja hadir mengubur hari sekaligus menyibak kekelaman.

Hari ibu yang diperingati setiap akhir tahun tidak sekadar sebuah ritus tahunan untuk memuja-muja kaum perempuan khususnya ibu. Peringatan hari ibu juga bukan seperti sebuah film usang yang diputar ulang setiap akhir tahun hanya untuk menyenangkan kaum perempuan tanpa makna. Narasi hidup perempuan khususnya kaum ibu di ruang publik telah menjadi prasasti sejarah yang tragis dan getir. Kaum perempuan khususnya ibu-ibu telah menjadi tumbal kemanusiaan yang menyejarah. Maka peringatan Hari Ibu mesti disertai penghentian upaya infantil menyenangkan kulit kemanusiaan tanpa menyentuh jiwa lembut mereka yang kadang melakukan perlawanan hanya bersenjatakan air mata nan tulus.

Berbagai referensi sastra, musik, riset, diskusi dan sebagainya membuktikan bahwa perempuan dan kaum ibu identik dengan beban derita. Selama masa pandemi Covid-19 ini banyak perempuan yang menangis dalam diam. Beban hidup terasa berat menindih pundah lembutnya. Penderitaan terasa lebih berat tak tertanggungkan mesti dipikul kaum ibu yang berperan ganda dalam rumah tangga. Setiap hari baru adalah dentuman tanda tanya retoris: apakah cahaya matahari masih sanggup mencahayai hidupku dan anak-anak pada hari ini?

Di ruang publik media sosial, kita temukan banyak perempuan yang menahan kepedihan mendalam karena perlakuan kekerasan berbasis jender dengan pelaku utama kaum lelaki. Ada pelecehan seksual dalam jaringan (daring) atau online yang menyerang tubuh perempuan disertai pemerasan yang berbingkai ancaman kekerasan.

Menurut laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan, pada tahun 2020 ada 659 kasus, meningkat dari 281 kasus pada tahun 2019.  Kekerasan berbasis jender daring didefinisikan sebagai kekerasan menggunakan teknologi digital terkait ketubuhan perempuan sebagai obyek seksual (Kompas 14/12/2020).

Selama masa pandemi ini, perempuan mengalami serangan fisik dan psikis yang kian berat menindih pundak. Kaum perempuan menjadi kelompok pinggiran rentan kekerasan yang melalui hidupnya dengan kepedihan. Perempuan (ibu) termasuk kelompok orang kecil yang dilukiskan Mangunwijaya dalam kumpulan cerita pendek Rumah Bambu (2000) sebagai orang-orang kalah yang terpaksa mengisi spasi antara kelahiran dan kematian dengan hanya bertahan serta menelan kepahitan dan kekalahan. Mereka tersingkir dan dipinggirkan akibat buasnya jagat kapitalistik yang didominasi orang-orang kaya yang punya kuasa dan berjejaring dengan kelompok kuat lain.

Patriotisme Perempuan

Peringatan Hari Ibu bermula dari penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia III pada 22-27 Juli 1938 di Bandung. Momen peringatan Hari Ibu dipilih karena bertepatan dengan Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928. Kongres perempuan tangguh ini dilatarbelakangi kesamaan pandangan untuk mengubah nasib perempuan di Indonesia. Kala itu, organisasi perempuan dari Sumatera dan Jawa berkumpul untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan menyatukan gagasannya di Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Mereka ingin membangun kesadaran kaum perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya. Isu yang didiskusikan Kongres Perempuan pertama pada 22-25 Desember 1928 adalah pendidikan bagi anak perempuan, perkawinan anak, kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang.

Organisasi perempuan menjadi solusi untuk memperjuangkan eksistensi perempuan melawan dominasi laki-laki yang kuat masa itu. Dominasi kekuasaan yang direpresentasi kaum laki-laki (mungkin kehilangan jiwa kelembutan perempuan) itu terus saja terulang dengan resonansi kasus yang lebih beraneka. Dominasi kekerasaan ini merupakan kecelakaan sejarah yang lestari di tengah gencarnya berbagai upaya advokasi perlawanan dari semua orang berkehendak baik yang berintensi luhur memproteksi tubuh indah kaum perempuan dari dominasi kelaparan segelintir kaum perempuan dan laki-laki yang memiliki sepotong kuasa pongah.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved