Relawan Ini Ungkap Alasan Pengungsi Ile Lewotolok Tak Mau Pindah ke Posko Utama
Sejak Sabtu kemarin, Pemkab Lembata melakukan evakuasi terhadap pengungsi erupsi Ile Lewotolok yang melakukan evakuasi mandiri
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA - Sejak Sabtu kemarin, Pemkab Lembata melakukan evakuasi terhadap pengungsi erupsi Ile Lewotolok yang melakukan evakuasi mandiri di rumah-rumah warga di Kota Lewoleba. Namun kebijakan ini dinilai tidak didahului dengan asesmen lapangan yang tepat.
Alexander Raring, salah satu relawan sosial, mengatakan para pengungsi punya alasan tersendiri memilih menetap di rumah-rumah keluarga di Kota Lewoleba.
Hal ini dia temukan saat melakukan asesmen lapangan secara mandiri sejak tanggal 5 Desember 2020. Alexander berinisiatif mendata ulang jumlah pengungsi yang secara mandiri melakukan evakuasi di rumah dan kebun.
Baca juga: Khoirunnisa Agustyati Direktur Eksekutif Perludem
Hal lainnya yang dia temukan di lapangan, kata dia, masih banyak warga terdampak erupsi Ile Lewotolok yang belum masuk dalam data pemerintah.
"Saya temukan ternyata banyak orang yang tidak terdata. Saya buat perbandingan karena di Kelurahan Lewoleba Timur sumber daya sedikit, sedangkan ledakan pengungsi itu sangat banyak. Saya coba lakukan asesmen ulang data itu naik. Artinya ada yang tidak terdata," ujar Alexander, Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: Prihatin Korban Erupsi Ile Lewotolok Lembata Ini yang Dilakukan Bupati Sikka
Alexander pun membeberkan update data pengungsi mandiri di Kelurahan Lewoleba Timur hasil Asesmen Tim Relawan Kelurahan Lewoleba Timur sebanyak 2.785 Jiwa per 5 Desember 2020. Tersebar di 245 titik/rumah Tangga.
Jika dibandingkan dengan data lama maka ada penambahan yang signifikan yakni Baru 2.785 jiwa dikurangi 1.042 jiwa maka ada penambahan sebanyak 1.743 Jiwa.
Dia menilai kalau struktur jaringan kerja pemerintah di level bawah belum maksimal. Bukan hanya soal kapasitas tapi juga soal kepatuhan.
Kemudian, dia membandingkan bagaimana lembaga Gereja Katolik melakukan pendataan dan lembaga pemerintah. Kepatuhan orang pada lembaga agama masih tinggi.
Alasannya, lembaga gereja cepat mendapatkan data pengungsi dari ketua-ketua Komunitas Basis Gerejani (KBG).
Sedangkan, lembaga pemerintah cukup lama mendapatkan data pengungsi dari RT dan RW melalui kelurahan hingga kecamatan.
Fenomena ini, lanjutnya, pun berpengaruh pada kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
"Kalau pemerintah ajak ke posko utama masih banyak yang tidak percaya, lalu kenapa pemerintah tidak kerja sama dengan lembaga gereja atau lembaga masjid," imbuhnya.
Menurut dia, ada hal-hal yang tidak didengar dari akar rumput sehingga keputusan pemerintah itu tidak memuaskan banyak pihak.
Pemerintah, sebutnya, mengambil langkah kebijakan tanpa ada asesmen lapangan, lalu kemudian dengan catatan keras 'tidak masuk posko tidak dapat bantuan'.