Serunya ILC TV One Tadi Malam: Prof. Andi Hamzah Ungkap Hal Kontra Sanksi Sosial Vs Sanksi Pidana

Bahkan dalam sorotannya, Prof. Andi Hamzah juga menyebut sejumlah hal yang mestinya tak boleh dilakukan oleh DPR RI saat membahas UU ITE.

Penulis: Frans Krowin | Editor: Frans Krowin
Twitter/karniilyas
Presiden ILC Karni Ilyas. 

Serunya ILC TV One Tadi Malam: Prof. Andi Hamzah Ungkap Hal Kontra Sanksi Sosial Vs Sanksi Pidana

POS-KUPANG.COM - Program ILC TV One, Indonesia Lawyers Club (ILC) tadi malam, (Selasa 3 November 2020) pukul 20.00 WIB berlangsung seru.

Presiden ILC TV One, Karni Ilyas yang memandu langsung program yang tayang di TV One tersebut, memberikan kesempatan secara adil kepada narasumber yang hadir.

Beberapa sosok yang merupakan tokoh nasional, diantaranya Fahri Hamzah, Rafli Harun, Said Didu, Rocky Gerung juga Fajroel Rachman, hadir langsung dalam acara tersebut.

Sementara Prof. Andi Hamzah, turut pula mengambil bagian dalamemberikan pandangannya secara virtual.

Bahkan dalam sorotannya, Prof. Andi Hamzah juga menyebut sejumlah hal yang mestinya tak boleh dilakukan oleh DPR RI saat membahas UU ITE.

Prof Andi Hamzah juga menyoroti sejumlah undang-undang baik menyangkut sanksi administrasi maupun sanksi pidana.

Bahkan disebutkan pula bahwa tak semua hal buruk harus masuk ke ranah hukum pidana. 

"Saya pernah ditelepon dari Australia yang mempertanyakan sebuah kasus hukum yang dilakukan di Bekasi. Hal yang ditanyakan, adalah mengapa kasus pencurian seekor bebek yang terjadi di Bekasi, pelakunya harus divonis hukum pidana?

"Padahal sanksi yang mestinya dijatuhkan adalah memerintahkan oknum pelaku untuk mengembalikan atau menggantikan bebek yang telah dicuri."  

Bahwa perbuatan mencuri bebek merupakan hal yang buruk. Tapi keburukan hal tersebut sesungguhnya bisa disanksi dengan sanksi sosial, bukan hukuman pidana. 

Prof. Adi Hamzah juga menyebutkan bahwa di Belanda saat ini, kasus pidana yang hukumannya di bawah 6 tahun, bisa diselesaikan oleh jaksa.

Jaksa dibolehkan menyelesaikan kasus itu dengan cara meminta pelaku mengembalikan kerugian yang timbul dari kasus yang dilakukannya.

Jadi dalam kasus tersebut, jaksa tidak perlu melanjutkan perkaranya ke tingkat pengadilan. Sebab aturan membolehkan hal itu.

Tapi yang terjadi selama ini, kata Prof. Andi Hamzah, banyak hal sepeleh yang diproses secara hukum hingga dilanjutkan oleh jaksa ke pengadilan. Padahal ada sanksi lain yang lebih cocok untuk kasus sepeleh tersebut.

Sementara menyangkut UU ITE, disebutkan bahwa yang diatur itu misalnya penipuan melalui ITE dan lainnya.

Sedangkan perihal penghinaan telah diatur dalam KUHP.

Ketika ditanya apakah dirinya juga turut membahas UU ITE yang telah disahkan, Prof. Andi Hamzah mengungkapkan bahwa jika dirinya ikut, maka ada banyak hal yang pasti diprotesnya.

"Waktu itu saya tidak ikut. Kalau saya ikut, pasti ada banyak hal yang saya protes," kata Prof. Andi Hamzah menjawab pertanyaan Karni Ilyas, apakah dirinya ikut dalam pembuatan atau pembahasan UU ITE tersebut.

Ia langsung mengklarifikasi bahwa hanya menghadiri sejumlah pembahasan undang-undang, yakni UU Pencucian Uang, UU Korupsi dan UU Terorisme.

Seusai mengungkapkan itu dan sesaat sebelum rehat, Karni Ilyas pun melontarkan pernyataan, bahwa kontra itu tak seharusnya berarti melawan pemerintah.

Kontra yang dimaksud Karni Ilyas, adalah realitas kritikan sosial termasuk dalam pelbagai aksi unjuk rasa yang menolak keputusan pemerintah, masuk dalam UU ITE yang berarti mengancam kebebasan berpendapat. 

Sementara Said Didu menyoroti sejumlah item pembangunan di Indonesia yang disebutnya sebagai mangkrak. Proyek pembangunan itu mangkrak karena beberapa sebab, diantaranya, pelaksanaan dan pengawasannya tak dilakukan secara baik.

Said Didu merupakan mantan pegawai negeri sipil yang terpaksa mengundurkan diri  karena terlalu vokal mengkritisi atasan, mengungkapkan kebobrokan yang terjadi dalam tubuh birokrasi.

Profil Said Didu

Pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 2 Mei 1962 ini bernama Muhammad Said DiduLulus SMA, ia kuliah di Jurusan Teknik Industri di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menggondol gelar insinyur pada tahun 1985.

Terkait pendidikannya ini, Said Didu menuntaskannya hingga meraih gelar doktor di kampus yang sama dengan predikat Summa Cum Laude.

Namun, untuk kariernya, ia memulai sebagai birokrat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1987. 

Di BPPT, jabatannya pun merangkak naik. Dari staf, peneliti, pimpinan proyek, Direktur Teknologi Agroindustri hingga menjadi Tim Ahli Tim Ahli Menristek/Kepala BPPT pada 2004.

Karier birokratnya makin moncer saat Said Didu diangkat menjadi Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menjalaninya sebagai sekertaris BUMN dari tahun 2005-2010.

Di tengah kesibukannya sebagai orang nomor dua di Kementerian BUMN itu, Said Didu juga dipercaya dengan beberapa jabatan penting.

Di antaranya, sebagai Komisaris Independen PTPN IV periode 2006-2008, Komisaris Utama PTPN IV pada 2008, dan Komisaris PT Bukit Asam Tbk (PTBA) 2015.

Selain itu, di masa kabinet Kerja Jokowi, Said Didu menjadi Staf Khusus Menteri ESDM Sudirman Said pada 2014. Setelah Sudirman Said dicopot pada 2016, Said Didu pun mundur dan mulai terlihat kritis terhadap kebijakan penguasa.

Lewat akun media sosialnya, Said Didu yang pakar dalam bidang energi ini makin tersohor sebagai pengritik pemerintah.

Kritikannya tak hanya soal kebijakan pemerintah soal energi seperti Freeport, tapi juga terhadap kebijakan politik lainnya. Akibatnya, Said Didu diberhentikan dari Komisaris PT Bukit Asam Tbk pada 2018.

Bahkan untuk leluasa mengkritik pemerintah, Said Didu yang sudah mengabdi 32 tahun 11 bulan 24 hari ini mengajukan pengunduruan diri sebagai pegawai negeri per 13 Mei 2019. 

ILC TV One Selasa malam yang mengusung tema Kebebasan Berpendapat, berlangsung seru. Tema debat malam itu telah diunggah Presiden ILC Karni Ilyas pada Selasa 3 November 2020.

Hadir dalam forum tersebut Fahri Hamzah. Eks politisi PKS yang kini menjadi tokoh sentral di Partai Gelora itu, tampil bersama narasumber lainnya. 

Adapun judul ILC malam ini, yakni akan mengangkat topik seputar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE sebagai tema ILC Tv One di siaran ILC hari ini tersebut. 

Selain Fahri Hamzah,  hadir pula pakar hukum tata negara Indonesia, Refly Harun.

Ada pula perwakilan dari pemerintah yakni Fadjroel Rachman.  

Anda tentunya bisa menyaksikan tayangan atau siaran ILC Tv One di siaran ILC terbaru dalam tayangan ILC malam ini tersebut di kanal siaran tv Tv One Live. 

Namun, selain di layar kaca, Anda juga bisa menyaksikannya lewat siaran live streaming Tv One di perangkat ponsel pintar atau gadget masing-masing. 

Terdapat beberapa alternatif kanal siaran live streaming Tv One agar Anda bisa menyaksikan siaran langsung ILC Tv One tersebut lewat siaran live streaming Tv One di tv Online Tv One.  

Berikut beberapa di antara  live streaming Tv One di Tv Online Tv One termasuk di kanal UseeTv dan Tv One Live YouTube untuk menyimak ILC malam ini di Tv one live streaming hari ini tersebut

Link 3 ILC Tv One

Link 1 ILC Tv One

Link 2 Live Youtube ILC Tv One

Link 4 ILC Tv One

Link 5 Siaran Live Streaming Tv One

Selamat menyaksikan. 

Disclaimer:

- Jadwal Live Streaming sewaktu-waktu bisa berubah.

- Link Live streaming hanya informasi untuk pembaca.

- Tribunpontianak.co.id tidak bertanggung jawab terhadap kualitas siaran 

Diumumkan di Twitter Karni Ilyas

UU ITE adalah topik yang akan diangkat menjadi tema ILC malam ini dalam siaran ILC terbaru di edisi ILC malam ini, Selasa 3 November 2020. 

Sebelumnya, pemilihan tema ILC malam ini tersebut juga telah diumumkan oleh sang Presiden ILC Karni Ilyas.

Melalui Twitter Karni Ilyas, pemilihan judul ILC malam ini atau tema ILC malam ini tersebut diungkap sang Presiden ILC yang juga populer disapa Datuk itu.  

"Dear Pencinta ILC: Diskusi kita Selasa Pkl 20.00 WIB, berjudul "UU ITE: Mengancam Kebebasan Berpendapat?" Selamat menyaksikan. #ILCKebebasanBerpendapat,"

Dimikian cuitan Twitter Karni Ilyas soal topik ILC Tv One untuk siaran ILC terbaru edisi ILC 3 November 2020 Selasa malam besok.  

Nah, tertarik menyaksikan siaran ILC Tv One edisi ILC hari ini tersebut? Silahkan download link yang telah disajikan di atas. 

Kebebasan Sipil Terancam?

ILC tv One adalah satu di antara program acara tv di stasiun televisi swasta nasional Tv One.

Di mana program acara tv satu ini, dijadwalkan mengudara ke ruang publik saban Selasa pukul 20.00 WIB tiap pekannya.

Bagi Anda yang menggemari tayangan ILC Tv One atau yang dikenal dengan Indonesia Lawyers Club itu, Anda bisa menyaksikan tayangannya untuk ILC terbaru edisi Selasa 3 November 2020.

Kepastian soal tayangnya siaran ILC terbaru di ILC 3 November 2020 tersebut sebelumnya telah diumumkan oleh sang Presiden ILC Karni Ilyas.

Melalui Twitter Karni Ilyas juga turut diumumkan pula tema ILC Tv One yang akan dikupas dan 'dibedah' dalam diskusi oleh para narasumber ILC Tv One di siaran ILC terbaru Selasa 3 November 2020 malam tersebut.

Adapun tema ILC Tv One yang akan diangkat menjadi judul ILC hari ini di siaran ILC terbaru alias ILC live Tv One tersebut yakni seputar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE.

Terutama dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat oleh publik di Tanah Air dalam berbagai platform komunikasi.

"Dear Pencinta ILC: Diskusi kita Selasa Pkl 20.00 WIB, berjudul "UU ITE: Mengancam Kebebasan Berpendapat?" Selamat menyaksikan. #ILCKebebasanBerpendapat,"

Berikut beberapa di antara live streaming Tv One di Tv Online Tv One termasuk di kanal UseeTv dan Tv One Live YouTube untuk menyimak ILC malam ini di Tv one live streaming hari ini tersebut:

Link 3 ILC Tv One

Link 1 ILC Tv One

Link 2 Live Youtube ILC Tv One

Link 4 ILC Tv One

Link 5 Siaran Live Streaming Tv One

Selamat menyaksikan.

Disclaimer:

- Jadwal Live Streaming sewaktu-waktu bisa berubah.

- Link Live streaming hanya informasi untuk pembaca.

- Tribunpontianak.co.id tidak bertanggung jawab terhadap kualitas siaran

Desakan Amnesty International ke Institusi Kepolisian

Dikutip dari Kompas.com, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, kepolisian terlalu berlebihan dalam melindungi nama baik Presiden Joko Widodo alias Presiden Jokowi.

Hal itu, kata Usman, terlihat dari masih adanya warga yang ditangkap karena dianggap menghina Presiden.

"Nampaknya sulit dimungkiri bahwa polisi bersikap berlebihan di dalam melindungi nama baik Presiden,"

"Ada istilah yang kami sebut sebagai overprotective terhadap presiden," kata Usman dalam acara Satu Meja bertajuk Kebebasan Berekspresi Direpresi?, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (28/10/2020) malam.

Usman menuturkan, selama enam tahun Jokowi memimpin Indonesia, telah terjadi 241 kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE).

Di antara kasus penjeratan menggunakan UU ITE di era kepemimpin Jokowi itu, tercatat ada 82 kasus atas tuduhan menghina presiden.

"Meskipun pasal penghinaan presiden sudah tidak ada di dalam hukum pidana," ujar Usman.

Usman menduga hal ini terjadi karena ada kedekatan polri dengan presiden, padahal seharusnya ada batas. Selain itu, menurut Usman, Polri juga harusnya bersikap independen dari kepentingan penguasa dan menjalankan tanggungjawabnya dalam melindungi serta mengayomi masyarakat.

"Nah yang sekarang terjadi lebih banyak melindungi dan mengayomi pemerintah yang berkuasa itu yang terlihat dari data," ujar dia.

Sebelumnya, Usman mengatakan kasus penjeratan UU ITE di pemerintahan Presiden Jokowi pada 2014-2019 lebih banyak dari era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2009-2014.

Hal itu ia katakan berdasarkan data yang dikumpulkan melalui kerja sama Amnesty bersama Safenet.

"Kalau di era Pak SBY itu, ada 74 kasus selama masa jabatan kedua selama masa jabatan kedua 2009 sampai 2014," ungkapnya.

Sementara itu, jika angka kasus penjeratan UU ITE pada periode awal kepemimpinan Jokowi ditambah dengan tahun pertama periode kedua totalnya menjadi 241 kasus.

Kebebasan Sipil Terancam

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, kebebasan sipil di Indonesia saat ini dalam kondisi yang terancam.

Ancaman itu meliputi kebebasan berpendapat, berunjuk rasa, kebebasan mendapat perlakuan yang adil oleh aparat dan sebagainya.

"Hasil survei kami ternyata mengkhawatirkan. Demokrasi secara normatif masih mendapat dukungan tinggi dari publik. Tapi kebebasan sipil kita itu cukup terancam," ujar Burhanuddin dikutip dari tayangan Satu Meja Kompas TV bertajuk "Kebebasan Berekspresi Direpresi ?" pada Kamis (28/10/2020) malam.

"Baik kebebasan berpendapat, berdemonstrasi, mendapat perlakuan adil dari aparat dan lain-lain" kata dia.

Menurut Burhanuddin, demokrasi yang diharapkan masyarakat sebenarnya bukan sekadar memberi kesempatan untuk memberikan suara dalam pemilu.

Namun, masyarakat juga ingin agar kebebasan berbicara setelah mereka memberikan hak suara juga dihormati oleh pemerintah.

"Sebab hal inilah yang menjadi indikator kebebasan sipil," ucap dia.

Lebih lanjut, Burhanuddin pun mengungkapkan ada atmosfer ketakutan yang dirasakan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.

Dia menilai, persepsi ini muncul bukan tanpa sebab. Salah satu sebabnya yakni masyarakat takut akan perundungan dan persekusi.

"Takut di-bully, maupun direpresi. Sebab dulu yang menggunakan pasal ITE sekian puluh. Sekarang ratusan yang memakai," ujar dia.

"Selain itu, saat ini sedikit-sedikit berbicara di media sosial, akan di-bully," kata dia.

Adapun penjelasan Burhanuddin ini merupakan pembahasan atas hasil survei yang dilakukan oleh IPI pada 24-30 September 2020.

Hasil survei itu mencatat ada 36 persen responden yang menyatakan kondisi Indonesia saat ini kurang demokratis.

Lalu, sebanyak 37 persen responden menyatakan kondisi demokrasi di Indonesia tetap sama seperti sebelumnya.

Sementara itu, sebanyak 17,7 persen responden menyatakan kondisi di Indonesia lebih demokratis.

Selain itu, ada 9,3 persen responden yang menjawab tidak tahu.

Survei IPI pun mengungkap ada 21,9 persen responden yang menyatakan sangat setuju dengan pernyataan saat ini orang semakin takut menyatakan pendapat.

Sebanyak 47,7 persen respinden menyatakan agak setuju dengan pernyataan itu.

Responden yang kurang setuju dengan pernyataan itu tercatat sebanyak 22 persen dan yang tidak setuju dengan pernyataan itu sebanyak 3,6 persen.

Sementara itu, survei yang digelar oleh Litbang Kompas pada 14 hingga 16 Oktober 2020 juga mencatat temuan yang senada.

Pada kategori perntanyaan apakah ada persoalan di bidang politik dan keamanan yang mendesak untuk diselesaikan pemerintah, sebanyak 33,5 persen responden menjawab kebebasan berpendapat.

Kemudian, sebanyak 20,6 persen menjawab bahwa polemik pembentukan UU harus segera diselesaikan pemerintah.

Sebanyak 15,5 persen responden harus menjawab sinergi lembaga pemerintah harus dibenahi.

Lalu, sebanyak 10,2 persen responden menyatakan konflik antarkelompok harus dituntaskan pemerintah.

Sebanyak 9,6 persen responden menyatakan persoalan keamanan dan perbatasan negara harus diselesaikan pemerintah.

Adapun 3,4 persen responden menyebut gerakan separatis dan terorisme harus segera diselesaikan. Sisanya, sebanyak 7,2 persen responden menjawab tidak tahu.

 Materi di artikel ini juga telah tayang di Kompas.com dengan judul "Polri Dinilai Berlebihan dalam Melindungi Nama Baik Presiden Jokowi" https://nasional.kompas.com/read/2020/10/29/10072611/polri-dinilai-berlebihan-dalam-melindungi-nama-baik-presiden-jokowi

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved