Opini Pos Kupang

Menyiapkan Pengganti Nabunome

Salam Pos Kupang, Sabtu, 17/10, mengangkat (Nasib) cabang atletik NTT. Bagi PK, wafatnya Eduardus Nabunome sekaligus membuat orang terkejut

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Menyiapkan Pengganti Nabunome
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Robert Bala, Ketua Yayasan Koker Niko Beeker, Penyelenggara Sekolah Keberbakatan Olahraga San Bernardino (SMARD) Lembata.

POS-KUPANG.COM - Salam Pos Kupang, Sabtu, 17/10, mengangkat (Nasib) cabang atletik NTT. Bagi PK, wafatnya Eduardus Nabunome sekaligus membuat orang terkejut. Sudah 30 tahun terakhir, belum ada atlet yang bisa mendekati apalagi melewati kemampuan prestasi Nabunome.

Kecemasan ini tentu akan lebih efektif kalau disertai pertanyaan: bagaimana melahirkan atlet sekelas Eduardus Nabunome? Apakah Nabunome merupakan atlet `berbakat alamiah' yang lebih tepat hadir sebagai orang luar biasa dan karenanya kita harus menunggu minimal satu millennium lagi? Ataukah orang seperti Nabunome bisa `dibentuk?'

Bukan Dijadikan

Tahun 2016, penulis berkenalan pertama kali dengan Eduardus Nabunome. Dalam sebuah pertemuan dengan Frans Leburaya, Gubernur NTT waktu itu, seorang sahabat memperkenalkan saya tentang Edu.

Baca juga: Pasien Positif Covid-19 di Kota Kupang Bertambah 24 Orang, Ini Wilayah Sebarannya

Dengan cepat kami berkenalan. Permintaan agar berdiskusi lebih jauh, segera ditanggapi Edu. Dalam diskusi itu saya sadari, Edu bukan saja seorang atlet pelari biasa. Ia memahami secara mendalam bagaimana membentuk seseorang menjadi atlet pelari.

Edu memberikan gambaran tentang proses pembinaan yang bisa dikategorikan dalam 5 tahap. Tahap 1 Gerak Dasar usia 7 -11 tahun. Tahap 2 Multi Sport usia 11-13 tahun. Tahap 3 berupa Pengembangan Olahraga usia 13 -15 tahun. Sementara itu tahap 4 disebut sebagai Spesialisasi usia 16 -19 tahun. Proses ini akan berpundak pada usia prestasi tinggi yang termasuk dalam tahap yaitu usia 20 -28 tahun.

Baca juga: Pjs Bupati Sony Serahkan Piagam dan Dana Purnabakti Untuk 4 Anggota Korpri

Penjelasan Edu yang sangat spesifik disertai penjelasan tentang panduan dari organisasi atletik Jerman DLV (Deutsche Leichtathletik-Veband) saya sadar Edu bukan hanya pelari. Lebih lagi ketika ia menjelaskan model tes seperti: Tes Antropometri: Tinggi Badan, Berat Badan, Tes Kemampuan Fisik: Lempar Bola Kasti, Lari 30 Meter dengan Start Layang, Tiga Jingkat Kanan, Tiga Jingkat Kiri, Standing Broad Jump, Socken Depan, Lari 3000 Meter. Tes Kemampuan Teknik/Keterampilan: Lompat jauh, Lompat tinggi, Lari 60 Meter Start Jongkok.
Uraian Edu yang sangat rinci kemudian di akhir atas desakan seorang teman, ia pun mengakui bahwa semua pemahaman itu dimiliki setelah mengikuti kepelatihan di Jerman. Ia mendapatkan lisensi sebagai pelatih.

Penjelasan Edu kemudian memberikan kami Yayasan Koker Niko Beeker yang tengah merancang berdirinya Sekolah Keberbakatan Olahraga (SKO) yang diberi nama San Bernardino (SMARD). Kami semakin menyadari bahwa atletik mestinya menjadi sebuah bidang olahraga yang `susa-susah' gampang. Susah bisa dilihat proses merekrut atlet sejak usia dini dengan peroses pengamatan yang cermat.

Tetapi juga bisa disebut mudah. Atletik khususnya lari tidak membutuhkan banyak sarana dan prasarana. Dengan kaki dan tangan serta anggota tubuh lain yang cukup lengkap maka seseorang bisa berlatih. Dengan proses waktu, ia bisa menjadi seorang pelari dengan pendampingan yang cermat.

Prestasi atletik akhir-akhir ini yang menjadi perhatian dunia adalah atlet-atlet sprinter dari Jamaika. Pemecahan rekor yang terus terjadi setiap tahun menjadikan Jamaika sebagai barometer sprinter-sprinter dunia. Banyak negara yang bekerjasama dengan Jamaika dalam hal pembinaan prestasi olahraga atletik khususnya nomor lari jarak pendek

Pengalaman Jamaika menyadarkan bahwa atlet bukan dijadikan. Ia dibentuk. Memang hal ini tentu tidak bisa dipisahkan kemampuan awal yang sudah dimiliki. Tetapi hal itu hanya merupakan potensi. Ia harus diaktualisir menjadi sebuah kemampuan riil.

Pintu Ilmu Pengetahuan

Menghasilkan atlet sekelas Eduardus Nabonume tentu bukan hanya pekerjaan pemerintah. Swasta mestinya juga memainkan peranan penting, hal mana tengah dilakukan oleh Yayasan Koker Niko Beeker yang menjadi penyelenggara SKO San Bernardino yang disingkat SMARD. Selain itu butuh keterlibatan semua pihak untuk mendisain sejak awal.

Pertama, perlu melakukan tes antropometri. Tujuannya untuk mengukur tinggi dan berat badan. Hal ini akan berkaitan dengan jenis olahraga yang cocok sesuai postur badan. Pengetahuan dasar tentang tinggi dan berat akan diikuti tes kemampuan fisik dan tes teknik atau keterampilan.

Bisa diakui bahwa jenis test seperti ini nyaris dilakukan. Tidak adanya guru dengan latar belakang olahraga yang akrab dengan jenis tes menyebabkan potensi dasar atlet pada usia 7 -11 nyaris terdeteksi.

Hal itu akan lebih jauh lagi potensi latihan. Edu sendiri berujar, untuk seorang atlet lari marathon, latihan menempatkan telapak kaki akan berpengaruh terhadap jumlah langkah yang bila disatukan bisa saja menjadi kendala gagalnya seseorang. Karena itu pengaturan posisi telapak kaki menjadi sangat penting.

Kedua. Pembinaan olahragawan professional mestinya dilaksanakan secara sangat terbatas demi fokus. Negara-negara di Eropa misalnya sejak dulu fokus pada satu cabang olahraga. Jerman Timur fokus pada renang. Rumania fokus pada senam dan Cekoslovakia pada tenis lantai.

Indonesia mesti membiasakan diri untuk mengembangkan olahraga sesuai kondisi fisik yang sedikit banyaknya dipengaruhuhi oleh postur antropometris tubuh. Nabunome pernah menyebutkan, tiga daerah NTT bisa menjadi gudang atlet pelari yaitu Ngada, TTS, dan Lembata.

Mestinya bukan hanya tiga daerah di atas. Menyadari bahwa atletik yang merupakan induk semua olahraga dapat dikembangkan tanpa biaya yang besar maka semestinya diadakan pelatihan para guru SD agar mereka sekaligus memiliki keahlian dalam memantau potensi olahragra siswa sejak usia dini. Program ini kalau dilaksanakan secara bersama-sama, maka akan menjadi gebrakan demi melahirkan atlet pelari pengganti Nabunome.

Ketiga, melahirkan atlet berprestasi tidak bisa dikategorikan sebagai olahragawan biasa. Secara umum mereka dikategorikan cerdas (120-129) atau bahkan sangat cerdas (130-139). Beberapa di antaranya bahkan dikategorikan genius karena memiliki kecerdasan di atas 140. Gerard Pique (170), Arsene Wenger (157), Mario Balotelli (157), Lampard (150).

Jenis kecerdasan seperti ini menyadarkan bahwa terdapat korelasi antara olahraga dengan jenis kecerdasan. Hal ini pula telah mendorong para ilmuwan untuk menekankan korelasi antarkeduanya. Dalam buku Creative Teaching, Mengajar Mengikuti Kemauan Otak (terbit Gramedia 2018), penulis menekankan bahwa Gerakan fisik akan memengaruhi sirkulasi oksigen. Semakin lancar peredaran oksigen maka daya serap pemahaman akan lebih kuat.

Hal ini sejalan dengan apa yang disebut Paul Dennison: Movement is the door to learning. Bagi Dennison, Gerakan adalah aktivitas membuka pintu kepada pembelajaran. Karena itu tidak bisa diharapkan adanya aktivitas belajar yang ideal kalau tidak diawali dengan gerakan sebagai pintu masuk.

Untuk NTT, kemampuan Eduardus Nabunome mendalami kepelatihan atletik hingga Jerman dengan daya intelektualitas yang tinggi membenarkan bahwa kemampuan olahraga kalau mau dimaksimalkan maka harus berjalan bersamaan dengan pembelajaran. Hal ini mendorong semua pemerhati olahraga agar mengembangakan dua hal ini secara bersamaan kalau mau mencetak atlet baru selevel Eduardus Nabunome dalam beberapa tahun ke depan. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved