Raja Belanda Kunjungan ke Indonesia, Minta Maaf atas 'Kekerasan Berlebihan' di Masa Lalu

Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengatakan permintaan maaf itu menunjukkan pengakuan Belanda bahwa mereka melakukan kesalahan.

Editor: Agustinus Sape
antara foto
Pada tahun-tahun segera setelah Proklamasi, pemisahan yang menyakitkan terjadi, yang menelan banyak korban jiwa, kata Raja Belanda. 

(DOKUMENTASI IRWAN LUBIS)

Tak puas dengan jawaban itu, Halik dan rombongannya terbang ke Jakarta untuk meminta audiensi langsung.
Namun, harapan itu tak terwujud.

Rombongan Halik yang ditemui BBC Indonesia (03/03), hanya ditemui seorang staf kedutaan, yang berjanji akan menyerahkan surat yang berisi permohonan audiensi mereka kepada duta besar Belanda.

Pada hari Jumat (06/03), rombongan itu melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka di depan Kedutaan Besar Belanda.

Dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Politik Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia, Roel van der Veen, mengatakan pihaknya akan memberi kesempatan kepada keluarga korban untuk melakukan audiensi di akhir bulan Maret.

Abdul Halik dan keluarga korban pembantaian Westerling berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Belanda (06/03).
Abdul Halik dan keluarga korban pembantaian Westerling berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Belanda (06/03). (DOKUMENTASI LIDIK PRO)

Apa makna kunjungan Raja-Ratu Belanda?

Dari agenda kunjungan yang dirilis ke publik, pemerintah Indonesia dan Raja serta Ratu Belanda tidak dijadwalkan membicarakan masa lalu, termasuk tuntutan permintaan maaf dan ganti rugi korban perang.
Pelaksana Tugas Juru (PLT) Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan kunjungan itu akan berfokus pada kerja sama yang saling menguntungkan.

"Kunjungan ini akan kita bersama-sama manfaatkan untuk meneguhkan kerja sama ke depan yang saling menguntungkan, khususnya di bidang ekonomi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia," ujarnya.
Pernyataan resmi Kerajaan Belanda mengungkapkan hal senada.
"Kunjungan kenegaraan menegaskan hubungan dekat dan luas antara kedua negara dan akan diarahkan untuk kerja sama di masa depan."

Neraca perdagangan kedua negara surplus US$2,36 miliar (Rp33,7 triliun) pada tahun 2019.
Indonesia mengekspor sejumlah komoditas ke Belanda, di antaranya minyak sawit, asam lemak monokarboaksilat, dan biodiesel.

Sementara, Belanda mengekspor minyak sulingan, kendaraan bermotor pengangkut barang, hingga olahan makanan ke Indonesia.

Ratusan pengusaha Belanda akan ikut dalam rombongan Raja dan Ratu Belanda.

'Kunjungan kenegaraan menegaskan hubungan dekat dan luas antara kedua negara dan akan diarahkan untuk kerja sama di masa depan,' ujar pernyataan resmi pemerintah Belanda.
'Kunjungan kenegaraan menegaskan hubungan dekat dan luas antara kedua negara dan akan diarahkan untuk kerja sama di masa depan,' ujar pernyataan resmi pemerintah Belanda. (PATRICK VAN KATWIJK/GETTY IMAGES)

'Belum bisa melupakan tindakan tentara Belanda'

Abdul Halik mengatakan ganti rugi merupakan hal yang penting baginya karena apa yang dilakukan tentara Belanda pimpinan Raymond Westerling telah membuat keluarganya menderita.

Eksekusi yang dilakukan tentara pimpinan Westerling di sebuah kampung di Sulawesi Selatan.
Eksekusi yang dilakukan tentara pimpinan Westerling di sebuah kampung di Sulawesi Selatan. (NETHERLANDS INSTITUTE OF MILITARY HISTORY (NIMH))

Ia masih ingat, usianya masih sembilan tahun saat tentara Belanda, yang dipimpin Raymond Westerling, menghabisi sejumlah orang yang dianggap prorepublik Indonesia di desanya di Bialo, Bulukumba, tahun 1947.

"Saya sementara duduk-duduk di tangga bawah, datang mata-mata Belanda panggil orang, 'Semua rakyat penduduk, lihat orang mau ditembak!" ujar Halik mengenang peristiwa itu.
Halik turut serta ke lapangan di mana orang-orang akan dieksekusi.

Mantan Presiden Soekarno menyebut 40.000 orang menjadi korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan.
Mantan Presiden Soekarno menyebut 40.000 orang menjadi korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. (ULLSTEIN BILD/ULLSTEIN BILD VIA GETTY IMAGES)

Dalam perjalanan, Halik bercerita, ia melihat ayahnya, Becce Beta, yang tangannya sudah diikat di atas mobil tentara Belanda.

"Seperti kambing saja orang-orang dikumpul, diikat di atas mobil, kasihan betul itu."

"Dia (ayah) teriak 'Mau ke mana'? Saya bilang' saya mau pergi lihat orang ditembak'. Dia bilang 'Pulang!' Saya jawab 'tidak mau, saya mau lihat orang ditembak."

Di sebuah lapangan, Halik menyaksikan tujuh orang ditembak, peristiwa yang terus membekas baginya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

"Rata-rata kepalanya yang pecah," ujarnya.

Abdul Halik memperlihatkan lokasi pembunuhan warga di Bulukumba.
Abdul Halik memperlihatkan lokasi pembunuhan warga di Bulukumba. (ADEK BERRY/AFP VIA GETTY IMAGES)

Ayahnya tidak termasuk dalam kelompok yang pertama ditembak itu. Halik mengatakan ayahnya dieksekusi sekitar sembilan kilometer dari tempat itu, di daerah Kantisang.

Halik menceritakan ayahnya dan sejumlah aparat kampung lainnya dibawa ke lokasi lainnya untuk dieksekusi.

"Jelas kita takut, rakyat semua takut, dia (pasukan Belanda) tidak memilih bulu. Apalagi rumah saya sudah dibakar," katanya.

Warga diminta berkumpul untuk menyaksikan eksekusi di Sulawesi Selatan tahun 1947.
Warga diminta berkumpul untuk menyaksikan eksekusi di Sulawesi Selatan tahun 1947. (NETHERLANDS INSTITUTE OF MILITARY HISTORY (NIMH))

"Luar biasa, sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan bagaimana tindakan tentara Belanda. Bayangkan saja kalau rumah sampai habis, terasa sengsara."

Maka itu, ia menyesalkan kedatangan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia, yang tidak membawa agenda pembahasan kasus di masa lalu.

Dalam pidatonya di Jakarta tahun 1964, mantan Presiden Soekarno menyebut ada 40.000 korban Westerling di Sulawesi Selatan.

Mengapa sejumlah korban belum dapat ganti rugi?

Pada 2011, pengadilan distrik Den Haag memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada tujuh janda korban pembantaian massal Rawagede, Jawa Barat, dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.

Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders (kanan) berjumpa dengan Lasem (kedua dari kiri), pada Maret 2016. Lasem adalah satu-satunya janda korban pembantaian Rawagede yang tersisa.
Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders (kanan) berjumpa dengan Lasem (kedua dari kiri), pada Maret 2016. Lasem adalah satu-satunya janda korban pembantaian Rawagede yang tersisa. (AFP/GETTY IMAGES)

Setelah putusan itu, pemerintah Belanda membentuk skema reparasi untuk korban perang kemerdekaan lainnya pada tahun 1945-1950, mengutip tesis pengacara Bunga Meisa Rouly Siagian, yang berjudul Reparation for the Victims of the Dutch Military Operation in Indonesia 1945-1949.

Prosedur Skema Penyelesaian Sipil itu ditujukan bagi janda-janda yang suaminya mengalami kekejaman, yang akibatnya serupa dengan kasus di Rawagede dan Sulawesi Selatan.

Masih mengitup tesis yang sama, skema itu berlaku selama dua tahun sejak 2013 hingga 2015.
Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp296 juta).

Anti Rukiyah berziarah ke makam mendiang suaminya, Saleh Tanuwijaya, di Rawagede, Jawa Barat, pada September 2011 lalu. Penduduk Rawagede dibantai oleh tentara Belanda pada 1947 atau yang dikenal sebagai Agresi Belanda I.
Anti Rukiyah berziarah ke makam mendiang suaminya, Saleh Tanuwijaya, di Rawagede, Jawa Barat, pada September 2011 lalu. Penduduk Rawagede dibantai oleh tentara Belanda pada 1947 atau yang dikenal sebagai Agresi Belanda I. (AFP/GETTY IMAGES)

Saat itu, pengacara keluarga korban meminta perpanjangan waktu pengajuan kompensasi karena proses klaim membutuhkan lebih banyak waktu.

Pemerintah Belanda merespons dengan memberikan dua tahun lagi hingga September 2017, sebagaimana disebut dalam tesis Bunga Meisa Rouly Siagian.

Meski begitu, sejumlah anak korban seperti Abdul Halik tidak bisa mengajukan ganti rugi karena terbentur masa kedaluwarsa gugatan, lewat dari tahun 2017, dan status mereka sebagai anak, bukan janda.
Abdul Halik melihat hal itu sebagai bentuk ketidakadilan.

"Yang baru dapat (ganti rugi) itu janda-janda, itu pun baru sebagian. Padahal anak tidak boleh dibedakan, karena haknya sama," ujarnya.

Westerling dan pasukannya disebut tidak hanya membakar rumah warga, tapi juga ternak dan barang-barang milik mereka.
Westerling dan pasukannya disebut tidak hanya membakar rumah warga, tapi juga ternak dan barang-barang milik mereka. (ADEK BERRY/AFP VIA GETTY IMAGES)

Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, mengatakan pemerintah Belanda sedang menunggu keputusan hakim terkait apakah kategori orang yang dapat menerima kompensasi harus diperluas untuk mencakup anak-anak para korban.

"Pemerintah Belanda tidak mengomentari proses pengadilan yang masih berlangsung," ujarnya.

Sementara, PLT juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah mengatakan masalah tuntutan publik itu adalah kasus sipil.

"Apabila berperkara di negeri Belanda, perwakilan Indonesia lazimnya memberikan bantuan kekonsuleran manakala diperlukan sebagai wujud perlindungan warga negara. Fasilitas kekonsuleran pernah pula diberikan dalam kasus Rawagede," ujar Faizasyah.

Untuk apa Raja dan Ratu Belanda ke TMP Kalibata?

Sebelumnya, Marjolein van Pagee, pendiri Histori Bersama, organisasi yang berfokus pada sejarah kolonialisme di Indonesia, mengatakan hubungan baik antara Indonesia dan Belanda harusnya dimulai dari permintaan maaf Belanda pada orang-orang yang keluarganya dibantai oleh tentara Belanda.

"Sampai sejauh ini saya melihat mereka (keluarga kerajaan), tidak melakukan langkah apapun (untuk meminta maaf pada korban perang)," ujarnya (03/03).

Sejarawan asal Belanda mengkritik rencana Raja dan Ratu Belanda mengunjungi TMP Kalibata.
Sejarawan asal Belanda mengkritik rencana Raja dan Ratu Belanda mengunjungi TMP Kalibata. (SETKAB.GO.ID)

Ia menyinggung kunjungan resmi kerajaan Belanda terakhir ke Indonesia di tahun 1995, yang dilakukan mantan Ratu Belanda Beatrix, empat hari setelah hari perayaan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus.
Hal itu, kata Pagee, dilakukan Beatrix untuk menghormati veteran perang Belanda.

Pada tahun 1995, mantan Ratu Belanda Beatrix mengunjungi Indonesia empat hari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1995, mantan Ratu Belanda Beatrix mengunjungi Indonesia empat hari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia. (GETTY IMAGES)

Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, mengatakan Belanda mengakui hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 secara politik dan moral.

Namun, pengakuan itu, dianggap sebagai pengakuan yang de facto, belum de jure atau berdasarkan hukum.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia melalui penyerahan kedaulatan di Istana Dam di Amsterdam usai Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.

Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumuyoso, akan sulit bagi Belanda untuk mengakui Indonesia secara de jure.

"Sulit, karena dengan mengakui Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti apa yang mereka lakukan antara '45-49 di Indonesia adalah kejahatan dan agresi," ujarnya.

Belanda dianggap baru mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, belum de jure atau secara hukum.
Belanda dianggap baru mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, belum de jure atau secara hukum. (GETTY IMAGES)

Lalu, mengapa Raja dan Ratu Belanda akan menabur bunga di TMP Kalibata?

"Raja dan Ratu Belanda ingin menghormati korban-korban perang kemerdekaan. Maka itu, mereka akan menabur bunga di TMP Kalibata," ujar Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda.

Namun, hal itu dikritisi oleh Pagee.

"Itu munafik dan sangat memalukan. Berani-beraninya mereka mengunjungi tempat itu? Kita tahu mereka tidak menghormati para korban perang," ujar van Pagee.
"Jika mereka benar-benar menghormati, mereka akan bertemu dengan kelompok keluarga korban yang menyerahkan surat," ujar Pagee.

Rusdi, aktivis Lidik Pro, yang mendampingi keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan mengatakan jika pemerintah Belanda mau memperbaiki keadaan, mereka seharusnya menyatakan secara terbuka bahwa orang-orang yang dibunuh oleh tentara Belanda adalah pahlawan, bukan pemberontak.

"Dengan itu, hati anak-cucu para korban akan terobati," ujarnya.

Sumber: BBC News Indonesia

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved