HUT TNI
Pernah Jadi Guru, Sosok Jenderal Besar Sudirman, Jadi Panglima Angkatan Bersenjata Usia 29 Tahun
Jenderal Sudirman merupakan Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat diganti namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.
Setelah mengeluarkan Surat Perintah Kilat (dikenal sebagai Perintah Siasat No. 1/Stop/1948) kepada seluruh prajurit yang disiarkan melalui RRI Yogyakarta, ia meninggalkan kota.
Sesuai dengan rencana, Jenderal Sudirman akan memusatkan perlawanan dari Kota Kediri.
Tanggal 20 Desember 1948 dari kelurahan Grogol, ia harus naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk setempat.
Perjalanan menuju Kediri dilalui dalam beberapa etape. Dalam perjalanan gerilya tersebut, pada tanggal 31 Maret menjelang 1 April 1949, rombongan sampai di rumah Karsosemito di Dukuh Sobo, Pakis, Nawangan, Pacitan.
Sebelumnya, karena perjalanan masih menuruni tebing gunung yang curam, atas permintaan Kepala Desa Pakis, rombongan Sudirman berhenti di punggung Gunung Gandrung untuk mengganti tenaga pendukung tandu, sekaligus memperbaiki tali temali pengikat kursi tandu.
Dalam perjalanan menuju Sobo, Jenderal Sudirman mengenakan destar hitam di kepala, berbaju kaos tebal yang dilapisi jas hujan, sebuah keris terselip di pinggang, memakai selop, duduk di atas tandu sambil memegang tongkat.
Sobo ternyata menjadi tempat Jenderal Sudirman memimpin gerilya paling lama sebelum kembaii ke Yogyakarta (1 April 1949 - 7 Juli 1949).
Setelah kesepakatan Roem-Royen ditandatangani, pemerintahan dikembalikan ke Yogyakarta.
Namun Sudirman masih enggan turun dari markasnya.
Gatot Subroto menulis surat untuk membujuk sang jenderal.
Letkol. Soeharto yang didampingi fotografer Frans Mendur (IPPHOS) dan wartawan Rosihan Anwar ditugaskan menjemput Jenderal Sudirman dari markasnya di daerah Wonosari.
Panglima Besar Jenderal Soedirman
Esok harinya, Frans Mendur ikut rombongan Sudirman yang bertolak menuju Yogyakarta.
Dalam perjalanan menembus hutan dan bukit inilah ia membuat seri foto terkenal yang menggambarkan Sudirman ditandu prajuritnya.
Di Yogyakarta, Sukarno dan Hatta menanti di beranda depan kediaman Presiden yang luas.
" Ketika kami tiba, suasana sangat tegang," tutur Tjokropranolo, pengawal pribadi Sudirman.
Sudirman hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya memegang tongkat, lalu Sukarno merangkul sosok yang ringkih itu.
Seketika itu pula matanya menangkap sosok Frans Mendur yang memegang kamera. "Momennya dapat tidak?" tanya Bung Karno kepada Frans Mendur.
Fotografer IPPHOS itu menggeleng. "Terlalu cepat," jawabnya.
"Kalau begitu diulang adegan zoentjesnya," ujar Bung Karno.
Frans Mendur mengikuti perintah Presiden.
Demikian pula Sang Jenderal. Foto itu diperlukan Bung Karno untuk mencitrakan "rangkulan" antara sipil-militer dan antara pihak prodiplomasi versus perang gerilya.
Monumen sejarah crash program
Sudirman diangkat menjadi pahlawan nasional tahun 1964 pada masa jayanya ideologi Nasakom, bersama dengan Kepala Stafnya Urip Sumohardjo, pendiri NU (Hasyim Asy'ari dan Wahid Hasyim - kakek dan ayah Gus Dur), tokoh Muhammadiyah (Mas Mansyur dan Fachrudin), tokoh perempuan (Kartini, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia), serta tokoh PKI Alimin.
Pada masa Orde Baru, citra Sudirman itu juga diperlukan oleh penguasa.
Pada tahun 1997 Soeharto sudah berada di puncak kejayaannya, apalagi yang belum dipunyainya?
Maka lingkaran di sekelilingnya mengusulkan agar ia diangkat sebagai Jenderal Besar (bintang lima).
Soeharto yang seperti biasa "risih" untuk menerima gelar kehormatan itu sendirian "didampingi" oleh A.H. Nasution dan almarhum Sudirman.
Era reformasi mengubah peran politik ABRI namun para purnawirawan memiliki kesempatan untuk bersaing memperebutkan kursi Presiden.
Itulah yang terjadi tahun 2009 ketika pemilu presiden diikuti beberapa jenderal pensiunan.
Siapa di antara mereka yang paling mempedulikan Sudirman, Panglima Besar yang dikagumi dan dihormati tentara di seluruh negeri?
Susilo Bambang Yudhoyono tidak menyia-nyiakan kesempatan mengembangkan Monumen Sudirman di Pacitan.
Pembangunan monumen jelas berkaitan dengan faktor historis yang ingin diingat atau nilai-nilai perjuangan yang ingin dilestarikan di tengah masyarakat yang sedikit banyak berhubungan dengan tokoh yang membangun monumen tersebut.
Monumen ini diresmikan tanggal 15 Desember 2008 di Pacitan, Jawa Timur.
Perluasan monumen Panglima Besar Sudirman di Desa Pakis, Nobo, Nawangan, Pacitan merupakan program kilat di bidang sejarah.
Medio 2008 Presiden menugaskan Menteri PU, Menteri Kebudayaan dan Parawisata, serta Panglima TNI untuk melaksanakan crash program yang haRUs selesai akhir 2008.
Pasukan zeni dan alat-alat beratnya ikut membantu agar proyek itu bisa selesai tepat waktu.
Departemen PU membangun infrastruktur, sedangkan Departemen Sejarah dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Sejarah TNI mempersiapkan data kesejarahan yang digunakan sebagai relief.
Diorama baru akan dibangun pada tahap kedua.
Agustus 2008 diadakan semiloka di sebuah hotel berbintang di Jakarta, membicarakan tentang sejarah perjuangan dan pembuatan relief perluasan monumen Panglima Besar Sudirman.
Sekian relief dipersiapkan yang menggambarkan perjuangan Sudirman (1916 - 1950).
Tentu saja tidak dimasukkan dukungan Sudirman kepada Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka atau sejauh mana keterlibatan Sudirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta.
Namun secara keseluruhan gambar-gambar tersebut sudah didiskusikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pesan yang ingin disampaikan ialah ibukota Yogyakarta diserang, Presiden dan Wakil Presiden ditawan, namun Sudirman tidak kenal menyerah.
Sungguhpun kondisi kesehatannya lemah, ia bergerilya dengan satu paru-paru diusung di atas tandu.
Artikel Ini Telah Ditayang di https://manado.tribunnews.com/2020/10/05/sosok-jenderal-besarsudirman-jadi-panglima-angkat an-bersenjata-usia-29-tahun-pernah-jadi-guru?page=4