9 Indikator Kategori Yang Buruk Sebabkan Indeks Demokrasi Indonesia NTT Turun

menyoroti bagaimana membuat instrumen (angka IDI) tersebut digunakan oleh pengambilan kebijakan.

Penulis: Ryan Nong | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
Tim Pokja Indeks Demokrasi Indonesia NTT foto bersama usai kegiatan rapat dan rilis IDI NTT dan Indonesia tahun 2019 di Aula Kesbangpol NTT, Rabu (30/9). 

Meski demikian, jelasnya, ada peningkatan aspek hak politik. Hal itu terutama terlihat dari semakin meningkatnya tingkat partisipasi pemilu dan pengaturan TPS yang lebih mudah diakses penyandang disabilitas. 

Hal lainnya yakni, penurunan aspek kebebasan sipil tidak terlepas dari sengitnya kompetisi pada Pemilu 2019 dan maraknya demonstrasi terkait revisi UU KPK dan UU KUHP

"Secara Nasional NTT berada di Kategori sedang," tegasnya. 

Terhadap angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) NTT 2019 itu, anggota Pokja dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang mengatakan, hal itu menandakan bahwa kesadaran negara soal demokrasi masih rendah. Dua soal besar yang harus disikapi serius adalah persoalan kesewenang-wenangan pemimpin birokrasi memecat pegawai dan persoalan transparansi APBD.

"Hal ini sudah ulang ulang dibahas tapi tidak terlihat hasilnya," kata Atang. 

Menurutnya, perbaikan atas hal itu bukan berada di level publik tetapi di lembaga atau negara. "Peran negara itu yang mesti kita dorong, harus ada rencana aksi," tegasnya. 

Anggota Pokja lainnya, Dr. John Tuba Helan meminta penyelenggaraan pemerintahan harus diperbaiki terutama terkait dengan variabel yang menyumbang "angka buruk". 

Akademisi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu menilai, terkadang pejabat pemerintahan membuat keputusan yang sifatnya emosional terutama dalam kasus yang berujung gugatan pejabat ke PTUN

"Gugatan ke PTUN meningkat dari waktu ke waktu kepada pejabat yang membuat keputusan. Ini menandakan bahwa kerja pemerintah kurang baik, keputusan pejabat negara sifatnya emosional. Penyelenggaraan pemerintahan harus diperbaiki," katanya. 

Ia juga mengungkap, kasus pejabat tinggi yang melarang demonstrasi mahasiswa sebagai hal yang mencederai demokrasi. 

"Faktanya seperti seperti itu. Seorang profesor doktor melarang demonstrasi, itu memalukan sekali," tegasnya. 

Sementara itu, akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang, Yohanes Jimi Nami menyorot lembaga demokrasi seperti partai politik yang perannya seakan hilang saat ini. 

"Partai politik seperti hilang. Peran partai politik yang minim dalam hal pendidikan politik membahayakan. Pilkada dalam konteks lokal hanya fenomena permukaan," katanya. 

Sementara itu, terkait peran birokrasi, ia mengatakan, seharusnya terbuka terhadap publik terutama dalam hal keterbukaan informasi terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 

Tidak ditemukan APBD dalam informasi publik menandakan bahwa Pemda belum berani terbuka. "Kenapa tidak ditemukan? Mungkin karena belum ada pemda yang berani. Ini penting karena birokrasi berkompetisi dengan masyarakat digital saat ini," katanya. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved