Opini Pos Kupang

Tragedi Besipae

Besipae, nama tempat itu nun jauh di pedalaman Pulau Timor. Tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan ( Kabupaten TTS)

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Tragedi Besipae
Dok
Logo Pos Kupang

Bersamaan dengan perjalanan waktu serta pembatasan sosial masa pandemi Covid-19, suara dari rimba pedalaman Timor itu lenyap. Komunitas di luar Besipae seakan tak terkoneksi dengan tragedi di bulan Mei itu.

Sebagai gantinya, pulau Flores bergema. Dalam sebuah kunjungan gubenur NTT ke Manggarai, rombongan pemerintah provinsi ini dihadang oleh kelompok mahasiswa di sana.

Kelompok ini tidak bertelanjang dada. Mereka berdemonstrasi biasa sambil mempersoalkan ijin pertambangan batu gamping dan rencana pembangunan pabrik semen di seputaran lokasi bekas tambang mangan yang pernah ditolak para perempuan setempat dengan cara bertelanjang dada juga.

Waktu berjalan dalam kedamaian sampai NTT menjadi perhatian sejagat Nusantara ketika pakaian adat Sabu Raijua dan TTS menjadi perhatian ketika dikenakan orang nomor satu di republik ini.

Keharuman nama NTT, Sabu Raijua dan terlebih TTS menghiasi hari-hari sebelum dan saat HUT Proklamasi 17 Agustus 2020.

Namun selepas sehari kemudian, tepatnya 18 Agustus 2020, nama Besipae dari TTS mencuat. Seolah mengatakan, di pusat pemerintahan Indonesia Jakarta martabat masyarakat adat TTS dipuja dan dihormati tatkala penghormatan di hari HUT Proklamasi itu diarahkan ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang berbusana adat TTS. Di hari keramat itu, Jokowi selaku Presiden RI tampil mengenakan pakaian adat TTS.

Dan sehari setelah tagggal 17 Agustus, aparat gabungan dari TNI, Polri dan Pol PP Provinsi NTT merangsek masuk ke Besipae. Di sana, warga yang menghuni gubuk-gubuk karena rumah mereka telah digusur sebelumnya itu dihalau keluar.

Tangisan perempuan dan anak-anak terdengar syahdu. Bersamaan dengan itu, letusan senjata melontarkan peluru menembusi tanah di antara gubuk-gubuk daun semakin mencekam. Bukannya berempati dengan warga yang bertedu di gubuk-gubuk daun tetapi justru diusir keluar.

Rekaman video tragedi Besipae beredar hari itu juga di media dan mengundang polemik. Cukup kuat pesan bahwa tanggal 17 Agustus masyarakat adat TTS mendapat kehormatan dan sehari kemudian (18/8) mereka diusir dan gubuk mereka diobrak abrik. Itulah tragedi 18 Agustus yang menggurat duka dan melukai nurani warga Besipae.

Proyek Pemberdayaan atau Corporasi

Kabarnya, tempat yang ditempati warga Besipae merupakan bekas proyek peternakan sapi. Informasi lain bahwa lokasi itu pada tahun 1980-an hingga 1990-an menjadi lokasi project NTT-IADP. Proyek hibah Australia.

Itu di masa lalu. Informasi lain bahwa saat ini pemerintah provinsi NTT ingin menjadikan tempat itu sebagai lahan pengembangan ternak dan perkebunan kelor atau marungga.

Tidak ada yang salah. Bahwa di tempat itu pernah jadi lokasi pengembangan proyek a, b dan c, dan kini akan menjadi lokasi pengembangan ternak dan perkebunan marungga, bukan juga kesalahan.

Sebagai sebuah proyek, apalagi proyek pemerintah yang termandat untuk memperkuat keberdayaan masyarakat, maka tentu diharapkan proyek-proyek itu mendatangkan manfaat plus bagi masyarakat sekitar. Sebab esensi dari sekecil apapun program pemerintah, didedikasikan untuk mensejahterakan rakyat.

Pertanyaan penting di sini adalah, mengapa masyarakat mesti diusir dari sebuah tempat yang akan dikembangkan peternakan dan perkebunan marungga? Jika ini proyek pemerintah maka semestinya masyarakat menjadi bagian dari implementasi proyek.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved