Paradoks NTT Hadir Karena Kegelisahan akan Realitas NTT
Buku Paradoks NTT ini merupakan pergulatan saya selama lima tahun menjadi tenaga ahli DPR RI
POS-KUPANG.COM | KUPANG - "Buku Paradoks NTT ini merupakan pergulatan saya selama lima tahun menjadi tenaga ahli DPR RI. Selama saya mendampingi Ketua Komisi V DPR RI, Pak Fary Francis. Kemana-mana selalu bersama dan melihat banyak realitas di lapangan dan saya kemas menjadi tulisan," ungkap Isidorus Lilijawa dalam Baomong Asyik Pos Kupang dengan tema Proses Kreatif Menulis Buku ala Isidorus Lilijawa, Kamis (13/8/2020).
Pria yang akrab disapa Iso ini mencetak dua buah buku di masa pandemi Covid-19 yang berjudul Paradoks NTT dan Filsafat Bola. Buku-buku tersebut merupakan kumpulan artikel dan opini yang pernah ia tulis sejak mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.
• Simon Riwu Kaho: Kesehatan Anak Prioritas Utama
Pria kelahiran 4 April 1979 ini merupakan seorang politisi. Saat ini, ia aktif sebagai Tenaga Ahli DPR RI. Buku Paradoks NTT berisikan pengamatannya selama turun langsung ke masyarakat.
"Saya sengaja beri judul Paradoks NTT. Memang sedikit provokatif. Tapi, saya menilai konteks NTT ini butuh provokasi-provokasi yang positif supaya kita lebih banyak bergerak bagaimana membangun daerah kita," jelas Iso tentang pemilihan judul bukunya. Ia memang menaruh foto sepasang kaki terikat tulisan TKI NTT karena salah satu tulisannya berisikan kegelisahannya tentang nasib para buruh migran NTT dan moratorium TKI.
• Spirit Restorasi Kebangkitan Pendidikan Pendidikan NTT
Isi buku Paradoks NTT milik Iso ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, ia menulis bagaimana realita NTT terkait kebijakan-kebijakan pemerintah. Beberapa diantaranya seputar angka kemiskinan NTT, minuman Sopia, sampah, literasi, TKI, dan tambang. Pada bagian kedua, terdapat tujuh opininya terkait dengan pengamatannya sebagai seorang politisi, yakni Politik. Selanjutnya, bagian ketiga buku tersebut berisikan opini-opini yang ia tulis saat turun ke desa dan melihat problem masyarakat. Dan isi bagian terakhir buku Paradoks NTT adalah opini-opini umumnya.
Menulis atau membuat buku berkaitan dengan kesempatan dan kemauan. Baginya, ada orang yang memiliki kesempatan, namun tak ada kemauan, atau sebaliknya. Ia bersyukur memiliki dua hal tersebut sehingga ia bisa menghasilkan buku.
Dalam kesempatan diskusi yang dipandu oleh Intan Nuka, jurnalis Pos Kupang, Iso menjelaskan bagaimana beberapa kegelisahannya terkait kebijakan pemerintah dirasa perlu diungkapkan dalam sebuah tulisan agar menjadi kegelisahan bersama (masyarakat). Seperti moratorium TKI, ia menilai hal itu sebatas narasi tanpa aksi yang tegas. Sehingga, realitas di lapangan justru ditemui masih banyak para tenaga migran yang merantau. Hal itu juga berlaku untuk kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah yang dinilai Iso belum terlalu tepat. Iso tak melulu menuliskan kritik terhadap pemerintah. Bukunya juga berisikan solusi alternatif yang bisa dipahami oleh banyak orang yang membaca bukunya.
Proses menulis tidaklah mudah. Iso sendiri mengalami tantangan menulis, dimana jumlah karakter tulisan harus disesuaikan dengan standar redaksi media. Ia pun berusaha agar menggunakan kalimat yang umum dan mudah diterima oleh sasaran pembaca media. Ia juga harus cerdik memilih judul untuk memikat pembaca.
Aktivitas membaca dan menulis tentu menjadi sebuah aktivitas literasi yang harus mengakar sejak dalam keluarga. Seperti salah satu isi tulisan dalam bukunya yakni tentang literasi, Iso juga berharap pemerintah bisa membangkitkan kembali gairah membaca masyarakat dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Mobil perpustakaan keliling kiranya bisa berfungsi kembali dan perpustakaan aktif melakukan kegiatan-kegiatan guna menarik minat masyarakat.
"Sebenarnya motivasi awal saya membukukan ini sederhana saja. Agar pemikiran kita tidak hilang begitu saja. Bagaimana agar tulisan-tulisan (di koran) itu tetap ada? Ya dengan menjadikannya buku," terang Iso.
"Anak-anak muda jangan takut berpolitik. Politik itu sebenarnya tempat yang menarik kita masuki. Dengan berpolitik, kita belajar banyak hal mengelola kehidupan itu menjadi lebih baik," tutup Iso mengakhiri diskusi sore itu.
Iso mulai aktif menulis sejak tahun 2002. Motivasi awal ia menulis hanyalah agar ada pembeda antara dirinya dan teman-teman sesama frater yang menyukai aktivitas menulis. Gayung bersambut, tulisan pertamanya yang terbit di Harian Pagi Pos Kupang membuat ia semakin terpicu untuk menulis lebih banyak lagi. Buku pertamanya yang berjudul Mengapa Takut Berpolitik terbit di tahun 2005 yang merupakan isi dari tulisan skripsinya. Selanjutnya, buku keduanya merupakan kumpulan opini yang bertebaran di beberapa media massa. Buku berjudul Perempuan, Media, dan Politik itu terbit tahun 2010. Iso telah memiliki 10 buah buku, dimana beberapa diantaranya sementara dalam proses finalisasi untuk dicetak. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Intan Nuka)