Kisah Alis dan Nina Anak Timor Leste yang Dicerabut dari Akarnya Oleh Tentara Indonesia
“Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia.”
Tak lama kemudian, ayah angkatnya mulai menggerayanginya. “Sejak kecil, dia sudah sering menyentuh saya,” ujarnya. “Di sana-sini, seperti ini dan itu,” katanya sembari memperagakan sentuhan ke tubuhnya. “Pernah dia bilang saya tak boleh mengecewakan dia.”

Nina dilarang bicara soal Timor-Leste. Mungkin yang paling keji, ketika tentara itu menyampaikan bahwa orang tuanya sudah mati. “Tapi saya pikir mustahil. Saya percaya mereka masih hidup. Tapi bagaimana mencari mereka?”
Pada akhirnya, justru keluarga Nina yang menemukannya kembali. Ibunya telah berdoa selama 30 tahun. Keluarga Nina akhirnya berhasil menemukannya melalui bantuan TNI dan pada tahun 2009, saat seorang pria yang mirip dengan Nina tiba di kediamannya. Itulah saudara Nina.
Nina sudah lama meninggalkan keluarga angkatnya. Tentara itu juga sudah meninggal. Nina sendiri sudah berkeluarga. Beberapa hari setelah kedatangan saudaranya, ibu Nina pun tiba dari Timor Leste.



“Karena saya masih anak-anak saat pergi, ibuku bilang, mau nggak kamu dipangku sama ibu? Jadi saya pun duduk di pangkuannya dan kami lalu bercerita tentang kehidupan kami masing-masing.”
Kegembiraan bertemu keluarganya dibarengi dengan kesedihan karena Nina tahu ayahnya baru saja meninggal setahun sebelumnya.
Sampai detik terakhir, sang ayah berpesan ke sang ibu untuk tidak putus asa mencari anak mereka.
“Dia bilang ke ibuku, Nina masih hidup. Kamu harus mencarinya. Dia mirip denganmu. Kamu harus menemukannya.”
Menemukan yang hilang
Sejak pertemuan mereka kembali di tahun 2009, dan di sela-sela kunjungan ke ibunya di Viqueque, Nina menjadi relawan ‘Asia Justice and Rights’ (AJAR), sebuah LSM yang melacak anak-anak Timor yang dibawa paksa ke Indonesia. Melalui aktivitasnya di AJAR, Nina akhirnya menemukan Alis di desanya di Jabar.
“Dia kaget karena ada orang yang mencarinya,” ujar Nina. “Saya jelaskan saya dari Timor Leste, berusaha menemukanmu. Keluarga di sana mencari kerabat mereka yang hilang. Saya jelaskan soal upaya menyatukan kembali orang-orang seperti dia dengan keluarga mereka di Timor Leste.”
Dari 4.000-an anak-anak Timor Leste yang diambil, hanya sebagian kecil yang telah dipertemukan kembali dengan keluarga mereka. Sudah empat dekade sejak Alis meninggalkan tanah Timor, tapi dengan bantuan AJAR dan Nina, dia sudah menelepon beberapa saudara kandungnya.
“Nina menunjukkan saya foto dan itu membantu saya mengingat kembali,” kata Alis. “Setelah sekian lama, akhirnya saya ingat keluargaku.”
Terjalinnya kembali hubungan dengan kelurganya juga membuat Alis sedih. Pasalnya, kedua orang tuanya sudah lama meninggal, begitu pula dua saudaranya. Tapi itu tidak menyurutkan keinginannya untuk bersatu kembali dengan keluarganya.
AJAR pun mengatur reuni sekali setahun untuk sekelompok warga Timor yang ingin kembali.

Alis adalah satu dari 14 orang anak Timor Leste yang diambil dan kini bersiap pulang ke kampungnya untuk pertama kalinya.
Di sebuah pertemuan di Bali sebelum melanjutkan perjalanan ke Timor-Leste, Alis mendengarkan kisah menyakitkan dari anak-anak lainnya yang senasib.
Sebagian besar di antara mereka mengalami pelecehan atau ditelantarkan oleh orang Indonesia.
Banyak wanita yang diperkosa oleh tentara, bahkan ketika mereka anak-anak. Yang lainnya menjadi korban penyiksaan atau kekerasan.
Saat ini, sebagian besar anak-anak Timor yang diambil paksa bergelut dalam kemiskinan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak karena tak mendapatkan pendidikan memadai. Sebagian besar tak memiliki status WNI, sehingga tidak berhak memiliki tanah atau paspor.
“Saya sangat tersentuh, sedih,” ujar Alis. “Saya bersyukur karena kecintaan orang tua angkatku, turut membantu saya mengenyam pendidikan dan dukungan finansial. Saya bersyukur kepada Allah atas keberuntungan saya.”
“Tapi menyakitkan mendengar nasib kawan-kawan saya, yang sangat berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia.”
Pulang
Menjelang perjalanan pulang, terasa adanya kegembiraan sekaligus kegelisahan. Tak seorang pun dari mereka tahu apa yang diharapkannya ketika kembali ke Timor-Leste. Beberapa di antaranya bahkan takut keluarganya sudah tidak ada lagi.

Alis juga tampak gugup. Bukan hanya karena dia belum pernah naik pesawat sebelumnya. Alis telah terpisah dari keluarganya selama beberapa dekade dan tidak tahu apa yang diharapkan. Dia tak tahu lagi bahasa Tetum.
“Saya ingin bertemu kembali dengan saudaraku. Itu yang pertama,” katanya. “Yang kedua, aku ingin pergi ke kuburan orang tua kami. Saya ingin berziarah ke kuburan ibu dan ayahku.”
Ketika pesawat sudah berada di atas Dili, mereka pun kian tegang. Begitu melangkahkan kaki di landasan bandara, seorang perempuan di antara mereka, langsung mencium tanah Timor Leste. Ia tampak menangis.



Terjadi pertemuan yang diwarnai isak-tangis bagi mereka yang keluarganya langsung menjemput di Dili. Setelah terpisahkan sekian lamanya, mereka telah dipersatukan kembali.
Saudara-saudara Alis tak mampu membiayai perjalanan ke Dili, jadi mereka menunggu di Ainaro. Nina menemani Alis ke sana.
“Dia senang melihat keluarganya,” katanya. “Dia merasa bingung karena dia pergi saat masih kecil. Dia hanya ingat beberapa keluarganya.”
Butuh setengah hari perjalanan darat ke desa yang terakhir kali dilihat Alis saat masih berusia delapan tahun. Kenangan pun bermunculan selama perjalanan itu.
“Dalam perjalanan pulang dari Ainaro kita akan melewati jembatan panjang, mendaki,” kata Alis.
“Dulu kami naik kuda. Sekarang tentu saja semuanya berbeda. Pasar, ladang tempat mereka menyimpan kuda, saya ingat.”
“Aku ingat bagaimana ranting pohon kopi menjulur ke sungai. Lebih jauh lagi, di situlah kerbau merumput.”
“Dan juga, ada gunung besar, Kablake. Saya ingat.”
Akhirnya, mobil itu tiba di sebuah desa kecil dan berbelok ke jalan berdebu. Alis sampai di rumahnya. Sepupu dan adik laki-lakinya, Antonio, yang pertama menyambut, memeluk Alis dengan hangat. Antonio masih bayi ketika Alis menghilang.
Tapi saudara perempuan dan sepupunya yang lebih tua tidak kuasa menahan air mata. Florinda, Bernadeta dan Laurencia masih remaja ketika Alis diambil tentara.


“Selama beberapa dekade, kami pikir dia sudah mati,” kata Laurencia, saudara perempuannya yang tertua. “Kami tidak marah padanya.”
“Ketika perang, suara peluru berdesing seperti suara jagung yang meledak di atas kompor. Ada juga pesawat yang menembak dari udara.”
“Semua orang lari, tidak memikirkan orang tua atau keluarga mereka. Kami naik ke Gunung Kablake dan bersembunyi di sana.”
“Hari ini dia kembali. Dia sudah tua, seperti kami ini.”
Keluarga Alis mengadakan upacara tradisional untuk menyambutnya. Alis dihadapkan dengan hal yang bisa menyakitkannya. Setelah berdamai dengan yang hidup, sekarang Alis harus berdamai dengan yang sudah meninggal.
Ia dibawa ke kuburan orang tuanya di lereng bukit di pinggiran desa. Kembang kuburan menari-nari diterpa angin sore yang kering.
Ibu Alis, Clara, meninggal tiga tahun lalu. Ayahnya Francisco, meninggal bertahun-tahun sebelumnya.
“Inilah anakmu, akhirnya kembali ke Timor-Leste,” kata Alis sambil membungkuk di batu nisan orang tuanya.
“Ayahku sayang. Ibuku sayang. Ketika kalian meninggal, saya tidak ada di sampingmu. Aku anakmu, Kalistru Momode, memohon ampunanmu.”
Bagi Nina, sudah lebih dari satu dekade sejak dia akhirnya bisa pulang ke Timor Leste dan bersatu kembali dengan ibunya sendiri. Dia tahu butuh proses bagi Alis untuk benar-benar bisa pulang. Dia harus kembali ke sana berkali-kali untuk menjalani penyembuhan.
“Seseorang seperti Alis, dia tinggal bersama keluarga yang mencintainya. Semua saudara lelaki dan perempuan angkatnya, menyayanginya,” katanya.
“Tapi meskipun mereka mencintainya, ada saat-saat di mana Alis menyadari dirinya orang asing. Dia bukan putra dari orang yang mengambilnya.”
Terakhir kali Alis melihat ibunya berada di dalam gereja di Ainaro saat berusia delapan tahun. Bangunan megah berwarna putih itu hampir tidak berubah sejak Alis naik ke Jeep tentara.
Di bawah bayangan gereja, menapaki tangga ke pintu yang melengkung, pikiran Alis kembali ke tahun 1977 dan bagaimana orang tuanya mengalami penderitaan.
“Pasti sangat menyakitkan bagi mereka kehilangan anak yang dicintai.”
“Saya sangat sedih pulang ke kampung kelahiran saya dan melihat gereja ini. Itulah terakhir kali saya melihat ibuku.”
“Jika hal serupa terjadi dengan saya, tentu saja saya akan mencari sampai menemukan anakku. Saya tak akan berhenti mencari.”
Artikel ini diproduksi ABC News Indonesia