Kisah Alis dan Nina Anak Timor Leste yang Dicerabut dari Akarnya Oleh Tentara Indonesia
“Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia.”
Perlu 42 tahun sebelum Kalistru bisa berdiri di depan gereja itu lagi, kembali ke sana sebagai orang tua, dengan rasa bersalah dan penyesalan mendalam atas apa yang terjadi saat itu.
Generasi yang dicabut dari akarnya
Diperkirakan lebih dari 4.000 anak-anak Timor Leste dicerabut dari akarnya selama penduduk Indonesia antara tahun 1975 dan 1999. Beberapa LSM menyebut jumlahnya bahkan lebih besar lagi.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk kemerdekaan Timor-Leste di tahun 2002 menyimpulkan sekitar dua pertiga anak-anak diambil oleh tentara Indonesia tanpa persetujuan orang tuanya.
Sebagian anak-anak ini dipekerjakan di markas tentara atau diambil sebagai pembantu. Banyak dari mereka, seperti Kalistru, diambil begitu saja atau dijanjikan mendapat kehidupan yang lebih baik di luar Timor-Leste.
Dibesarkan sebagai orang Indonesia, atau ditelantarkan jauh dari kampungnya, mereka inilah anak-anak Timor Leste yang dikenal sebagai generasi yang dicabut dari akarnya.
Salah seorang tentara Indonesia yang bertugas di Ainaro saat itu adalah Sumia Atmaja. Dia menyelundupkan Kalistru dan anak-anak lainnya ke atas kapal perang RI di Dili, berangkat menuju Jakarta.
Dari sana, dia membawa Kalistru ke kampungnya sendiri di Jawa Barat dan mengangkatnya sebagai anak.
Kalistru dipaksa mengganti namanya menjadi Alis Sumiaputra. Dia pun dibesarkan dalam sistem pendidikan Indonesia dan masuk Islam, meninggalkan keyakinan Katolik yang dianut orang tuanya di Timor Leste.
Perlahan-lahan dia pun melupakan bahasa ibunya, bahasa Tetum. Pada saatnya, Alis akhirnya melupakan hampir semua hal dari masa kanak-kanaknya di Ainaro, bahkan melupakan keluarganya sendiri.

Kini dia dikenal sebagai Alis, menikah dan hidup di desa lain, tak jauh dari desa tempatnya tumbuh di Cigalontang, Jabar.
Saat ini, Alis bekerja sebagai petani padi di Tanjungkarang, bersama istri, seorang anak dan telah dikaruniai seorang cucu.
Alis banyak dikenal orang di desa itu dan rajin pergi ke masjid.
“Alhamdulillah saya bahagia bersama keluargaku,” ujarnya.
Kehidupan Alis di Indonesia bukan kehidupan sengsara. Tentara yang mengambil dia, kata Alis, adalah “orang baik”, dan membesarkan dirinya seperti anak sendiri.