Kisah Alis dan Nina Anak Timor Leste yang Dicerabut dari Akarnya Oleh Tentara Indonesia
“Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia.”
“Dia bilang, kamu bukan orang lain, kamu anak saya. Setelah bertemu ibu angkat saya dan empat anaknya, kami pun sudah seperti saudara kandung. Hubungan kami begitu baik.”


Namun pada 2019, 42 tahun setelah dia dibawa pergi, ingatan Alis mengenai masa silamnya muncul kembali, ketika ayah angkatnya meninggal dunia dan seseorang yang tak dikenalnya datang bertamu.
“Hatiku selalu merindukan orang tuaku sejak ayah angkatku meninggal,” ujar Alis.
“Saat itulah saya teringat semua saudaraku. Dan begitulah ketika Nina datang mencari saya.”
Nina Pinto, tamu yang datang mencari Alis, juga adalah anak Timor Leste yang dicabut dari akarnya. Dia berasal dari keluarga di Viqueque, pesisir selatan Timor Leste.
Orang tua Nina merupakan “Liurai”, bangsawan setempat di sana. Namun status sosial tinggi ini tidaklah sebanding dengan penjajah Indonesia.
Nina baru berusia lima tahun ketika seorang tentara melihatnya dan menyampaikan ke orang tuanya bahwa Nina akan dibawa ke Jakarta sebagai anak tentara itu.
Di sinilah, di pantai Laga, di utara Timor-Leste, Nina mengalami perpisahan memilukan dengan ibu dan ayahnya. Kenangan yang terus menghantuinya.
Itu terjadi pada suatu siang yang terik di tahun 1979. Kapal perang Indonesia sudah menunggu di lepas pantai untuk membawanya pergi.
Orang tua Nina berusaha keras mencegah tentara yang mengambil Nina, mengikutinya hingga ke pantai dan meminta supaya anak mereka dikembalikan.
Namun karena takut ditembak, mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan gadis kecil itu direnggut dari tangan mereka.
“Kamu ingat ya,” ujar ayah Nina, “jika kita tak bisa bertemu lagi, saya harap kamu jangan pernah lupakan saya. Jangan lupakan ayahmu.”
“Tak apa-apa, ayah,” ujar Nina. Lalu ibunya mengecupnya di dahi. “Nina, pergilah. Saya yakin kita akan bertemu lagi.”
Kehidupan Nina di Indonesia tidaklah sama dengan yang dialami Alis. Dia tinggal bersama keluarga tentara tersebut dan dipaksa berganti nama menjadi Lina. Tak lama berselang, dia pun sadar bahwa dirinya akan dijadikan pembantu.
“Saya dibangunkan jam 3 pagi. Saya seperti pembantu, melayani mereka semua, mencuci baju, memasak, segala kerjaan rumah,” katanya. “Setelah selesai barulah saya boleh ke sekolah.”
Nina merindukan keluarganya. “Namun saya tak bisa apa-apa. Saya tak berdaya.”