China Pamer Kekuatan Militer Tapi Belum Menang Perang di LCS , Indonesia Tegas Tidak Ada Kompromi

Negara-negara seperti Vietnam dan Malyasia sudah terkena dampak langsung ulah arogansi militer China. Kapal nelayan Vietnam pernah dihancurkan milter

Editor: Alfred Dama
National Interest
Kapal Induk pertama China, Liaoning 

China Pamer Kekuatan Militer Tapi Belum Menang Perang di LCS , Indonesia Tegas Tidak Ada Kompromi

POS KUPANG.COM --  Chinas terus menyombongkan diri dengan pamer kekuatan militer di Laut China Selatan.

Negara-negara seperti Vietnam dan Malyasia sudah terkena dampak langsung ulah arogansi militer China. Kapal nelayan Vietnam pernah dihancurkan milter China di Laut China Selatan atau LCS semetara kapal eksplorasi Malaysia diganggu oleh China

Sementara China yang mencoba mengusik laut Natuna utara langsung dihadapi Indonesia dengan kapal perang hingga membuat China mengajak Indonesia berunding

Indonesia jelas menolak perundingan karena batas wilayah Indonesia sudah jelas sehingga tidak perlu kompromi

Sehingga hanya Indonesia negara ASEAN yang benar-benar tegas dengan ulah China

Sejak 2016 hingga saat ini, Indonesia dan China kerap terlibat sengketa wilayah terkait Laut Natuna.

Persoalan tersebut muncul dan tenggelam silih berganti.

Melansir The Sydney Morning Herald, Pulau Natuna menjadi garis depan dalam kontes untuk pengaruh dan kontrol jalur air strategis yang vital di Laut China Selatan.

Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina semuanya memiliki hak atas laut ini di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Kalina Ocktarannya Dituduh Belum Moveon dari Deddy Corbuizer, Dicibir Sering ke Rumah Sang Mentalis

Saat Semua Negara Soroti China, Mesir Diam-diam Bersiap Menyerbu Ethopia Ini Masalanya

Indonesia Siap Hadapi Ancaman China, Natuna Jadi Garis Terdepan di Laut China Selatan

Tak Kenal Takut, Indonesia Satu-satunya Negara ASEAN Tak Mau Kompromi dengan China, Lakukan Ini

Nagita Slavina Marah Besar Pada Raffi Ahmad Sampai Ingin Minggat, Ulah Suami Bikin Jengkel

Intips Rumah Mewah Rossa, Semakin Kaya Setelah Menjanda, Yuk Sidak Hunian Sang Penyanyi

Ayu Ting Ting Tolak Ajakan Nikah Didi Riyadi, Alasan Sang Biduan Bikin Hati Sang Musisi Patah

Taiwan juga mengklaim wilayah ini.

Sementara China, berpegang di bawah kebijakan "sembilan garis putus-putus" (nine dash line), menganggap lebih dari 80% perairan ini adalah milik mereka.

Greg Poling, direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional Asia Maritime Transparency Initiative yang bermarkas di Washington, mengatakan, China belum "memenangkan" Laut China Selatan.

"Tetapi saya benar-benar berpikir tentang metrik apa pun yang Anda gunakan yang kalah dari AS dan Selatan."

"Negara-negara Asia Timur kalah. Apakah Anda ingin melihatnya sebagai masalah hukum internasional atau akses atau sumber daya, jelas China menang di semua lini," paparnya kepada The Sydney Morning Herald.

Dia menambahkan, "China berniat mendominasi Laut China Selatan tanpa kekuatan, dengan memaksa negara-negara Asia Tenggara menerima bahwa mereka telah kalah, dengan menunjukkan dominasi China dengan pasukan paramiliter dan penjaga pantai sedemikian rupa sehingga (mereka) harus menerima apa pun kesepakatan yang buruk yang ada di atas meja, dengan demikian merusak kredibilitas AS, Australia, Jepang dan siapa pun."

Menurut prediksi yang dirilis 2015 lalu, wilayah ini menyumbang 12% dari tangkapan ikan global.

Akan tetapi, masalahnya bukan hanya ikan saja.

Fiery Cross Reef
Fiery Cross Reef (PLA via Serambinews)

Ini juga menyangkut soal tentang pulau-pulau kecil yang termiliterisasi dan kebebasan navigasi di perairan yang dilalui sepertiga pengiriman global setiap tahun.

Data yang dihimpun The Sydney Morning Herald menunjukkan, Departemen Luar Negeri AS memperkirakan pada 2019 terdapat cadangan minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Laut China Selatan senilai US$ 2,5 triliun.

Perkiraan lain dari Badan Informasi Energi AS, ada kemungkinan 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Klaim Tiongkok atas laut dan programnya membangun terumbu karang menjadi pulau buatan sejak 2014 menjadi perhatian terbesar dunia saat ini.

Tempat-tempat yang dulu hanya ditandai oleh gubuk-gubuk nelayan sekarang dapat menampung pesawat-pesawat militer, rudal, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N).

Dapat dikatakan, Beijing menciptakan fakta di atas air dan mengubah medan yang menjadi sengketa.

Bagaimana situasi konflik Indonesia dengan China di wilayah ini?

Melansir Kompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut.

Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.

Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.

Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.

Salah Satu Pangkalan militer Laut China Selatan
Salah Satu Pangkalan militer Laut China Selatan (SCMP)

Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.

Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.

Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.

Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.

Baca Juga: Mencak-mencak Usir Bos Inalum saat Rapat, Anggota DPR Ini Disorot karena Pakai Jam Tangan Seharga Honda HR-V

Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.

Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing.

Kapal Coast Guard China-5202 dan Coast Guard China-5403 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020).
Kapal Coast Guard China-5202 dan Coast Guard China-5403 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020). (KOMPAS.com/ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.

Baca Juga: Minyak di Wajah Bikin Nggak Nyaman? Coba Masker Lemon dan Kopi Jadi Solusinya!

Persaingan di atas ombak

Setelah kapal-kapal China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) awal tahun ini, Indonesia mengerahkan angkatan lautnya dan kapal-kapal Bakamla (keamanan maritim), beberapa jet tempur F-16 dan mengirim kapal-kapal nelayan dari pulau utama Jawa untuk mengusir serbuan China.

Akhirnya, kapal-kapal China meninggalkan perairan.*

Sebagian artikel ini sudah tayang di Intisari.Grid.ID dengan judul: Gagah-gagahan Pamer Kekuatan Militer Terus, Pengamat: China Belum Memenangkan 'Perang di Atas Ombak' Laut China Selatan https://intisari.grid.id/read/032224563/gagah-gagahan-pamer-kekuatan-militer-terus-pengamat-china-belum-memenangkan-perang-di-atas-ombak-laut-china-selatan?page=all

Sumber: Grid.ID
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved