Opini Pos Kupang
Peter Apollonius Rohi dalam Kenangan
Sebelum bersua muka dengannya, saya tidak terlalu mengenal Peter Apollonius Rohi
Terus terang, dari interaksi dengan Peter Rohi, saya akhirnya tertarik juga dengan kisah-kisah sejarah. Kisah hidup para tokoh sejarah. Saya menguber buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Membaca sampai tertidur-tidur roman sejarahnya `Arus Balik' yang terkenal itu.
Saya membaca dengan penuh gairah kisah hidup Bung Karno dalam berbagai buku.Saya membaca dengan tekun buku `Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX". Menarik nafas legah setelah membaca `Mochtar Lubis Wartawan Jihad'. Atau juga titian perjalanan Joko Widodo berjudul `Jokowi Menuju Cahaya' yang sangat menginspirasi itu.
Dalam bayangan saya, Peter Rohi tentu sangat tahu dan sangat familiar dengan tokoh-tokoh sejarah di atas. Sebagai sejarawan, dia pasti sudah mengetahui dengan sangat baik sepak terjang beberapa pelaku sejarah di atas.
Bagi saya, Peter Rohi menampilkan diri sebagai wartawan penuh bakti di medan baktinya. Dia menggunakan penanya secara bertanggung jawab mentransformasikan fenomena sosial ke dalam bahasa berita.
Motivasinya menulis murni membuka tirai dan memberi pencerahan atas suatu obyek. Tidak terutama dengan motif do ut des (saya memberi supaya Anda juga memberi). Ketika banyak media terperangkap dalam jaring kekuasaan dan bisnis, ketika banyak wartawan terpenjara dalam sungkup kepentingan, Peter Rohi tetap berdiri kuat di atas pendiriannya sebagai nabi yang berseru tentang kebenaran.
Dengan sikap dan pendirian seperti ini, tulisan-tulisan Peter Rohi lebih bernuansa pencerahan, pemahaman dan bahkan juga peringatan. Kisah heroik Riwu Ga keliling Jakarta dengan jip terbuka sambil berteriak `Indonesia sudah merdeka' sesaat setelah naskah Proklamasi dibacakan Bung Karno mempunyai nilai sejarah tinggi, pesan moral yang kuat dan menambah pengetahuan banyak orang tentang kisah seputar Proklamasi Kemerdekaan RI tempo dulu.
Cerita tentang Riwu Ga ini sengaja diambil di sini sebagai contoh untuk menegaskan betapa berjasahnya Peter Rohi atas sebagian dari fakta sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Andaikata Peter Rohi tidak menulisnya, nama Riwu Ga luput dari catatan sejarah Proklamasi Indonesia.
Maka sebagai wartawan, melalui tulisannya Peter Rohi mengingatkan negara besar ini tentang fakta suci di sekitaran Proklmasi Kemerdekaan Indonesia. Melalui tulisannya tentang Riwu Ga, Peter Rohi melawan konsepsi kaum post-strukturalis bahwa fakta bukanlah kejadian sebagaimana sudah terjadi, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Membaca tulisan Peter Rohi, tertangkap kesan kalau kekuatan tulisannya terletak pada kemampuannya membuat berita menjadi kisah, informasi menjadi narasi dan fakta menjadi makna. Tulisan Peter Rohi, karena itu, sangat renyah dibaca, memberi `insight' yang berguna dan membawa pesan mendalam.
Dari rahim NTT lahir banyak wartawan hebat. Dari rahim NTT lahir juga banyak sastrawan dan kritikus sastra terkenal. Para wartawan, sastrawan dan kritikus sastra asal NTT itu sudah sering mendapat apresiasi dari negara ini, bahkan juga di dunia internasional. Sebaliknya apresiasi kepada para pekerja intelektual ini jarang diberi daerah ini untuk mereka.
Hari Rabu, 10 Juni 2020 pagi, Peter Apollonius Rohi menemui ajalnya. Kembali ke Sang Pengasalnya. Selamat jalan Om Peter Apollonius Rohi. Apresiasi dari daerah ini mungkin tidak ada untukmu. Sebagai pengagum, rekan seprofesi, saya yakin Om Peter tidak butuh apresiasi. Tetapi sejarah sudah mencatat nama Peter Apollonius Rohi sebagai seorang wartawan berciri generalis-spesialis dari Nusa Tenggara Timur. Apresiasi akan dihilang ditelan waktu, tetapi namamu yang menyejarah akan abadi selamanya. Requiem aeternam, dona ei, Domine! (*)