Breaking News

Opini Pos Kupang

Peter Apollonius Rohi dalam Kenangan

Sebelum bersua muka dengannya, saya tidak terlalu mengenal Peter Apollonius Rohi

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Peter Apollonius Rohi dalam Kenangan
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh : Tony Kleden Wartawan Senior di Kupang

POS-KUPANG.COM - Sebelum bersua muka dengannya, saya tidak terlalu mengenal Peter Apollonius Rohi. Baru setelah dia membantu beberapa bulan di Harian Pos Kupang sekitar 20 tahun lalu, saya mengenalnya dari dekat.

Di kantor, kami memanggilnya dengan Om Peter. Wajar kami panggil Om. Dia wartawan senior. Senior tidak cuma dalam dimensi umur. Tetapi dan terutama dalam urusan dengan jam terbang.

Gayanya khas nian. Rambutnya panjang. Lurus sebagaimana umumnya rambut orang Sabu. Banyak yang putih beruban. Om Peter menguncir rambutnya ke belakang.

Warga Kerap Terobos Lampu Merah

Senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia memanggil kami wartawan muda dengan sapaan adik. Penampilannya apa adanya. Tidak pasang muka angker. Tidak juga jaim (jaga imij). Sangat familiar dengan siapa saja. Ekspresi khas seorang wartawan yang setia berbakti pada panggilan nuraninya.

Di ruang Sekretariat Redaksi, Om Peter dapat satu meja kerja lengkap dengan kursi.Komputer di meja kerjanya itu selalu on. Buku-buku referensi, terutama ensiklopedia, dilahapnya.

Pilkada 2020, Cegah Covid-19 Ada Penambahan 94 TPS di Manggarai

Karena sama-sama di satu kantor, interaksi terjadi setiap hari. Kami ngobrol dengan gaya sersan, serius tapi santai. Beragam isu jadi topik.

Dari interaksi dan mendengar langsung dalam obrolan dengannya itu, saya akhirnya kukuh pada penilaian dan kesan sendiri. Peter A Rohi memang wartawan hebat. Bahkan lebih dari sekadar wartawan.

Bagaimana tidak? Pengetahuannya luar biasa banyak. Wawasannya luas. Pemahamannya tentang suatu obyek mendalam sekali. Di kantor ketika itu, saya lebih suka menyebutnya `kamus hidup'.

Kebajikan, kapasitas, kompetensi seperti ini hanya mungkin ada padanya karena kesetiaannya berbakti dan mendermakan diri pada panggilannya sebagai wartawan dalam arti arti kata sesungguhnya.

Ya, Peter Rohi melakoni profesinya secara sangat sungguh-sungguh. Sebagai wartawan yang mewartakan kabar yang benar. Tanpa banyak kepentingan. Dia jauh dari kepentingan apa pun.

Wartawan dengan sikap seperti ini terbaca dari beragam tulisannya. Dia menulis gula airnya orang Sabu-Rote dengan segala dimensinya. Pohon lontar sebagai pohon kehidupan orang Sabu-Rote. Gula air sebagai sarapan pagi anak-anak sekolah.

Kalau wartawan umumnya cenderung menampilkan diri sebagai seorang generalis, Peter Rohi dengan kemampuannya menempatkan diri sebagai seorang generalis-spesialis. Kalau wartawan lain tahu banyak hal meski sedikit, Peter Rohi tahu banyak hal dan tahu dengan segala detail dan tetek bengeknya.

Tentang sejarah, Peter Rohi adalah orangnya. Dia menjelaskan dengan sangat baik, bahkan melukiskannya secara detil, Perang Timor Timor tahun 1970-an. Dia hafal dan ingat betul tempat-tempat bersejarah di banyak daerah. Kisah di balik tempat sejarah itu juga dikuasainya dengan baik.

Dia mengejar pengawal setia Bung Karno asal Sabu bernama Riwu Ga. Menggali informasi dari Riwu Ga. Hasilnya,lahir tulisan Peter Rohi yang terkenal itu, "Riwu Ga Terompet Proklamasi."

Terus terang, dari interaksi dengan Peter Rohi, saya akhirnya tertarik juga dengan kisah-kisah sejarah. Kisah hidup para tokoh sejarah. Saya menguber buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Membaca sampai tertidur-tidur roman sejarahnya `Arus Balik' yang terkenal itu.

Saya membaca dengan penuh gairah kisah hidup Bung Karno dalam berbagai buku.Saya membaca dengan tekun buku `Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX". Menarik nafas legah setelah membaca `Mochtar Lubis Wartawan Jihad'. Atau juga titian perjalanan Joko Widodo berjudul `Jokowi Menuju Cahaya' yang sangat menginspirasi itu.

Dalam bayangan saya, Peter Rohi tentu sangat tahu dan sangat familiar dengan tokoh-tokoh sejarah di atas. Sebagai sejarawan, dia pasti sudah mengetahui dengan sangat baik sepak terjang beberapa pelaku sejarah di atas.

Bagi saya, Peter Rohi menampilkan diri sebagai wartawan penuh bakti di medan baktinya. Dia menggunakan penanya secara bertanggung jawab mentransformasikan fenomena sosial ke dalam bahasa berita.

Motivasinya menulis murni membuka tirai dan memberi pencerahan atas suatu obyek. Tidak terutama dengan motif do ut des (saya memberi supaya Anda juga memberi). Ketika banyak media terperangkap dalam jaring kekuasaan dan bisnis, ketika banyak wartawan terpenjara dalam sungkup kepentingan, Peter Rohi tetap berdiri kuat di atas pendiriannya sebagai nabi yang berseru tentang kebenaran.

Dengan sikap dan pendirian seperti ini, tulisan-tulisan Peter Rohi lebih bernuansa pencerahan, pemahaman dan bahkan juga peringatan. Kisah heroik Riwu Ga keliling Jakarta dengan jip terbuka sambil berteriak `Indonesia sudah merdeka' sesaat setelah naskah Proklamasi dibacakan Bung Karno mempunyai nilai sejarah tinggi, pesan moral yang kuat dan menambah pengetahuan banyak orang tentang kisah seputar Proklamasi Kemerdekaan RI tempo dulu.

Cerita tentang Riwu Ga ini sengaja diambil di sini sebagai contoh untuk menegaskan betapa berjasahnya Peter Rohi atas sebagian dari fakta sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Andaikata Peter Rohi tidak menulisnya, nama Riwu Ga luput dari catatan sejarah Proklamasi Indonesia.

Maka sebagai wartawan, melalui tulisannya Peter Rohi mengingatkan negara besar ini tentang fakta suci di sekitaran Proklmasi Kemerdekaan Indonesia. Melalui tulisannya tentang Riwu Ga, Peter Rohi melawan konsepsi kaum post-strukturalis bahwa fakta bukanlah kejadian sebagaimana sudah terjadi, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Membaca tulisan Peter Rohi, tertangkap kesan kalau kekuatan tulisannya terletak pada kemampuannya membuat berita menjadi kisah, informasi menjadi narasi dan fakta menjadi makna. Tulisan Peter Rohi, karena itu, sangat renyah dibaca, memberi `insight' yang berguna dan membawa pesan mendalam.

Dari rahim NTT lahir banyak wartawan hebat. Dari rahim NTT lahir juga banyak sastrawan dan kritikus sastra terkenal. Para wartawan, sastrawan dan kritikus sastra asal NTT itu sudah sering mendapat apresiasi dari negara ini, bahkan juga di dunia internasional. Sebaliknya apresiasi kepada para pekerja intelektual ini jarang diberi daerah ini untuk mereka.

Hari Rabu, 10 Juni 2020 pagi, Peter Apollonius Rohi menemui ajalnya. Kembali ke Sang Pengasalnya. Selamat jalan Om Peter Apollonius Rohi. Apresiasi dari daerah ini mungkin tidak ada untukmu. Sebagai pengagum, rekan seprofesi, saya yakin Om Peter tidak butuh apresiasi. Tetapi sejarah sudah mencatat nama Peter Apollonius Rohi sebagai seorang wartawan berciri generalis-spesialis dari Nusa Tenggara Timur. Apresiasi akan dihilang ditelan waktu, tetapi namamu yang menyejarah akan abadi selamanya. Requiem aeternam, dona ei, Domine! (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved