Kematian George Floyd
Mengapa Demonstrasi Damai Memprotes Kematian George Floyd Bisa Berubah Jadi Kerusuhan & Penjarahan?
Sebagian besar unjuk rasa ini berlangsung damai, namun dalam mayoritas kasus, para pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan polisi, membakar mobil-mobil
Namun, "polisi sering bereaksi terhadap massa secara keseluruhan" dan jika orang merasa bahwa penggunaan kekerasan oleh polisi terhadap mereka tidak dapat dibenarkan, ini meningkatkan mentalitas "kita lawan mereka".
Ini "dapat mengubah cara orang merasakan tentang kekerasan dan konfrontasi - misalnya, mereka mungkin mulai merasa bahwa kekerasan itu sah-sah saja karena situasi yang ada."
Darnell Hunt, dekan ilmu sosial di UCLA, yakin polisi di AS "meningkatkan agresivitas mereka" selama akhir pekan.
"Mengerahkan garda nasional, menggunakan peluru karet, gas air mata, dan semprotan merica. Ini adalah serangkaian taktik polisi yang dapat memperburuk situasi yang sudah tegang."
Ini adalah pola yang juga sudah terlihat dalam sejumlah aksi unjuk rasa lainnya di seluruh dunia. Misalnya, pada 2019, selama tujuh bulan Hong Kong dilanda protes antipemerintah, yang sebagian besar awalnya berlangsung damai dan berakhir dengan kericuhan.
Para pakar menyoroti serangkaian taktik polisi yang dipandang sebagai tangan kosong - termasuk penembakan gas air mata dalam jumlah besar terhadap para demonstran muda - sebagai langkah yang bisa membangkitkan emosi para pengunjuk rasa dan membuat mereka lebih konfrontatif.
Prof Stott berpendapat bahwa pasukan polisi yang telah berinvestasi dalam pelatihan deeskalasi lebih mungkin untuk menghindari kekerasan saat berlangsungnya unjuk rasa.
Dia merujuk berbagai unjuk rasa yang bisa tetap berlangsung damai di AS selama akhir pekan, seperti di Camden, New Jersey, ketika para petugas kepolisian bergabung dengan warga dalam pawai melawan rasialisme.
Kepolisian Camden mengunggah foto di Twitter yang menunjukkan kepala kepolisian berdiri dengan para pengunjuk rasa: Chief Wysocki dalam aksi hari ini, bergabung bersama warga untuk mengenang George Floyd.
Tergantung pada apa yang diyakini
Psikologi moral dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa unjuk rasa berubah menjadi kericuhan, kata Marlon Mooijman, seorang asisten profesor dalam perilaku organisasi di Rice University, Amerika Serikat.
Moralitas seseorang adalah pusat bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Jadi "ketika kita melihat sesuatu sebagai sesuatu yang tidak bermoral, itu menciptakan perasaan yang kuat, karena kita merasa pemahaman kita tentang moralitas harus dilindungi".
"Ini dapat mengesampingkan kekhawatiran orang lain tentang menjaga perdamaian", karena "jika Anda berpikir sistemnya rusak, Anda akan benar-benar ingin melakukan sesuatu yang drastis untuk menunjukkan bahwa itu tidak dapat diterima."
Ini dapat berlaku untuk berbagai kepercayaan, misalnya, dalam kasus yang ekstrem, seseorang yang menganggap aborsi adalah penghinaan moral mungkin lebih cenderung mengatakan tidak apa-apa untuk mengebom klinik aborsi, katanya.
Penelitian menunjukkan bahwa media sosial juga bisa membuat orang lebih rentan untuk mendukung kekerasan, jika mereka percaya bahwa teman sebaya mereka memiliki pandangan moral yang sama dengan mereka, tambahnya.