Aset Diambil Alih Pemprov NTT, PT SIM Angkat Bicara
Pemprov NTT resmi mengambil alih aset yang sebelumnya dikelola PT Sarana Investama Manggabar ( PT SIM) di Labuan Bajo
Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | LABUAN BAJO - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur ( Pemprov NTT) resmi mengambil alih aset yang sebelumnya dikelola PT Sarana Investama Manggabar ( PT SIM) di Labuan Bajo, Sabtu (18/4/2020).
Rombongan Pemprov NTT dipimpin langsung Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, DR. Zet Sony Libing, M.Si didampingi Kasat Pol PP Provinsi NTT, Ir. Kornelis Wadu dan Kepala Biro (Karo) Hukum Sekda Provinsi NTT, Alex Lumba, SH., MH, aparat kepolisian Polres Mabar dan sejumlah anggota Pol PP Pemkab Mabar.
Pengambilalihan dilakukan sekitar pukul 09.00 Wita setelah Pemprov NTT memberikan surat peringatan ketiga kepada PT SIM.
• Pemkot Kupang Bagikan Masker Gratis
Menanggapi hal tersebut, PT SIM melalui Khresna Guntarto, SH selaku penasehat hukum mengatakan, menolak desakan penyerahan dan pengosongan paksa tanah dan bangunan.
Pasalnya, PT. SIM merasa tidak wanprestasi kepada Pemprov NTT, sehingga upaya paksa pengosongan tersebut, dinilai merupakan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, apalagi dilakukan di tengah bencana nasional Penyakit Virus Corona 2019 (Covid-19).
• 18 Penumpang KM Egon Dijemput Tim Gugus Tugas Sumba Barat dan Diantar Ke Rumah Masing-masing
PT SIM, selaku mitra kerja sama pembangunan dan pengelolaan bangunan hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat l, menilai perbuatan aparatur Pemprov NTT juga terkesan seperti preman yang secara sepihak, ingin mengambil alih tanah dan bangunan, tanpa disertai Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
"Perlu diketahui hingga saat ini tidak ada gugatan dari Pemprov NTT untuk membatalkan atau mengakhiri perjanjian kerja sama yang telah disepakati dengan PT. SIM," katanya dalam siaran pers yang diterima Sabtu siang.
Pemutusan kerja sama dan pengosongan paksa itu, lanjut Khresna, diduga sarat maladministrasi dan tidak manusiawi, karena dilakukan di tengah bencana nasional dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), akibat mewabahnya penyakit virus corona 2019 (COVID-19).
Keputusan Pemprov NTT juga dinilai kontradiktif dengan kebijakan relaksasi, stimulus dan insentif yang disampaikan pemerintah pusat untuk bidang perekonomian guna mengatasi wabah.
"Mewabahnya Covid-19 telah mengakibatkan resesi ekonomi dalam skala yang masif dan sektor pariwisata merupakan salah satu bidang yang paling terdampak. Mengutip keterangan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per tanggal 01 April 2020 sudah 1.139 hotel telah menutup sementara kegiatannya. Ibarat peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga," jelasnya.
Khresna menuturkan, PT SIM yang mati-matian sedang mempertahankan usaha perhotelan dalam kondisi saat ini, menjadi dipaksa untuk gulung tikar akibat desakan Pemprov NTT kepada PT. SIM untuk menyerahkan bangunan dan meninggalkan lokasi Pantai Pede.
Pemprov NTT, jelas Khresna, seyogyanya tidak merampas hak PT. SIM, yang juga bagian dari masyarakat Negara Republik Indonesia. PT SIM telah mendedikasikan diri sebagai investor sekaligus mitra kerja sama untuk mengembangkan pariwisata di Labuan Bajo, serta memberdayakan masyarakat setempat.
"Perbuatan Pemprov NTT mengusir PT. SIM dengan sewenang-wenang menunjukan hilangnya keadilan dan kepastian hukum, serta kemudahan berusaha di Provinsi NTT," ungkapnya.
Pemutusan kerja sama sepihak oleh Pemprov NTT, dinilai tidak sesuai dengan visi misi pemerintah pusat mengenai upaya meningkatkan peran serta masyarakat dan meningkatkan investasi domestik maupun internasional.
"Oleh sebab itu, kami mengkhawatirkan adanya agenda terselubung dibalik pengambialihan lahan Pantai Pede, terutama mengingat Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai destinasi wisata premium oleh Pemerintah Pusat," ujarnya
Sebagai informasi, lanjut Khresna, PT. SIM telah melaporkan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, kepada Ombudsman RI, Rabu (08/04/2020) lalu, sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja sama secara sepihak itu.
"Pengaduan tersebut disampaikan oleh Kuasa Hukum PT. SIM, Khresna Guntarto dan pengaduannya diterima di bagian pengaduan Ombudsman RI. Selanjutnya sesuai Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Ombudsman RI Nomor 002 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan akan dilakukan pemeriksaan syarat formil pengaduan, sebelum dilakukannya pemeriksaan terhadap pelapor dan terlapor," jelasnya.
Lebih lanjut, PT. SIM menolak pemutusan secara sepihak dan keberatan untuk menyerahkan bangunan. Sebab, surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya.
Menurutnya, PT. SIM tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015 hingga 2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja.
Dijelaskannya, PT. SIM selalu membayar biaya kontribusi tahunan sesuai Perjanjian Kerja Sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 hingga 2019, serta terus berkomitmen untuk membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10 persen di tahun ke-10.
"Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 sampai dengan 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi. Oleh sebab itu, alasan pemutusan kerja sama tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur Pasal 236 Ayat (2) Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah," katanya.
Khresna melanjutkan, kesewenang-wenangan Pemprov NTT semakin terlihat jelas dengan mengabaikan tata cara pengakhiran perjanjian yang diatur di dalam Pasal 237 Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pemutusan hubungan kerja, ujar Khresna, dilakukan dengan jalan pintas tanpa didahului peringatan yang harus dilakukan sebanyak 3 kali dan masing-masing peringatan memiliki jangka waktu 30 kalender sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016.
Tindakan Gubernur NTT dinilai mengakibatkan rasa tidak aman dan rasa tidak nyaman bagi PT. SIM dalam menjalankan investasi di bidang kepariwisataan di Labuan Bajo.
"Lalu menimbulkan keragu-raguan serta tidak adanya kepastian hukum bagi PT. SIM ataupun investor lainnya," ungkapnya.
Khresna menuturkan, PT SIM merupakan mitra kerja sama dari Pemprov NTT cq. Gubernur Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagaimana Perjanjian Kerja Sama No.HK.530 Tahun 2014-No.04/SIM/Dirut/V/14 tanggal 23 Mei 2014 ("PKS tanggal 23 Mei 2014").
Lebih lanjut, kerja sama tersebut memiliki jangka waktu 25 tahun terhitung sejak tanggal beroperasi dan memiliki besaran kontribusi yang telah ditetapkan berdasarkan penelaahan, penelitian dan penilaian oleh Pemprov NTT.
PT. SIM baru memulai kegiatan uji coba operasional setelah pembangunan hotel selesai dibangun pada bulan Juni tahun 2019.
"Pembangunan mundur dari target pengerjaan dikarenakan banyaknya gangguan di lapangan yang dialami berupa aksi unjuk rasa masyarakat setempat, yang menganggap Lahan tersebut adalah bukan milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehubungan pemekaran wilayah Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Namun, dengan dibantu banyak pihak, termasuk Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, bersama-sama menyakinkan masyarakat setempat untuk dapat membangun, dengan syarat tetap menjadikan Pantai Pede sebagai Pantai Publik yang dapat diakses bersama," jelasnya.
Selain itu, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) baru diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat pada Desember 2016. Kendati demikian, sekalipun banyak masalah dan gangguan yang dihadapi, PT. SIM tetap melaksanakan pembayaran kontribusi tepat waktu sesuai dengan PKS tanggal 23 Mei 2014.
Menurutnya, pada pasal 1 Angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, menyatakan yang dimaksud dengan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
"Dengan demikian, perbuatan Gubernur Pemerintah Provinsi NTT sebagai Terlapor dapat dikategorikan melakukan perbuatan maladministrasi, karena telah mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Daerah dan Pemerintahan Daerah," jelasnya
Sebagai informasi, kata Khresna,selain pengaduan kepada Ombudsman RI, PT. SIM juga mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI, selaku pengawas jalannya pemerintahan daerah.
"Permohonan perlindungan hukum disampaikan pada hari yang sama dengan pengaduan ke Ombudsman RI," katanya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Assale Viana)