Opini Pos Kupang

Saputangan Kafan Buat Tuan Corona, Opini 13 April 2020

"Tuan Corona, brengsek sekali Anda ini." "Kenapa?" Jawab Tuan Corona cuek. "Kejam! Seenakmu menggunting puluhan ribu nyawa di dunia

Editor: Ferry Jahang
Istockphoto
Virus Corona Covid-19 

"Memang kami harus melakukan apa?" "Anda terlalu sibuk sih. Tapi sampai hari ini Anda belum menemukan vaksin yang mengusir saya dari paru-parumu. Di negerimu ini paling banter memproduksi vaksin hoaks."

"Tapi, masih berapa lama Tuan Corona di negeri kami?" "Tergantung keadaan. Sepertinya masih lama?" "Bangsat! Mengapa Tuan tidak segera pergi?" "Anda tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengusir saya."

"Kekuatan apa yang harus kami miliki Tuan?" "Pertama, Anda jangan bandel. Lanjutkan perjalanan menuju rumahmu dan menuju dirimu.

Tinggalkan semua rumah ibadah karena itu rumah ibadah yang paling megah ada di hati, di pikiran, dan perbuatanmu. Rumahmu juga adalah rumah ibadah. Ibadah di rumah menjadi urusan pribadimu.

Bukan ibadah di luar yang lebih banyak pose daripada meregukoase iman di sana. Kedua, saat ini paling indah untuk menyingkir belati di hati dan tumbuhkan melati di antara kalian. Bangunlah solidaritas untuk melawan saya."

"Tuan corona, kami hanya dapat memberikan saputangan dari kafan ini, tanda tak ada lagi yang tersisa dari perjuangan kami, selain berkabung.

Terimalah ini sebagai bukti bahwa Anda tidak hanya menusuk lambung hingga paru-paru, lalu mencekik pernapasan, tetapi masuk sampai pembulu kesadaran kami."

Ketika Anda menyerahkan saputangan kafan itu kepada Tuan Corona, diam-diam saya menghilang dari sisi kanan rumah Anda.

Namun, minimal, saya mendapatkan beberapa pesan hasil pertengkaran Anda dan Tuan Corona. Pertama, virus hoaks jauh lebih masif menciptakan kepanikan.

Keadaan sekarang begitu sulit membedakan antara berita dengan berita-beritaan. Media sosial selalu mengambil posisi sebagai pihak ketiga yang menggemburkan keadaan, sekaligus mereguk keuntungan berlipat ganda.

Tambahan pula, pejabat pemerintah yang gengsian menggunakan istilah asing seperti lockdown, social distancing dan istilah asing lainnya.

Rakyat mengira istilah-istilah ini sejenis virus yang menyebar bersamaan dengan virus corona.

Kedua, momen ini adalah petaka kemanusiaan yang sangat boleh jadi mengubah peradaban dan mereken-reken libido kemanusiaan yang kadang menenteng identitas murahan.

Corona pula yang memadamkan api dalam sekam kebencian Indonesia terhadap China. Sekelompok masyarakat Indonesia anti China, bahkan Presiden Joko Widodo sering dituduh antek China.

China dibenci, terutama karena dua hal. Pertama, China yang mengendalikan "piring nasi" (menguasai perekonomian Indonesia), dan kedua, China adalah bangsa kafir.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved