Opini Pos Kupang
Sejenak Menepi Pada Eksistensi
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul: Sejenak Menepi Pada Eksistensi
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul: Sejenak Menepi Pada Eksistensi
Oleh : Peter Tan, Bekerja di UNIKA Widya Mandira Kupang
POS-KUPANG.COM - Pandemi Covid-19 menunjukkan batas-batas diri manusia modern. Ketika semua kesibukan dipaksa berhenti, mobilitas yang tinggi dipaksa untuk diam, kebisingan dan hiruk pikuk dipaksa senyap, segala rutinitas keseharian diputus mata rantainya, pusat-pusat keramaian, gedung-gedung dan ruang publik jadi sepi, kerumunan bubar karena orang-orang membatasi persentuhan dengan yang lain, kita, masyarakat modern, sedang terlempar ke keterasingan yang mengerikan.
Harus diakui, masyarakat modern adalah masyarakat yang tenggelam dalam rutinitas keseharian yang padat, nomad sejati yang selalu bergerak, tak kenal diam. Setiap orang dikejar untuk terus menghasilkan barang dan jasa. Deadline menjadi santapan sehari-hari. Orang hidup dalam tekanan baik fisik maupun mental. Tingkat stress, kesepian, dan bunuh diri terus meningkat.
• Kaban Perbatasan Koordinasi Imigrasi RDTL
Ketimpang sosial, ekonomi dan politik tak terbendung karena keinginan untuk menguasai segala sesuatu. Didorong oleh idealisme untuk memeluk kemajuan setinggi mungkin dan utopia kemewahan yang digantungkan setinggi langit itu, masyarakat modern tak pernah punya waktu untuk merenungkan palung terdalam eksistensinya.
Suara kritis terhadap cara hidup masyarakat modern itu telah didengungkan oleh seorang filsuf eksistensial Jerman pada abad ke-20, Heidegger. Menurutnya, situasi-situasi modernitas yang dilukiskan itu membuat masyarakat modern tidak mengalami apa yang disebutnya sebagai "kecemasan eksistensial". Alih-alih mengalami kecemasan eksistensial, masyarakat modern adalah masyarakat yang mengambang dan terombang-ambing karena tercerabut dari akar-akar eksistensinya.
Kita sering menyamakan begitu saja rasa takut dan rasa cemas. Tapi sebetulnya penyamaan itu keliru. Kecemasan (angst), menurut Heidegger, tidak sama dengan ketakutan (anguish). Ketakutan adalah "several mental pain", fear, sesuatu yang lebih psikologis sifatnya. Rasa takut berkaitan dengan objek yang nyata, seperti takut akan naiknya BBM, takut akan naiknya tarif telpon, takut akan lawan politik, takut kalah, takut akan kuburan, atau takut akan virus Corona.
• MPH PGIW NTT Minta Jemaat Lakukan Social Distancing Sesuai Protokol Pemerintah
Represi akibat rasa takut bisa menyebabkan hilangnya keseimbangan fisik dan mental. Tapi "kecemasan" selalu eksistensial sifatnya, suatu keadaan di mana seseorang menjadi sadar akan kemungkinan ketidakberadaannya. Heidegger menyebutnya sebagai kesadaran akan "ada menuju kematian", sebuah kesadaran yang paling primordial pada manusia. Kecemasan tidak berkaitan dengan sesuatu yang konkret. Dia hanya berhubungan dengan "ada", dengan eksistensi.
Seseorang yang cemas secara eksistensial akan dibenturkan pada pertanyaan-pertanyaan ini: Dari mana saya berasal? Ke mana saya pergi? Mengapa saya ada? Untuk apa saya hidup? Heidegger yang berfilsafat ketika dunia sedang dilanda bencana perang dunia II mengakui bahwa pertanyaan-pertanyaan ini adalah bentuk "kegelisahan eksistensial" yang semakin tajam menyembul manakala seseorang sedang menghadapi krisis, penyakit, ancaman dan kematian.
Agama telah berusaha menjawab semua pertanyaan ini. Tapi seseorang yang sungguh-sungguh bercakap-cakap dengan eksistensinya, yang berani menukik ke palung terdalam dirinya dengan menghentikan semua obrolan dangkal di media sosial serta rutinitas keseharian yang padat, bisa merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini tanpa perlu tuntunan agama dan Kitab Suci.
Di hari-hari ini, ketika semua kesibukan dan rutinitas dikurangi atau berhenti, jadwal-jadwal yang teratur menjadi berantakan, mata rantai rutinitas keseharian diputuskan, persentuhan dengan orang dibatasi, dan ketika kita terlempar dalam kesendirian, kita diajak untuk "bercakap-cakap" dengan eksistensi kita. Masyarakat modern tentu saja tak biasa "bercakap-cakap" dengan eksistensinya karena tuntutan kesibukan, rutinitas, mobilitas dan jadwal yang padat dan tinggi.
Kehilangan gairah untuk bercakap dengan eksistensi, atau raibnya "mistik keseharian" dan "kontemplasi diri" itu membuat masyarakat modern menjadi banal dan dangkal. Namun, hari-hari ini, ketika Covid-19 memutuskan semua mata rantai rutinitas, kita seakan-akan didesak untuk menepi pada eksistensi dan terlempar kepada kesendirian.
Kita tentu saja bisa memilih antara rasa takut atau kecemasan eksistensial. Rasa takut menuntut kita untuk memperhatikan semua instruksi pemerintah dan tenaga kesehatan agar terhindar dari paparan Covid-19. Tapi manusia yang otentik bisa melampaui sekadar rasa takut menuju kepada kecemasan eksistensial. Dengan berhentinya roda kesibukan dan berkurangnya mobilitas, kita, masyarakat modern diajak untuk pulang ke rumah eksistensi kita, merenungkan palung terdalam kehidupan kita dan mencandari jati diri kita masing-masing.
Kini saatnya kita meredam semua, jeda sejenak dari segala kebisingan. Kembali mendengar suara hati dan relung eksistensi kita, kemanusiaan kita yang selama ini tertindih bahkan terkubur oleh segala bentuk kegaduhan (Purnawan Andra, Kompas, 18/3/2020).
Jati diri manusia itu menyembul manakala masyarakat modern sejenak berefleksi dan berpikir meditatif. Berpikir meditatif berarti kita sejenak menepi pada eksistensi. Kita sejenak pulang kepada hakikat diri kita masing-masing sebagai manusia, suatu hakikat yang selama ini tergerus oleh kegaduhan sehari-hari, kegaduhan politik, ekonomi dan teknologi.