Opini Pos Kupang

Toleransi Membunuh Toleransi

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul toleransi Membunuh toleransi

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Toleransi Membunuh Toleransi
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul toleransi Membunuh toleransi

Oleh : Lukas Benevides, Staf Pengajar Pra-Novisiat Claret Kupang

POS-KUPANG.COM - Beberapa hari terakhir jagad media online warga NTT dipenuhi isu radikalisme. Konon HTI menyusup ke beberapa daerah di NTT. Kupang sebagai ibu kota provinsi merupakan target utama kelompok ekstrimis ini.

Beberapa kampus ternama bahkan memiliki mahasiswa terpapar radikalisme sebagaimana diberitakan harian lokal tersohor seperti Pos Kupang dan Victory News (09/03/2020).

BREAKING NEWS: Uskup, Imam, Tamu dan Umat Cuci Tangan dan Periksa Suhu Tubuh di Pinta Gereja

Kalau kaum HTI berhasil menerobos tembok pertahanan NTT, pemerintah dan warga NTT perlu mengintrospeksi diri. Bukankah NTT dikenal secara nasional sebagai provinsi paling toleran? (Bdk. Pos-Kupang.com, 2/11/2019).

Kalau demikian, mengapa bibit-bibit intoleransi mulai bermunculan subur dan berkecamuk di lahan toleransi tingkat dewa ini? Apakah ini prestasi toleransi bahwa masyarakat NTT mampu mentolerir intoleransi atau lubang kelemahan pemerintah dan masyarakat NTT?

Komunitas Ine Jao di Ngada Adakan Kegiatan Motivasi Menulis Diikuti Siswa SMPS St Agustinus Langa

NTT: Provinsi Paling Toleran

Hasil survey Kementrian Agama membuktikan NTT adalah provinsi dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia (Pos-Kupang.com, 29/10/2019). Kesimpulan berbasis data ini diakui sendiri oleh semua pemangku jabatan tinggi agama-agama di NTT.

Tentu saja terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi pencapaian ini. Misalnya, masyarakat NTT memiliki warisan budaya yang heterogen dari leluhurnya. Kita lahir di atas tanah yang dihuni oleh aneka ras, agama, dan suku. Meskipun demikian, jarang sekali terjadi gesekan horizontal antar kaum beragama.

Setelah kasus 1990, masyarakat NTT tidak pernah terkontaminasi isu-isu politis yang bernuansa SARA. Orang NTT hingga hari ini memahami dirinya sebagai warga patriotis-nasionalis tanpa terjerumus ke dalam jurang ultra-nasionalis cauvenistik.

Prestasi ini patut diacungi jempol karena kita menyumbangkan stabilitas nasional dan global. Lahir pada abad ini mengharuskan kita menjadi warga nasional sekaligus global. Warga NTT menginsafi konteks dan definisi identitas zaman ini. Lantas, mengapa terdapat pentolan HTI di NTT, bahkan berkeliaran bebas dan lama dalam beberapa kampus ternama di Kupang?

Mengapa Muncul Intoleransi di NTT

Kita tidak bisa menampik kalau pentolan HTI tengah bertumbuh subur di provinsi kita yang sangat ramah. Alih-alih menguras tenaga untuk saling mengkambinghitamkan, mengalihkan isu, atau meng-hoaks-kan fakta tersebut, lebih baik kita mencari faktor-faktor penyebabnya. Menemukan akar masalah adalah setengah dari solusi.

Kemunculan antek-antek HTI di NTT bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan faktor. Pertama, orang NTT asli terpapar rayuan ekstrimisme. Kelihatan sangat sulit untuk membuktikan kemungkinan ini, tetapi bukan sesuatu yang mustahil.

Kelompok radikal memiliki aneka cara untuk membangun simpatisan dan merekrut anggota. Kedua, imigrasi kecolongan. Selain warga asli NTT, eksponen HTI yang berkeliaran di NTT bisa berasal dari luar. Tesis ini mengandaikan imigrasi kita tidak ketat untuk menyaring status penduduk `pindah masuk' ke daerah kita. Pengurusan administrasi kependudukan seharusnya disaring dengan rigid.

Kemungkinan faktor ketiga, bila memang terdapat mahasiswa HTI di kampus-kampus kita, kriteria atau implementasi kriteria seleksi tidak kritis dan longgar.

Universitas-universitas kita seharusnya tidak mengejar kuantitas mahasiswa untuk mengisi kuota dan kursi kosong di kampus, tetapi menerapkan sensor yang menyasar kualitas mahasiswa.

Faktor keempat, menurut saya paling esensial, masyarakat NTT memiliki konsepsi toleransi yang multiplural dan tidak normatif. Ketidakjelasan seperti ini justru dengan mudah dimanfaatkan kaum radikal bahkan di ranah hukum.

Tentu saja masih terdapat banyak faktor. Ketiga faktor sebelumnya sangat mudah untuk diselesaikan ketika para "stakeholders" dan lembaga terkait mengetahui kekurangan mereka. Saya ingin mengulas faktor terakhir.

Konsepsi Toleransi

Saya kira baik bila semua lapisan masyarakat NTT memiliki lensa toleransi yang sama. Kesamaan lensa akan membantu kita untuk membidik dengan `frame' yang tepat. Karena itu, toleransi membutuhkan konseptualisasi yang definitif, minimal sebagai `ethical guideline'. Definisi membantu kita untuk mematok dan memangkas intoleransi.

Jika toleransi dimaknai sebagai menerima orang dan mengizinkan praktik-praktik mereka meskipun kita sangat tidak setuju hanya akan menjatuhan ke dalam zona "blurred", "a puzzling attitude".

Orang yang berbuat jahat pun akan kita terima walaupun kita mungkin menolak kejahatan. Negara demokrasi pluralistik-radikal juga membutuhkan trajektori agar idealitas-idealitasnya dapat diimplementasikan (Bdk. Mouffe & Laclau, 1985, 1990, 1992, 2000).

Toleransi memiliki makna yang luas, "Even though we disagree, they are as fully members of society as I am. They are as entitled as I am to the protections of the law, as entitled as I am to live as they choose to live. In addition (and this is the hard part) neither their way of living nor mine is uniquely the way of our society. These are merely two among the potentially many different outlooks that our society can include, each of which is equally entitled to be expressed in living as one mode of life that others can adopt. If one view is at any moment numerically or culturally predominant, this should be determined by, and dependent on, the accumulated choices of individual members of the society at large" (Scanlon. 2003).

Adapun di dalam hidup bernegara, toleransi berarti mengindahkan hak legal dan politik seseorang. Hak legal dan politik berbeda dari hak hidup. Hak hidup dibawa setiap orang sejak keberadaannya, tetapi hak legal dan politik diberikan dan dijamin oleh negara.

Konsekuensinya, bila negara mencabut hak-hak tersebut, seseorang kehilangan klaim pemenuhannya. Di dalam konteks Indonesia, toleransi kita selalu pancasilais (Bdk. E.Ramage, 1995).

Maka, toleransi kita tidak bisa melebihi, bertentangan apalagi menolak Pancasila. Setiap kelompok yang menolak Pancasila dengan demikian mengeluarkan dirinya dari lingkaran Pancasila. HTI tidak terutama dieliminasi hak legal dan politiknya oleh negara, tetapi mengeluarkan diri sendiri dari bidikan paradigmatis Pancasila.

Toleransi Membunuh Toleransi

Toleransi yang benar tidak berarti mentolerir apa saja, tetapi tahu kapan dan bagaimana harus menerapkan prinsip toleransi "it is the art of knowing when and how to tolerate" (Budziszewski, 1992). Toleransi adalah "a human virtue". Keutamaan berarti "much more than a readiness to follow a rule; it includes, in fact, a developed ability to distinguish good rules from bad, and to choose rightly even where there are no rules or where what rules there are seem to contradict each other" (Budziszewski, 1992).

Sebagai keutamaan, toleransi tidak berarti membiarkan semua praktik hidup dan ideologi. Toleransi juga tidak berarti mengikuti aturan secara literaris-positivistik. Toleransi bahkan mendorong penggunaan fitrah etis tatkala terdapat vacuum kaidah hukum.

Kelompok radikal seperti HTI tidak hanya tidak mengikuti kaidah hidup bernegara berbasis Pancasila, tetapi juga merongrong kebebasan hakiki kita sebagai manusia. Mereka mencabut ruang kebebasan setiap orang untuk berkreasi sebagai manusia dengan memaksakan konsepsi totaliter `khalifah'nya. Dengan demikian, mengusung toleransi atas intoleransi HTI adalah membunuh toleransi di NTT. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved