Diskusi soal ASF, Perlu Pengendalian Pergerakan Ternak

Perlu ada upaya pengendalian pergerakan ternak babi agar dapat mencegah penyebaran African Swine Fever ( ASF

Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/Oby Lewanmeru
Akademisi Undana Dr. John Ly menyampaikan materi pada acara diskusi tentang ASF di Kantor IRGSC, Rabu (11/3/2020) 

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Perlu ada upaya pengendalian pergerakan ternak babi agar dapat mencegah penyebaran African Swine Fever ( ASF).

Hal ini disampaikan Dosen Fakultas Peternakan Undana, Dr. John Ly pada acara diskusi tentang ASF di Kantor Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Rabu (11/3/2020).

Menurut John, dampak ASF terhadap pasar babi di NTT dalam pengamatan skop kecil dan pengamatannya, bahwa publik sudah tahu dampaknya, yakni terjadi kematian babi ribuan ekor.

Tangani Penderita DBD, Tenaga Kesehatan TNI Ditempatkan di 10 RS dan Puskesmas di Sikka

"Misalkan ternak babi yang mati sebanyak 3000 ekor dan apabila satu ekor dijual Rp 3 juta maka kerugian yang dialami sudah tinggi," kata John.

Dia menjelaskan, adanya ASF mengakibatkan populasi menurun dan kasus itu sudah dialami pada tahun 1997-1998.

"Kita dari akademisi bebas untuk menyampaikan, mungkin pak Kadis Peternakan tidak hadir karena takut," katanya.

Bahas Masalah DBD, Dandim 1618 TTU Kunjungi Dinas Kesehatan TTU

Dikatakan, nilai ekonomi juga menurun sehingga berdampak pada harga anak babi. Fakta lain, lanjutnya, bahwa
harga daging babi dari Rp 65 000 per kg menjadi Rp 15.000 per kg.

"Dampak lain, yakni pemanfaatan ,sepi aktivitas di pasar, warung daging babi ditutup, suguhan daging babi tidak ada. Saya tanya kenapa tidak disuguhi, mereka jawab kami takut ,jangan sampai babi sudah mati baru disuguhkan," kata John.

Dikatakan, ada beberapa pelaku pasar, pemilik modal,pengumpul/pengepul, penjual daging tradisional yang juga harus menjadi perhatian.

"Pemilik modal ini sebagai peternak, juga sebagai pengepul. Tapi yang paling berbahaya adalah pengepul," katanya.

Sedangkan, perlu ada pengambil kebijakan, yaiti pemerintah, akademisi, NGO dan pemerhati babi. "Kebijakan menyangkut regulasi, pengawasan dan penyuluhan," katanya.

Dikatakan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pengendalian pergerakan ternak dan biosecurity.

Pasar Berperan

Dr.drh. Petrus dari Politani Negeri Kupang mengatakan, pasar berperan dalam penyebaran penyakit. "Sejak September 2019 ,ketika penyakit mulai merebak di Timor Leste, saya sempat beri peringatan ke Dinas Peternakan agar segera tutup pergerakan ternak babi di pintu-pintu masuk," kata Petrus.

Menurut Petrus, pada November 2019 lalu sudah ada kematian yang cukup banyak di Kabupaten Malaka. Karena itu, dirinya meminta agar dipastikan,apakah babi yang mati akibat Hog Cholera atau ASF.

Dia mengatakan, untuk memeriksa sampel, selama ini dari NTT memeriksakan sampel di Medan. " Di Bali memang ada laboratorium,namun Bali tidak mau menerima sampel dari NTT," katanya.

Saat itu Direktur IRGSC Elcid Li, Ph. D menanyakan mengapa di NTT belum ada laboratorium, Petrus mengatakan, pihaknya menduga di NTT masih ada kendala soal sumber daya manusia yang bisa bekerja di laboratorium.

Terkait virus ini, ia mengakui, virus ASF ini bisa bertahan di fesces selama 100 hari, jadi kalau tidak ada sanitasi yang baik di kandang, maka ternak babi pasti akan mati.

Terkait babi yang mati, ia mengatakan, sebaiknya dikuburkan dan jangan dibawa keluar dari lokasi kematian.
"Jadi kalau ada babi yang mati di wilayah A, maka wilayah A ini disebut daerah terinfeksi. Karena itu babi yang mati itu dikuburkan di wilayah A, jangan dibawa keluar karena bisa menyebabkan penyebaran penyakit ke wilayah lain," katanya.

Dia juga mengatakan, jangan takut mengkonsumsi daging babi. Dikatakan, babi yang terserang Hog Cholera dan ASF aman jika dikonsumsi dagingnya. Asalkan diolah atau dimasak secara baik dan matang.

"Kalau suhu di atas 70 derajat maka virusnya mati. Namun selama ini masyarakat hanya masak stengah matang," katanya.

Dikatakan, ketika ada kasus, pihaknya selalu berkoordinasi dengan Disnak, namun Disnak enggan turun ke lapangan bersama akademisi. "Kadang juga mungkin pemerintah menjadikan kasus itu sebagai suatu proyek baru bisa bergerak," ujarnya.

Sementara itu , Dr. drh. Nino Klau mengatakan, asal penyakit ASF pertama kali dari Kenya tahun 1921 ,kemudian di Georgia tahun 2007. Sedangkan di Indonesia penyakit ini muncul di tahun 2019.

Dikatakan, risiko tinggi ASF di Indonesia, dengan populasi babi tinggi dan lalu lintas babi tinggi, yakni NTT, Papua,Sulsel, Bali, Kalimantan Barat, Sulut, Kepri, Sulteng dan Jawa Tengah.

Rudi Rohi,Ph. D dari IRGSC mengatakan, khusus di Kota Kupang, pemerintah juga tidak memiliki data riil tentang jumlah kandang babi.

"Ini persoalan yang terjadi di Kota Kupang. Kita bayangkan, kalau ASF itu tertular melalui babi, ayam san manusia,maka lenyap semua," kata Rudi

Kadis Peternakan NTT, Dani Suhadi yang dikonfirmasi tidak berhasil. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved