Opini Pos Kupang

Membahas Perbatasan Memeriksa Kebijakan

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: membahas perbatasan memeriksa kebijakan

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Membahas Perbatasan Memeriksa Kebijakan
Dok
Logo Pos Kupang

Pernyataan ini tentu tidak sedang menafikan kerja teman-teman di Otoritas Perbatasan (Badan Pengelolah Perbatasan). Teman-teman di BPP bisa sajak sudah bekerja. Persoalannya, dalam batas tertentu, BPP hanya menjadi pion dan eksekutor lapangan. Sebab, masih ada struktur lain di luar dan di atas yang mengendalikan perbatasan.

Kembali ke soal tapal batas dan kebijakan, dua paradigma ini tentu memiliki perbedaan. Kalau yang pertama melihat dinamika perbatasan dari aspek administratif yuridis, yang kedua membaca perbatasan dari banyak aspek seperti sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.

Implikasinya, jika menggunakan paradigma tapal batas, pendekatan keamanan jelas dipakai untuk mengatasi semua masalah. Di titik yang lain, penggunaan instrumen keamanan disebabkan karena urgensi keamanan negara. Kedaulatan negara menjadi harga mati di sana. Sungguh benar dan tidak salah. Kedaulatan negara tidak bisa ditawar-tawar.

Masalahnya, masyarakat perbatasan RI-RDTL memiliki karakter yang berbeda dengan beberapa wilayah perbatasan lain antarnegara di republik ini. Di sini, kedua masyarakat memiliki etnik dan karakter budaya yang hampir sama. Bahkan, jika dirumuskan dengan kalimat yang lebih vulgar, yang memisahkan Timor Barat dan Timor Timur itu hanya garis administrasi. Secara genealogis, keduanya masih memiliki hubungan yang sangat erat dan sulit dipisahkan.

Gugatan penting berikutnya ialah bagaimana memahami realitas perbatasan yang demikian? Jawabannya hanya dapat dijelaskan sejauh memahami penggunaan instrumen kebijakan sosial, budaya, politik, ekonomi, sekaligus keamanan.
Selama ini, kesibukan mengurus masalah perbatasan hanya dari aspek politik dan keamanan.

Di aspek politik pun tidak dilakukan secara konsisten. Semua berwatak postfactum. Baru dipikirkan kalau ada masalah di wilayah perbatasan.

Benar bahwa ada banyak kebijakan sosial dan ekonomi yang dialamatkan ke masyarakat perbatasan dan warga baru di perbatasan. Soal utamanya, penerapan kebijakan seperti itu selesai diusaha karitatif.

Penggunaan paradigma kebijakan mengandaikan kolaborasi antarpihak dari berbagai aspek secara konsisten dan langgeng. Itu berarti, semua aspek (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan) harus dilakukan dalam rentang waktu dan kendali yang sama.

Penerapan beragam kebijakan budaya, sosial, ekonomi, politik, dan keamanan mengandaikan adanya kemauan politik pengambil kebijakan di pusat untuk terus memerhatikan masyarakat perbatasan.

Di ruang demikian, semua pihak wajib melepaskan kepentingan apa pun atas perbatasan. Sebab, dalam bacaan banyak pihak, masalah perbatasan sering ditarik masuk ke kanal yang lain baik oleh elite lokal maupun nasional, sipil dan militer. Politik sering dianggap sebagai wilayah yang rawan memolitisasi masalah dan masyarakat perbatasan.

Saya masih sangat percaya, pendekatan budaya bisa menjadi alat utama sebagai pintu masuk bagi aspek lain dalam menyelesaikan masalah perbatasan. Kesamaan etnis dan corak budaya dapat dipakai sebagai avant garde dalam penyelesaian masalah.

Pelaksanaan festival budaya, pasar bersama, dan berbagai kegiatan sosial dan budaya lainnya harus dipahami dalam konteks perayaan keberasamaan masyarakat. Dengan begitu, meskipun secara administratif yuridis masyarakat perbatasan berbeda namun tetap satu dalam ikatan darah dan keluarga. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved