Opini Pos Kupang
Membahas Perbatasan Memeriksa Kebijakan
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: membahas perbatasan memeriksa kebijakan
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: membahas perbatasan memeriksa kebijakan
Oleh: Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - FISIP Corner-Fisip Undana Kupang mengadakan diskusi mengenai dinamika masalah perbatasan RI-RDTL (Senin, 2 Maret 2020). Diskusi dengan tema `Dinamika Sosial di Batas Negara RI-RDTL' menghadirkan tujuh pemantik dari perspektif berbeda-beda.
Diskusi mengenai perbatasan selalu menghadirkan semangat solutif. Meski dalam praktiknya, setiap intisari diskusi seakan jarang bahkan tidak pernah ditindaklanjuti. Karena itulah, diskusi Fisip Corner kali ini dibuat lebih serius.
• Dari Era Pembajakan sampai Youtube
Tujuan utamanya tentu bukan untuk memamerkan kecongkakan ilmiah. Fisip memiliki tanggung jawab moral berkaitan dengan persoalan sosial (juga perkara politik, budaya, ekonomi, dan keamanan) masyarakat perbatasan.
Tanggung jawab moralnya pun bukan terutama karena eksistensi Fisip Undana. Dua hal itu (tanggung jawab moral dan etik) perlu dibumikan terutama karena posisi Undana dan perbatasan RI-RDTL yang berada di wilayah ini.
Fisip berpandangan masalah perbatasan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada otoritas perbatasan atau pemerintah daerah dan pusat. Sebagai gudang pemikir, Fisip Undana coba mengambil bagian dalam diskursus perbatasan.
• Hari Ini Tinggi Gelombang di Perairan Samudera Hindia Selatan Sumba Sabu Hingga 4.0 Meter
Tulisan ini tidak ingin mencari dan menggali sebab musabab persoalan perbatasan. Bukan pula menjawab tuntas persoalan di sana. Gagasan utama tulisan ini ialah mendorong semua pihak untuk bersatu memikirkan masyarakat perbatasan secara komprehensif dari sudut cara memandang masalah perbatasan.
Masalah perbatasan tidak akan selesai di tangan pakar di Fisip Undana. Dibutuhkan usaha semua pihak dalam mengurai dan menyelesaikan masalah di sana.
Masalah Segudang
Masalah perbatasan bukan kali ini saja dibahas oleh banyak pihak. Tahun lalu, tim peneliti dari UGM pernah berdiskusi dengan beberapa pakar di kampus Fisip Undana. Diskusi kala itu berhasil membuka tabir beragam masalah yang terjadi di perbatasan.
Hasilnya, mendiskusikan perbatasan harus merujuk banyak dimensi dengan harus melibatkan banyak pihak. Sebab, persoalan perbatasan, terutama RI-RDTL tidak hanya menyangkut urusan administrasi pemerintahan antarnegara.
Masalah perbatasan RI-RDTL terbentang luas mulai dari persoalan administrasi hingga ke perkara keamanan; dari masalah sosial sampai ke soal ekonomi; dari masalah nasionalisme hingga ke urusan patriotisme. Singaktnya, ada segudang masalah yang membentang di perbatasan.
Masalahnya kemudian bagaiamana kita menyikapi banyak soal di perbatasan tersebut? Gugatan seperti ini laik diajukan terutama karena setiap yang berurusan dengan perbatasan RI-RDTL selama ini, berakhir dengan munculnya masalah baru. Seakan ada rumusan tetap bahwa masalah diselesaikan untuk mendapatkan soal yang baru.
Ubah Paradigma
Penyelesaian masalah perbatasan dibutuhkan perubahan paradigm pengambil kebijakan di negara dan daerah ini. Yang dimaksud ialah mengubah cara pandang perbatasan dari hanya sekadar tapal batas ke lingkup kebijakan.
Hemat saya, kegagalan menyelesaikan masalah perbatasan disebabkan karena kita selama ini terlampau berpatokan pada tapal batas dan tidak pernah mengubah cara melihat masyarakat berikut dinamika di dalamnya dari aspek kebijakan.
Pernyataan ini tentu tidak sedang menafikan kerja teman-teman di Otoritas Perbatasan (Badan Pengelolah Perbatasan). Teman-teman di BPP bisa sajak sudah bekerja. Persoalannya, dalam batas tertentu, BPP hanya menjadi pion dan eksekutor lapangan. Sebab, masih ada struktur lain di luar dan di atas yang mengendalikan perbatasan.
Kembali ke soal tapal batas dan kebijakan, dua paradigma ini tentu memiliki perbedaan. Kalau yang pertama melihat dinamika perbatasan dari aspek administratif yuridis, yang kedua membaca perbatasan dari banyak aspek seperti sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.
Implikasinya, jika menggunakan paradigma tapal batas, pendekatan keamanan jelas dipakai untuk mengatasi semua masalah. Di titik yang lain, penggunaan instrumen keamanan disebabkan karena urgensi keamanan negara. Kedaulatan negara menjadi harga mati di sana. Sungguh benar dan tidak salah. Kedaulatan negara tidak bisa ditawar-tawar.
Masalahnya, masyarakat perbatasan RI-RDTL memiliki karakter yang berbeda dengan beberapa wilayah perbatasan lain antarnegara di republik ini. Di sini, kedua masyarakat memiliki etnik dan karakter budaya yang hampir sama. Bahkan, jika dirumuskan dengan kalimat yang lebih vulgar, yang memisahkan Timor Barat dan Timor Timur itu hanya garis administrasi. Secara genealogis, keduanya masih memiliki hubungan yang sangat erat dan sulit dipisahkan.
Gugatan penting berikutnya ialah bagaimana memahami realitas perbatasan yang demikian? Jawabannya hanya dapat dijelaskan sejauh memahami penggunaan instrumen kebijakan sosial, budaya, politik, ekonomi, sekaligus keamanan.
Selama ini, kesibukan mengurus masalah perbatasan hanya dari aspek politik dan keamanan.
Di aspek politik pun tidak dilakukan secara konsisten. Semua berwatak postfactum. Baru dipikirkan kalau ada masalah di wilayah perbatasan.
Benar bahwa ada banyak kebijakan sosial dan ekonomi yang dialamatkan ke masyarakat perbatasan dan warga baru di perbatasan. Soal utamanya, penerapan kebijakan seperti itu selesai diusaha karitatif.
Penggunaan paradigma kebijakan mengandaikan kolaborasi antarpihak dari berbagai aspek secara konsisten dan langgeng. Itu berarti, semua aspek (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan) harus dilakukan dalam rentang waktu dan kendali yang sama.
Penerapan beragam kebijakan budaya, sosial, ekonomi, politik, dan keamanan mengandaikan adanya kemauan politik pengambil kebijakan di pusat untuk terus memerhatikan masyarakat perbatasan.
Di ruang demikian, semua pihak wajib melepaskan kepentingan apa pun atas perbatasan. Sebab, dalam bacaan banyak pihak, masalah perbatasan sering ditarik masuk ke kanal yang lain baik oleh elite lokal maupun nasional, sipil dan militer. Politik sering dianggap sebagai wilayah yang rawan memolitisasi masalah dan masyarakat perbatasan.
Saya masih sangat percaya, pendekatan budaya bisa menjadi alat utama sebagai pintu masuk bagi aspek lain dalam menyelesaikan masalah perbatasan. Kesamaan etnis dan corak budaya dapat dipakai sebagai avant garde dalam penyelesaian masalah.
Pelaksanaan festival budaya, pasar bersama, dan berbagai kegiatan sosial dan budaya lainnya harus dipahami dalam konteks perayaan keberasamaan masyarakat. Dengan begitu, meskipun secara administratif yuridis masyarakat perbatasan berbeda namun tetap satu dalam ikatan darah dan keluarga. (*)