Pojok Dialektika Jikom Undana Kupang Bedah Buku Potret Budaya Televisi Masyarakat Perbatasan
Pojok dialektika Jikom Undana Kupang Bedah Buku potret budaya televisi masyarakat perbatasan Indonesia - Timor Leste
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Kanis Jehola
Pojok dialektika Jikom Undana Kupang Bedah Buku potret budaya televisi masyarakat perbatasan Indonesia - Timor Leste
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Pojok Dialektika Jurusan Ilmu Komunikasi ( Jikom) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ( FISIP) Universitas Nusa Cendana Kupang ( Undana Kupang) merupakan wadah diskusi dan event ilmiah bagi para dosen dan mahasiswa Jikom.
Ketua Jurusan Jikom Undana Dr. Mas Amah, S. Pd, M. Si menjelaskan Pojok Dialektika bertujuan memperkuat dan mempertajam iklim akademik di Jikom. "Pojok Dialektika ini sebagai terobosan baru dalam menciptakan diskusi dan menjadi wadah khusus untuk diskusi dan event ilmiah. Kita gelar tiga bulan sekali," ungkapnya.
• Unwira Kupang Wisuda 570 Lulusan, Rektor Ungkap Persoalan yang Melilit NTT
Menurutnya, Pojok Dialektika tidak saja membedah buku tetapi juga diskusi dan event ilmiah lainnya serta membahas isu-isu seputar pendidikan dan isu, fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat luas.
Kegiatan perdana dilaksanakan pada Jumat (21/2/2020) di Pelataran Perpustakaan Undana, membedaah buku 'Etnografi Media : Potret Budaya Televisi Masyarakat Perbatasan' karya dosen Jikom Undana, Dr. Petrus Ana Andung, S. SOS. M Si.
Narasumber yang dihadirkan dalam forum Pojok Dialektika tersebut antara lain, Dr. Petrus Ana Andung, S. SOS. M Si, Dr. Marsel Robot dosen Bahasa Indonesia FKIP Undana dan Mateos V. Messakh, mantan wartawan Jakarta Pos.
• Inilah ke-39 Finalis Putri Indonesia yang Akan Mengikuti Pra Karantina di Labuan Bajo
Petrus Ana Andung dalam kesempatan itu mengatakan, penelitiannya menyasar masyarakat perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia dengan Negara Timor Leste, tepatnya di Desa Napan (NTT) dan Bobometo (Timor Leste).
"Penelitian ini juga diilhami rasa penasaran saya bahwa walaupun mereka sama secara kultur tetapi dalam hal kewarganegaraan, masyarakat di dua desa ini berbeda. Nah masyarakat di dua desa ini lebih banyak memilih menonton siaran televisi Indonesia. Saya satu tahun 2017-2018 lakukan penelitian ini, " ungkapnya.
Petrus katakan ia ingin meneliti bagaimana televisi hadir memengaruhi rutinitas kehidupan, membentuk persepsi, internalisasi, dan bagaimana simbol-simbol di televisi dijadikan rujukan atau referensi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Napan dan Bometo.
Dari hasil penelitian, Petrus menemukan bahwa simbol-simbol televisi dimaknai secara berbeda. Masyarakat Desa Napan memaknai simbol di televisi sebagai sumber kemajuan dan referensi dalam bisnis.
Sementara itu di Desa Bometo lebih condong sebagai hiburan, pembanding kemajuan antara Indonesia dan Timor Leste sehingga menjadi rujukan untuk bernegosasi dengan pemerintah Timor Leste.
Selain itu, kata Petrus, televisi di Desa Bometo bisa menjadi alat untuk mempererat relasi sosial, di mana masyarakat bisa berkumpul di satu rumah untuk menonton televisi.
"Di sana mereka tidak menyimpan televisi di ruang keluarga tetapi di teras rumah. Berbeda dengan di Napan, yang mana televisi lebih dilihat sebagai simbol kemajuan. Siapa yang punya televisi berarti sudah maju secara ekonomi," ungkapnya.
Menurutnya kondisi masyarakat di dua desa ini jauh berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang dapat secara bebas memilih-milih jenis media sesuai kebutuhan dan keinginannya. Oleh karena, lanjutnya, perlu ada literasi media untuk masyarakat Desa Napan dan Bometo.
Menurutnya, bagi masyarakat pedesaan, media konvensional masih menjadi primadona. "Tidak banyak pilihan jenis media yang bisa dipilih. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat yang berdiam di sepanjang perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini," ungkapnya.
Dr. Robert Robot mengapresiasi penelitian yang dilakukan oleh Petrus Ana Andung. Menurutnya, penelitian tersebut menarik karena menyasar masyarakat yang secara sosiologis dan kultural punya banyak kesamaan tetapi dari segi kewarganegaraan berbeda.
Menurutnya, penelitian Etnografi ini memang memiliki tantangan tersendiri di mana peneli harus menetap dan tinggal bersama masyarakat. "Penelitian Etnografi minimal enam bulan, tetapi beliau satu tahun jadi menurut saya ini Etnografi yang bagus," ungkapnya.
Sementara itu Mateos V. Messakh mengatakan penelitian yang dilakukan oleh Petrus Ana Andung unik sehingga bisa muncul peluang-peluang baru tidak hanya dalam penelitian tatapi juga peluang kerja mengorganisir dan penyadaran, misalnya literasi. "Kalau kita membaca sebuah buku mesti muncul dalam pikiran peluang-peluang baru apa yang bisa dikerjakan," ungkapnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Laus Markus Goti)