Opini Pos Kupang
The Liking Bias Sosial ala Joe Girard
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: The Liking Bias Sosial ala Joe Girard
Moto, visi dan misi politik ditulis dengan gaya artistik membangkitkan rasa dan asa untuk membaca. Nilai estetis dalam membuat baliho-baliho merupakan perpaduan ide-ide artisitk politisi dan seniman membuatnya menjadi opium tersendiri untuk rakyat. Candu: menenangkan hati dan membangkitkan gairah menyambut kedatangan mereka. Di sana rakyat pada umumnya hanya melihat keindahan-dan seni di permukaan. Bersifat sementara dan sesaat. Mereka belum mampu menyelami sisi terdalam dari mereka (Sigmund Freud).
Kemenangan Donald Trump di Amerika sebagai presiden terpilih bukan karena Trump sebagai figur tepat untuk memerintah Paman Sam. Trump bermain dengan the liking bias effect. Similiarity-attrraction relationship, menjadi senjata politik ampuh
Donald Trump mempengaruhi kelas-kelas elit Amerika demi kepentingan bisnis dan profit ekonomi. Selain kaum borju Amerika yang egoistis Trump menjalin relasi dengan kaum pekerja yang merasa menjadi korban kebijakan Barack Obama.
Trump, Putin dan Erdogan sebagai global player politik internasional memanfaat semua media baik Twitter dan Facebook maupun Youtube sebagai alat propaganda politik mereka. Twiter dan Facebook menjadi senjata ampuh bagi pebisnis dan politikus untuk mendulang keuntungan. Ketidakritisan konsumen dan pemakai media sosial menjadi arena propaganda politik efektif.
Pengamat sosial dan politik Amerika, Michael Wolff (Fire and fury, inside the Trump white house), melihat Trump sebagai presiden paling kontroversial dalam sejarah Amerika. Terpilih bukan karena kecerdasannya. Terpilih karena memanfaatkan pemilih-pemilih radikal dan opurtunis. Media sosial khususnya twitter menjadi keledai tunggangannya.
Kalau dulu pada zaman Soeharto di Indonesia kita mengenal ungkapan: asal bapak senang. Trump justeru memakai metode politik banal asal konglomerat, kaum radikal dan the white American yang rasis senang. Satu kalimat yang sangat idiotis bisa meracuni kekritisan berpikir pemilihnya: we make America great again!.
The liking bias menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosial-politik, keagamaan dan ekonomi. Di ranah politik nasional, regional maupun daerah di Indonesia metode sederhana ini sangat mudah dipakai. Hanya kita belum bisa memberikan pendefinisian secara verbal. Kalau kita jujur, dalam konteks kehidupan sosial masyarakat i like you metode bukan hal baru lagi.
Terpanah asmara oleh rayuan i like you (aku suka kamu) atau suara anda sangat berharga bagi kami atau bagi kami anda sangat berharga sering bukan asing. Apalagi dalam budaya masyarakat di mana kritikan tetap dianggap menjadi pedang pembunuh keharmonisan. Ketika kritikan terus dipandang bukan sebagai sesuatu yang membangun, maka di sana banalisme sosial berkembang pesat.
Hilangnya rasionalitas dalam menggunakan medsos pada kalangan masyarakat akar rumput di era menggelobal dewasa ini menjadi lahan subur bagi pertumbuhan idiotisme dalam kehidupan. Tak heran rasionalitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, agama dan bahkan dalam media perlahan-lahan mulai dipinggirkan.
Ketika masyarakat cepat-cepat menelan kata-kata manis dalam pidato-pidato seorang pemimpin dan di sisi lain mengabaikan konfrontasi logis orang-orang peduli dengan kesejahteraan rakyat, di situ kita akan terbuai dan dininabobokan.
Padahal kadang hidup tak seindah seperti kotbah-kotbah pidato-pidato politik dan iklan-iklan selebriti. Realitas kehidupan orang-orang miskin dan kecil tidak seseksi dan sensual senyuman pada bibir pengucap kata i like you di televisi, Youtube, Twiter dan Facebook.
Kesejahteraan tak begitu mudah dinikmati seperti yang diucapkan dalam janji-janji manis seorang pemimpin. Kata-kata manis i like you ala Girard Joe tidak berarti dia betul-betul mencintai pelanggannya. Dia mencintai uang pelanggannya. Manusianya hanya dijadikan sebagai pelanggan.
Alhasil, Joe menjadi kaya, klien dan pelanggannya menjadi korban rayuan-rayuan genitnya. Mengantisipasi the liking bias sederhana saja: yang manis janganlah cepat ditelan dan yang pahit jangan cepat-cepat dibuang. Manis belum tentu sehat dan baik. Pahit belum tentu tidak sehat dan tidak baik. Ganteng-ganteng atau cantik-cantik mungkin mungkin saja berhati srigala.Tampang jelek barangkali hatinya malekat. (*)