Opini Pos Kupang

Mengasuransikan Toleransi

Mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul mengasuransikan toleransi

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Mengasuransikan Toleransi
Dok
Logo Pos Kupang

Menguatnya sikap intoleransi dan gerakan radikalisme hemat saya hanya dapat dijelaskan dengan minimnya menerima perbedaan dan gagalnya politik rekognisi dipraktikan di bangsa ini.

Realitas kita sebagai bangsa yang heterogen menuntut semua pihak di republik ini untuk kembali mensosialisasikan keramahan suku, keteduhan agama, kemolekan ras, dan keberterimaan antargolongan (SARA). Dengan kata lain, kita perlu sadar bahwa bangsa ini memang beda. Eksistensi Indonesia jelas bukan karena kesamaan tetapi karena perbedaan. Itu yang harus dipahami terlebih dahulu.

Kita perlu mengakui bahwa yang buruk selama ini ialah perilaku manusia yang menjadikan suku, agama, ras, dan golongan sebagai alat kekuasaan. Yang buruk ialah ketika politik menarik entitas SARA untuk tujuan politik.

Atas dasar itu, tesis Anderson (1991) tentang negara bangsa perlu diingat di sini. Bahwa perbedaan suku, budaya, agama, dan sebagainya menjadikan kita sebagai bangsa imajiner. Bangsa imajiner tidak sama dengan nihil atau ketiadaan. Yang nihil adalah kesamaan. Sebab, lagi-lagi, kita memang beda.

Dalam situasi seperti itu, negara harus hadir. Negara mesti menjadi entitas adil untuk menyediakan semua sarana dan fasilitas bagi rakyatnya yang berbeda itu. Karena itu, politik rekognisi perlu disebut.

Politik rekognisi adalah prasyarat dasar bagi pembentukan watak dan karakter anak bangsa dalam menerima perbedaan. Tugas kita ialah belajar menghargai perbedaan dan bukan mencari kesamaan.

Setiap yang mencari kesamaan di ruang kebangsaan Indonesia menjadi sia-sia. Sebab, bangsa ini memang dibentuk karena perbedaan. Kalau ada yang menyebut persamaan, bias manipulatifnya akan terlihat kental di sana. Dan karena manipulatif maka persatuan menjadi perkara yang amat rentan.

Selanjutnya, ketika gerak laju politik negara tidak dikontrol oleh keramahan bangsa, wajah buram pluralitas akan muncul ke permukaan. Dengan begitu, multikulturalisme seakan berada di ruang imajiner seperti disebutkan Anderson. Kita sendiri tidak pernah menjaga dan menjadikan sesuatu yang bersifat imajiner itu menjadi sebuah kekuatan positif.

Upaya yang bisa dilakukan negara dalam konteks masyarakat demikian adalah merawat perbedaan sebagai sebuah berkah yang harus disyukuri terus menerus. Kebangsaan kita tercermin kuat dalam perbedaan dan bukan persamaan.

Tugas untuk menjaga persatuan tidak hanya menjadi tanggung jawab polisi dan aparat keamanan. Semua pihak harus menjaga persatuan dan membiarkan perbedaan terus berkembang. Mengasuransikan toleransi merupakan keniscayaan. Tanpa itu, intoleransi dan radikalisme akan setia menghiasi wajah bangsa ini. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved