Opini Pos Kupang
Cerita dari TTS, "Makan Mati -Tidak Makan Mati"
Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: Cerita dari TTS, "Makan Mati -Tidak Makan Mati"
Keamanan pangan juga terkait erat dengan masalah gizi. Makanan yang tidak aman menciptakan lingkaran setan penyakit dan kekurangan gizi, khususnya yang menyerang bayi, anak kecil, orang tua, dan orang sakit.
Kasus keracunan makanan di TTS, tidak hanya dilihat dari dampak langsung, kesakitan dan kematian, tetapi juga mungkin ada hubungan dengan masalah gizi akut misalnya stunting atau anak kerdil. Apalagi TTS dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi di NTT (56 persen, tahun 2018); hanya 0.8 persen di bawah Kab TTU (50.8 persen, 2018). Keamanan bahan makanan sangat penting sebagai salah satu upaya mencegah stunting. Karena itu, cerita keracunan di TTS, seperti buah siimalakama, "makan mati, tidak dimakan mati".
Terlepas dari apapun sumber keracunan makanan, umumnya keracunan makanan terjadi akibat adanya bahan makanan yang sudah tercemar ditambah dengan proses penyediaan makanan yang tidak bersih, proses memasak makanan belum cukup matang, dan atau bahan makanannya sudah kadaluwarsa.
Patut juga dicurigai kondisi kesehatan para jurumasak, ada kemungkinan mereka juga carier (pembawa) sumber pencemaran tanpa disadari. Untuk itu, sudah saatnya dilakukan skrining dan pelatihan penjamah makanan di TTS.
Melihat kasus keracunan makanan di TTS yang terbanyak adalah keracunan makanan di tempat pesta; maka dapat diduga, masalah sanitasi atau kebersihan merupakan faktor dominan penyumbang sumber pencemaran makanan.
Selama tahun 2019, sebagian besar daerah di NTT termasuk TTS mengalami kemarau yang panjang, sekitar delapan sampai sepuluh bulan. Ketersediaan air bersih yang cukup menjadi masalah utama yang dialami oleh masyarakat NTT, terutama di daerah pedesaan, seperti di TTS. Dengan kondisi air bersih yang kurang, bahan dan makanan yang disajikan tidak bisa dijamin kebersihannya.
Dengan kondisi kemarau panjang dan suhu yang meningkat, aktivitas organisme (bakteri, virus, parasite) sumber infeksi menjadi meningkat. Bahan makanan mentah (terutama susu, telur, ikan dan daging) menjadi rentan terhadap pencemaran.
Untuk daerah seperti TTS dengan infrastruktur terbatas, terutama listrik, tidak semua masyarakat memiliki kulkas untuk menyimpan makanan. Dengan kondisi ini, makanan mentah maupun makanan masak yang tidak disimpan dengan baik akan gampang tercemar.
Faktor lain yang diduga turut menjadi penyumbang kasus keracunan di TTS adalah makanan kadaluwarsa. Buktinya adalah adanya keracunan minuman jas jus dan keracunan biscuit. Di sini, peran pemerintah dalam mengawasi keamanan makanan yang beredar di masyarakat menjadi penting.
Terjadinya kasus keracunan yang banyak dalam rentanwaktu yang pendek mengindikasikan lemahnya peran petugas kesehatan dalam melakukan pemantauan factor resiko, pemantauan bahan makanan kadaluwarsa (terutama pada saat hari raya) dan juga penyuluhan terhadap masyarakat.
Karena itu status Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan yang ditetapkan oleh Bupati TTS, harus menjadi pelajaran untuk melakukan langkah antisipasi dalam pengawasan keamanan bahan pangan, keamanan makanan dan termasuk pendidikan terhadap masyarakat untuk menyediakan bahan pangan dan makanan yang aman bagi dirinya dan orang lain.
Di tingkat yang lebih tinggi, sudah saatnya Pemerintah Provinsi NTT menguatkan surveilans keamanan bahan pangan dan makanan yang beredar di NTT. Dengan rantai disribusi yang panjang dari sumber produksi di luar NTT, daerah ini menjadi sangat rawan terhadap peredaran makanan kadaluwarsa. Peran Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan di NTT dalam mengawasi peredaran makanan yang sehat dan aman di NTT menjadi sangat penting.
Dalam kondisi kejadian luar biasa keracunan makanan, sangat dibutuhkan keputusan yang cepat dalam mengambil langkah-langkah pengamanan. Untuk itu dibutuhkan informasi yang benar tentang sumber pencemaran dan langkah antisipasinya.
Sampai saat ini hampir semua sampel untuk meneliti penyebab keracunan makanan masih harus dikirim ke laboratorium lain di luar NTT. Akibatnya hingga KLB berakhir, belum tersedia informasi tentang sumber pencemaran yang sesungguhnya.
Sudah saatnya Pemerintah NTT meningkatkan kapasitas Laboratorium Kesehatan Provinsi NTT agar bisa menangani berbagai kejadian luar biasa di NTT termasuk keracunan makanan.