Opini Pos Kupang

NTT Provinsi Sophia

Mari membaca dan simak ulasan Opini Pos Kupang berjudul NTT Provinsi Sophia

Editor: Kanis Jehola
KOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE
Beginilah penampilan miras Sophia dalam kemasan yang dijual di Toko NAM, Jalan Siliwangi Kampung Solor, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang 

Yang mau saya katakan bahwa Sophia itu terminologi yang sangat filosofis. Filsafat itu berasal dari kata filo dan sophia. Artinya mencintai kebijaksanaan (filo itu mencintai, sophia berarti kebijaksanaan).

Pertanyaan yang muncul adalah apakah pemberian nama Sophia untuk minuman keras khas NTT ini adalah sebuah kebijaksanaan?

Saya justru melihat dari sisi yang lain. Mudah-mudahan kehadiran Sophia tidak melahirkan kemabukan birokrasi di NTT. Dengan harga yang fantastis itu, maka hanya pejabat-pejabat pemerintahan yang mudah berakses ke Sophia. Itu berarti peluang mabuknya lebih besar di kalangan birokrasi apalagi mengkonsumsi Sophia yang berkadar alkohol 40 persen. Publik NTT tidak menghendaki agar para pejabat politik dan birokrasi di NTT berkata dan bekerja seperti orang mabuk. Ciri khas orang mabuk itu bicara sembarangan, lupa sopan santun, sok tahu, merasa diri paling hebat, dan paling jago sedunia. Karena itu orang mabuk biasanya tidak takut siapapun, entah setan apalagi maut.

Nah, birokrasi di NTT jangan dikelola atau dijalankan dalam spirit kemabukan. Birokrasi mesti dikelola secara rasional menggunakan jurus hati dan rasa. Bukan jurus mabuk. Beberapa indikasi birokrasi yang dikelola menggunakan jurus mabuk:

Pertama, tidak mengutamakan kualitas dan kapabilitas seseorang dalam melakukan mutasi atau rekrutmen. Tetapi ukuran yang dipakai adalah like and dislike berdasarkan DUK (daftar urut keluarga, daftar urut kawan, daftar urut kenalan).

Kedua, selalu berteriak soal antikorupsi tetapi mengeluarkan anggaran untuk membiayai orang-orang yang tidak berkontribusi jelas kepada daerah dan rakyat NTT dan melahirkan koruptor-koruptor di daerah.

Ketiga, cenderung meninabobokan rakyat dengan narasi-narasi yang fantastis, narasi-narasi angin surga. Sementara itu, narasi-narasi itu sulit direalisasikan bahkan menjadi sangat fantastis.

Narasi yang hanya bisa dirasakan dalam fantasi. Keempat, sangat bangga menyebut NTT sebagai Nusa Terindah Toleransi tetapi urusan-urusan birokrasi, mutasi dan penunjukkan selalu dibeda-bedakan berdasarkan apa agamamu, apa agamaku. Kelima, birokrasi yang mempersulit yang mudah dan merumitkan hal sederhana. Akibatnya pelayanan publik menjadi rumit dan mahal sedangkan pelayanan privat di birokrasi menjadi jalan tol.

Kita tentu tidak berharap efek Sophia itu memabukkan birokrasi kita. Tetapi sebaliknya Sophia mesti melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan khas NTT. NTT sebagai provinsi Sophia harus sejalan dengan spirit NTT bangkit NTT sejahtera. Birokrasi mesti berdaya dan diberdayakan secara bijak agar NTT bisa bangkit bukan sempoyongan.

Maka di usia yang sudah ke-61 tahun ini, NTT mesti ditata lebih baik lagi. Bukan sebagai tempat sampah narasi-nasrasi yang memabukkan rakyat 5 tahunan, tetapi sebagai taman-taman eden yang membawa kesejahteraan lahir batin. Mungkin penting untuk berbicara sedikit tetapi berbuat banyak (talk less do more) daripada not action talk only (NATO).

Birokrasi di NTT mesti menjadi birokrasi yang melayani, yang mengayomi. Bukan birokrasi yang marah-marah dan lamban. Saya rindu pada rompi oranye yang sempat viral di awal. Mungkin itu terapi yang jitu untuk birokrasi kita yang cenderung lelet, lamban dan sukanya dilayani. Mudah-mudahan melalui Sophia kita bisa lebih bijak agar segera bangkit dan secepatnya sejahtera.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved