Opini Pos Kupang
Di Ujung Tahun 2019
Baca Opini Pos Kupang ditulis Willem B Berybe, mantan Guru Bahasa Inggris SMA dengan judul: di ujung tahun 2019
Baca Opini Pos Kupang ditulis Willem B Berybe, mantan Guru Bahasa Inggris SMA dengan judul: di ujung tahun 2019
Oleh Willem B Berybe, Mantan Guru Bahasa Inggris SMA tinggal di Kolhua Kupang
POS-KUPANG.COM - Sebentar lagi Tahun 2019 akan berakhir. PBB menetapkan tahun 2019 sebagai The International Year of Indigenous Laguages yang disingkat IYIL2019. Dasar keputusan ini tercantum dalam pernyataan badan PBB yang menegaskan "Languages play a crucial role in daily life of peoples not only as a tool for communication, education, sosial integration and development, but also as a repository for each person's unique identity and cultural history, tradition and memory. But despite their immense value, languages around the world continue to disappear at an alarming rate" (sumber:https://en.iyil2019.org/).
• Dukcapil Kota Kupang Direkomendasikan Terima Sertifikat ISO ISO 9001:2015
Intinya bahasa begitu penting dalam kehidupan manusia untuk komunikasi, edukasi, sosial, dan pembangunan. Tapi apa yang tengah terjadi di muka bumi saat ini? Bahasa-bahasa di dunia terus saja menghilang (disappearance) sementara bahasa itu sendiri berhakekat identitas kelompok masyarakat (suku, bangsa), individu yang unik, budaya, tradisi bahkan memori harus terselamatkan.
Upaya reposisi (mengembalikan ke tempat semula) peran dan fungsi bahasa tersebut harus dilakukan. Seiring dengan itu, gerakan IYIL2019 sedunia menunjukkan sikap kepedulian manusia terhadap akibat bahaya kepunahan bahasa-bahasa asli (indigenous languages). Menurut hasil penelitian sebagaimana dikutip Denis Bertet (2015) bahwa setiap tahun sekitar 25 bahasa di dunia lenyap (Sumber: https://booksandideas.net/Endangered-Languages.html).
Entah kebetulan atau tidak, kuliah umum Linguistik Program Studi Ps ( Pasca Sarjana) Undana, 4 Desember 2019, atas prakarsa Ketua Prodi Prof. Drs. Feliks Tans Mpd, Ph.D dengan topik `Keluarga Besar Austronesia dan Bahasa Daerah di Indonesia' yang disajikan Dr.Hendro Kumoro, dosen Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (pantarmedia.com) telah memberi makna dan kontribusi kebahasaan bagi masyarakat bahasa, di ujung tahun 2019.
• Pengobatan Gratis di Naimata Songsong HUT dan Peresmian Gereja St. Fransiskus Xaverius
Kekhawatiran yang diungkapkan PBB di atas justru terbetik di ujung barat pulau Flores tepatnya di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, melalui media sosial (postingan) yang ditulis Silvester Joni, guru SMK di Labuan Bajo, dengan judul " Cerita Pilu Bahasa Ibu " (21 Februari 2018).
Sebuah ulasan yang bukan mengada-ada. Dikatakan ada beberapa bahasa ibu di Alor (NTT) sudah punah (ditinggalkan penuturnya). Cerita pilu yang diangkat Joni sebetulnya menyasar pada tiga dialek, ragam bahasa Manggarai yang meliputi Kempo, Boleng, dan Lengko (area Matawae dan sekitarnya). Dia mengakui bahwa bahasa Manggarai (indigenous language) masih kokoh eksistensinya sebagai warisan budaya. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud), saat ini terdapat 652 bahasa daerah di Indonesia termasuk dialek dan subdialek.
Kepala Bidang Perlindungan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa Jakarta mengungkapkan pula rincian 11 bahasa daerah yang punah, 4 kritis, 2 mengalami kemunduran, 16 stabil, dan 19 kategori aman.
Hingga saat ini masyarakat penutur (pemakai) Bahasa Manggarai merasa aman saja sepanjang bahasa daerah ini tetap ada (eksis). Mungkin juga dirasakan sama oleh warga Kempo yang berjumlah 6920 jiwa bermukim di wilayah Kecamatan Mbeliling, basis penutur Dialek Kempo (Data penduduk: Dinas Dukcapil, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, 2019) dan belum merasa terancam terhadap bahasa yang mereka gunakan. Kegelisahan Silvester Joni merupakan sebuah " temuan permukaan" (a surface finding) terhadap nasib dialek Kempo guna upaya tindakan follow up yang lebih mendalam (kajian ilmiah) oleh para pakar bahasa di kemudian hari dapat dilakukan. Salah satu penutur Dialek Kempo, Katrin Maija yang tinggal di Labuan Bajo menulis, "...Lelo laku ce Labuan Bajo ho ga, do ata Kempo nunduk agu hae ra pake jaong data eta mai kole si padahal kaeng one tana de ru" (postingan 24 Februari 2018).
Jika ungkapan ini dibaca dengan gaya dan nada tuturan orang Kempo sesungguhnya terasa ekspresi kesenduan dan gundah yang cukup mendalam. Secara harafiah Katrin mau mengatakan ` Saya lihat di Labuan Bajo ini (sekarang ini), banyak orang Kempo berbicara dengan temannya menggunakan bahasa orang dari atas, pada hal tinggal di tanah sendiri'. Sebuah ironi, bukan.
Dua ragam bahasa Manggarai, Dialek Kempo dan Manggarai Tengah (MT) sedang `diperguncingkan'. Orang Kempo sering memakai istilah " ata eta mai" (orang dari atas) untuk orang Manggarai Tengah. Tak ada unsur sensitif di dalamnya kecuali konotasi geografis. Ruteng ( sentrum Manggarai Tengah) yang identik dengan gunung Ranaka (tertinggi di Manggarai), dilihat jauh di atas (eta) pegunungan tinggi dan Labuan Bajo (representasi Manggarai Barat) berada di pantai, di daerah rendah. Beberapa reaksi lain pun datang dari penutur Kempo di antaranya Bernadus Barat Daya, Maria Suryanti, Yohanes Arjohan, Tian Ganggut, Muhamad Hamka, Usmand Ganggang, Tus Datut, Stefan Rafel, John Kadis, Rinca Komodo, Jebarus Vitalis, Kornelya R. Wells, Samirudin, Haryatno Rudi, dan Mus Suasan, dll. Mereka langsung membuka forum komunikasi Dialek Kempo dengan nama grup " Natas de Kempo Mese", pelataran/halaman kampung orang Kempo Besar, yang anggotanya terbuka untuk mereka di luar Kempo dan tinggal di bagian barat Manggarai Barat). Orang Kempo yang ingin berkomunikasi melalui Face Book di grup ini wajib menggunakan bahasa (dialek) Kempo. Indah dan menarik, saudara! Bentuk responsif ini secara sederhana ingin menjunjung tinggi karakteristik leksikon Dialek Kempo dalam konteks arus budaya lokal yang kian dinamis. Begitu banyak kosakata Kempo (komponen ketiga) yang sangat khas dengan varian tersendiri seperti `ikan' menjadi ikang (MT) dan nakeng (Kempo), `babi' = ela (MT), dan kina (Kempo), `padi' = woja (MT) dan mawo (Kempo), `pepaya' = padut (MT) dan ka'ung (Kempo) membuat dialek ini spesifik. Penggunaan kata pelengkap ra kadang da bagi orang Kempo dalam situasi tertentu memiliki unsur penghalusan (kesantunan) dalam berkomunikasi yang muncul dari dalam relung hati, toe ra/da..., ite, tidak/bukan, tuan (lawan bicara). Ciri dialektis ini dapat diasosiasikan dengan Gleason (1961) yang mengatakan ada tiga komponen utama bahasa yaitu ungkapan, wujud (expression), isi (content), dan kosakata (vocabulary). Dalam sebuah bahasa daerah pun atau dialek ketiga komponen tersebut mengandung keunikan dan melekat dengan budaya lokal.
Kisah sedih yang dipaparkan Silvester Joni (21 Februari 2018) melalui grup medsos Demokrasi Mabar di Manggarai Barat itu dengan 30.541 anggota (followers) dan 352 penutur bahasa Kempo (dialek) yang memberikan komentar dengan serba pikiran konstruktif mencerminkan kondisi psikologi-sosial "ketakutan " akan menyusutnya budaya berbahasa Kempo di kalangan warga Kempo sendiri.
Faktor cepatnya perpindahan sebuah kebiasaan dan budaya tutur dari satu area (masyarakat) ke daerah baru (masyarakat lain, baru) seperti yang terjadi di Manggarai Barat yaitu perpindahan tempat kerja baik di sektor pemerintah maupun swasta, kawin-mawin, mobilisasi kehidupan ekonomi yang terus bergerak maju, daya tarik pariwisata, kemajuan tekonologi, bahasa pergaulan sehari-hari digambarkan dalam konteks ini sebagai arus budaya dari Timur ke Barat Manggarai.
Gejala ini memungkinkan terjadi semacam akulturasi dan kecenderungan marginalisasi budaya yang bisa berimbas pada bahasa (Dialek Kempo). Barangkali agak naif kalau dugaan proses akulturasi dan marginalisasi itu ditudingkan dalam wacana Dialek Kempo ini, di masa kini. Tapi peringatan masyarakat pakar bahasa di dunia yang kian memiris tentang keberadaan bahasa-bahasa daerah dan dialek/subdialek patut ditanggapi dan diantisipasi.