Pengajar STFK Ledalero Tawarkan Model Dialog di NTT
Pengajar STFK Ledalero, Maumere di Pulau Flores, Pater Hendrik Maku, SVD menawarkan model dialog yang relevan dikembangkan di NTT.
Penulis: Eugenius Moa | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | MAUMERE - Pengajar STFK Ledalero, Maumere di Pulau Flores, Pater Hendrik Maku, SVD menawarkan model dialog yang relevan dikembangkan di Propinsi NTT.
Ia menyodorkan dialog fenomenologis yang mengapresiasi keunikan yang lain dengan segala keunikannya. Tanpa ada tendensi dan napsu untuk menaklukkan.
Kemudian dialog meredialistik yakni upaya dari mereka yang terlibat untuk mencari dan menemukan hal yang salah dari agama.
• Kasus Pembunuhan dan Pembuangan Bayi di Oebobo Kupang, Lihat Perkembangan Terkini
“Jangan pernah mau menyamakan hal-hal yang sesungguhnya berbeda dan membedakan hal-hal yang sesungguhnya sama,” tandas Pater Hendrik dalam Dialog Kerukunan Lintas Umat Beragama sedaratan Flores, Selasa (24/9/2019) di Hotel Sylvia Maumere, Pulau Flores.
“Jujur saja kalau salah ya salah,” tegas Pater Hendrik lagi.
Selanjutnya dialog kehidupan yang dipahami bahwa kita hidup untuk berdialog dan berdialog untuk hidup. Dengan kata lain orang yang tidak berdialog dengan yang lain sama dengan mati.
• Hendrik Maku: 20,5 Persen Generasi Muda NTT Terpapar Paham Radikalisme
“Dialog hari-hari sudah dipraktekan oleh Kongregasi SVD di Pondok Pesantren Wali Sangao Ende. Setiap tahun kami kirim frater praktek di sana menjadi ustad bagi santri,” kata Pater Hendrik.
Pater Hendrik menawarkan rekomendasi kepada pemerintah memikirkan regulasi khusus agar semua pendidikan tinggi, universitas dan sekolah tinggi memiliki satu mata kuliah yang membantu mahasiswa memahami agama orang lain.
Ia menyebut mata kuliah Perbandingan Agama yang diterapkan di STFK Ledalero, bisa menjadi umum di semua pendidikan tinggi.
Rekomendasi lainnya untuk guru agama dan ustad dengan merujuk tulisan Komarudin Hidayat mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta.
Menurut Komarudin,kalau kita mengkaji studi agama-agama, maka empat referensi yang tidak boleh dilupakan yakni kitab suci, tradisi, tokoh agama dan pengalaman keagamaan dari orang itu sendiri.
Berkaitan para guru dan uztad kita lihat fenomena,banyaknya penganut agama memahami agama bukan berdasarkan kitab suci yang dibaca atau dipelajari, tetapi apa yang dikotbahkan oleh uztad atau guru agama. Kalau yang dikatakan benar maka benarlah kehidupan keagamaan. Tetapi kalau yang diajarkan sesat maka sesat massal.
Sedangkan kepada akademisi dan tokoh agama, Pater Hendrik minta jangan terpengaruh oleh isu ringan yang memecah belah.
“Rekomendasi untuk kaum muda bekali diri dengan pengetahuan agama terutama agama sendiri dan agama yang lain. Terakhir empat pilar wawasan kebangsaan yakni Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. (laporan reporter pos-kupang.com,eginius mo’a)