Berita Cerpen

Cerpen Arnus Setu: Keringnya Kali Kami

Tempat berukuran kecil dengan dinding dari belahan bambu, lantai dari papan pohon kelapa dan atap dari alang-alang.

ilustrasi/pos-kupang.com
Keringnya Kali Kami 

POS-KUPANG.COM|KUPANG - Lelaki  itu, hingga kini masih duduk di sebuah pondok di pinggiran sawah.

Tempat berukuran kecil dengan dinding dari belahan bambu, lantai dari papan pohon kelapa dan atap dari alang-alang.

Sebuah tempat yang dalam diamnya menjadi saksi atas banyak hal. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak butir keringat yang membasahi papan-papan yang mulai menua itu.

Mobil Mewah Stop di Tengah Jalan, Nia Ramadhani Istri Ardi Bakrie Duduk di Samping Hotman Paris

Atau berapa bulir air bening yang sesekali jatuh merembes ke papan itu karena pipi enggan menahannya lebih lama. Ya, tempat yang rasa-rasanya jauh lebih berharga dari rumahnya sendiri.

Di pondok itulah, beberapa hari terakhir ini, sering ia habiskan- harinya. Sekadar membiarkan dirinya larut dalam kenikmatan dibuai angin sepoi-sepoi.

Rambut panjang tak terurus itu tersibak ke sana ke mari. Sesekali diambilnyasehelai daun jagung lalu meletakkannya di genggaman tangan kirinya, sementara jari telunjuk dari tangan kanannya mulai mengelu-elus daun itu dalam-dalam.

Memang sejak jagung dan padi di lahan sawahnya berusia tiga bulan, ia mulai gemar memandangi mereka.

Tamu Kita: Daniel Bili: Ubah Pola Pikir Masyarakat

Bukan karena tak ada pekerjaan sama sekali melainkan sudah menjadi sebuah kebiasaan bahwa ketika setiap tanamannya menginjak tiga bulan ia harus memandangi tanaman-tanaman itu dengan penuh cinta.

Hal itu menjadi semacam sebuah perayaan syukur kecil-kecilan. Kadang-kadang beberapa helai dari atap alang-alangnya luruh dan terbang menjauh menerobosi jagung dan padi yang tampak segar itu.

Saat seperti itu adalah kesempatan yang tepat baginya mengingat segala proses panjang yang telah dilalui dalam kurun waktu tiga bulan. Mulai dari menyemai bibit-bibit tanaman, lalu menyiangi mereka, memberi pupuk secukupnya, hingga mengairi lahan itu setiap hari atau beberapa hari sekali agar lekas tumbuh dan berkembang.

Ia sadar betul betapa rapuhnya hidupnya tanpa tumbuhan-tumbuhan itu. Di samping tumbuhan-tumbuhan itu telah menghasilkan rezeki yang cukup baginya dengan menjual seperempat dari tiap panenannya.

Viral Pria Berkumis Menyamar Jadi Wanita Bercadar di Masjid, Ajak Jamaah Putri Selfie Sambil Pelukan

Padi dan jagung itu sudah seperti kekasih hati yang setia menemaninya mengusir sepi. Sebab kadang-kadang hidup seorang diri membuatnya merasa kurang bersemangat. Agar tak merasa sepi, ia selalu tenggelam dalam kesibukkan mengurus tanaman-tanaman itu.

"Anto, kamu sudah tahu belum," kata Pardi dengan napas naik turun yang serentak mengagetkannya .

"Sudah tahu apa?"

"Itu air di kali kita mendadak berkurang hari ini."

"Ko bisa? Bukannya kemarin saat kita ke sana masih aman-aman saja."

"Entahlah, yang jelas sebagian warga bilang itu dampak kekeringan, kan sudah lima bulan ini hujan tidak pernah muncul. Dua atau tiga hari lagi pasti air di kali akan kering," kata Tinus kemudian berlalu.

Pria Ini Tewas Tertimpa Dinding Kamar Mandi Saat Perbaiki Septic Tank

Kepergian Pardi menyisakan deretan pertanyaan yang mengusik, juga mendadak daun-daun jagung yang sedang dielusnya terhempas ke tanah. Bagaimana nasib warga di kampung ini?

Kemana para petani harus mencari air untuk mengairi lahan-lahan pertanian ini? Bukankah cepat atau lambat tanpa air yang cukup baik warga maupun tumbuhan-tumbuhan itu akan perlahan-lahan melemah dan mati? Kenikmatan menjelang sore itu seolah raib. Hilang lenyap. Pardi pun hilang diantara kepulan asap pembakaran sampah yang mulai menggumpal di kompleks persawahan.

Teringatlah olehnya sebuah bendungan dekat kali itu dan dua sumur di tengah kampungnya. Bendungan itu telah berjasa bagi lahan persawahan mereka. Dengan adanya bendungan itu, air dapat dialirkan ke saluran irigasi yang ada lalu menuju ratusan hektar sawah. Namun, sudah sepuluh tahun terakhir bendungan itu rusak karena bocor.

Dan belum ada satu pun upaya perbaikan yang datang. Beberapa waktu lalu memang telah ada beberapa orang yang mengamati bendungan itu. Tapi, yang ada malah hanya foto-foto saja, perbaikan tak kunjung datang. Masyarakat setempat bukannya tinggal diam.

Mereka berupaya menutup kebocoran itu dengan meletakkan beberapa karung yang telah diisi pasir pada titik-titik kebocoran.

Namun, upaya itu tak kunjung berhasil. Mereka pun pasrah. Sementara air yang mengalir pun sedikit. Jika kali kering, maka otomatis sawah akanmengering menyusul tanahnya terbelah-belah.

Begini Suasananya Saat Anggota Koramil 1625-02 Aimere Silaturahmi dengan Anggota Polsek Aimere

Lalu, bagaimana nasib para petani? Batin Anto

Sementara dua sumur yang ada belum tentu bisa mencukupi segala kebutuhan warganya. Ia tahu betul satu dari antara kedua sumur itu malah airnya keruh dan tidak bisa digunakan untuk minum.

Otomatis harapan untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka hanya pada satu sumur. Beli air galon atau pasang PAM rasa-rasanya tidak mungkin. Keterbatasan ekonomi terlanjur membelenggu erat.

Sampai di sini, Anto tidak berani berpikir lebih jauh lagi. Ia merebahkan tubuhnya seketika, membiarkan angin kembali menyibak rambut panjangnya. Rasa kantuk pun menyerang.

Meski begitu, keringnya air di kali mulai merenggut kenikmatan menjelang sore itu. Ia terlelap.
Setelah dua hari berlalu, kali itu telah benar-benar kering. Tak ada lagi air yang tersisa. Kepanikan besar mulai melanda seantero kampung itu. Menyisakan derai air mata, isak tangis berlebih, dan deretan pertanyaan yang seolah menggugat keadilan dari sang Khalik. Tangisan pecah kedengaran di mana-mana.

Warga pun mulai berbondong-bondong mengerumuni dua sumur di tengah kampung. Tidak hanya ratusan manusia yang tampak berbaris. Berjejalan pula ratusan ember, jerigen, dan galon yang tak beraturan dan mulai menanti dalam sunyi.

Kemenangan Persib Maung Bandung dari Persipura Tak Didampingi Pelatih Robert Alberts, Ini Masalahnya

Meski dalam situasi batas seperti itu, konflik yang berujung perkelahian pun tak terhindarkan. Masing-masing orang mulai berlomba-lomba untuk berbaris paling depan setiap hari baru tiba. Bahkan ada yang menyimpan katrol pengangkat air sejak semalam.

Entah bagaimana, syukurlah kabar kekeringan luar biasa itu akhirnya menerobos keriuhan pusat kota. Itu pun setelah menghentak-hentak telinga orang-orang berdasi dan menggugat nurani kemanusiaan mereka, kepedulian pun muncul.

Hari-hari selanjutnya, lapangan di pinggiran kampung itu dipenuhi mobil-mobil tangki air yang berjejalan dari ujung ke ujung.

"Silakan, Pa. Sekarang giliran Anda," kata salah satu petugas pemberi air. Anto terhenyak, buru-buru disodorinya dua ember, lalu pergi.
***

Jokowi Diingatkan Soal Penjilat, Yunarto Wijaya Ditanya Apakah Menyesal Tak Pilih Prabowo Subianto

Dua minggu telah berlalu dan mobil tangki air yang puluhan itu tetap setia memberikan air bersih bagi warga. Namun, sebagian warga mulai merasa aneh dengan jumlah orang yang ikut antre tersebut. Adalah Wanto, petani senior di tempat itu mendadak memecah keriuhan sekelompok warga yang tengah antre.

"Bapak-bapak, adakah yang pernah melihat Anto?"

"Tidak pernah, Pak," jawab Mundus seketika.

"Betul sekali bapak-bapak, sudah tiga hari ini saya tak pernah melihat si Anto lagi. Entah kemana perginya orang itu. Apa dia tidak kehausan?" Sahut Romanus sambil menyisakan tanya yang tak bisa dijawab sekelompok orang itu.

"Jangan-jangan," kata-kata Wanto mulai terdengar putus-putus.

"Jangan-jangan apa, Pak?" sambung Romanus penasaran.

"Ia tewas karena kekurangan air," sambar Pak Wanto seketika.

Mendengar itu, sekelompok warga mulai panik dan memutuskan keluar dari barisan tersebut. Sebagian langsung menuju kediaman Anto. Sebagian lainnya menuju lahan persawahan miliknya.

Setelah di rumahnya mereka tidak menemukan Anto sama sekali begitu pun di lahan persawahannya. Perasaaan khawatir memuncak.
Mulailah mereka mengutuk habis kekeringansebagai penyebab segalanya, termasuk hilangnya Anto. Saat itu muncullah Pardi.
***

"Apapun yang terjadi, padi dan jagung-jagungku tidak boleh sampai layu apalagi luruh dan mati. Mereka harus tetap hidup," batin Anto sambil sesekali mengarahkan pandangan matanya ke atas.

***
"Apa yang terjadi teman-teman?" tanya Pardi seketika.

"Itu, si Anto hilang," jawab Wanto.

"Sudah beberapa hari ini ia tidak ikut antre air dari mobil bertangki itu," tambah Mundus.

"Apanya yang hilang, beberapa hari terkhir ini aku dan Anto bersama-sama terus. Kami sedang mengerjakan suatu pekerjaan tambahan untuk jalan keluar dari kekeringan ini," jawab Pardi sedikit tersenyum.

"Syukurlah kalau begitu. Lalu di mana si Anto sekarang?" sahut Tinus tidak sabar.

"Di dekat kali kita," jawab Pardi sambil menunjuk ke arah kali.
Mendengar penjelasan Pardi. Mereka pun langsung menuju kali itu.

Aroma Keretakan Persib Bandung Terkuak Usai Kalahkan Persipura, Umuh Singgung Semen Padang

"Anto, Anto," teriak Mundus ketika tiba di kali itu.
Mendengar teriakan itu, buru-buru ia naiki tangga berbambu. Saat sampai di puncaknya, sekelompok orang sudah menunggunya dengan mata melotot.

"Anto, kenapa penggalian sumur ini tak kau ceritakan pada warga yang lain. Kan bisa dikerjakan secara bersama," kata Wanto dengan nada menyerang.

"Maaf, teman-teman. Bukannya tidak ingin bercerita atau mengajak, tapi aku dan Pardi ingin berusaha sendiri dulu.

Syukurlah, penggalian sumur ini tidak terlalu membutuhan waktu lama. Karena letaknya dekat kali jadi kini kita sudah bisa mengairi sawah kita dengan air sumur ini," jawab Anto.

Meski agak kecewa dengan Anto, namun mereka tak bisa menyangkal senyum kegembiraan yang mulai merekah di bibir masing-masing.

Apalagi gumpalan awan hitam seketika itu bergerombol di atas kepala mereka. Senja terasa begitu bersahabat. Pulang pun menjadi kian bersemangat.

(Arnus Setu berasal dari Detusoko, Ende, NTT. Alumnus SMA Seminari Mataloko. Belajar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta).

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved