Jangan Kaget, Ternyata Perilaku Ini Penyebab Angka ODHA Tinggi di Kota Kupang

Jangan kaget, ternyata perilaku ini penyebab angka ODHA tinggi di Kota Kupang

Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/Gecio Viana
Pendamping ODHA dari LSM Perjuangan, Yulius (45) saat ditemui di Sekretariat LSM Perjuangan Jln Amabi Kelurahan Oepura, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Senin (9/9/2019) malam. 

Dimana diawbutkan bahwa kasus penderita HIV/AIDS di Bali hingga Maret 2019 berjumlah 21.018 orang.

Upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS ini sepatutnya melibatkan berbagai pihak, salah satunya desa adat yang harus banyak dilibatkan.

Terlebih penyebarannya juga sudah berada di desa-desa.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (Ratu Aji) meminta agar menutup tempat-tempat prostitusi seperti kafe remang-remang di wilayah desa adat yang berpotensi menjadi tempat penularan HIV/AIDS.

Pihaknya menyambut baik kegiatan yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali dengan melibatkan kader-kader desa Peduli AIDS. Menurutnya, angka penderita yang mencapai 21 ribu sangat memprihatinkan.
Bali sudah masuk lima besar penderita HIV/AIDS di Indonesia. Dari 21 ribu itu, 90 persen merupakan krama Bali.

Dikatakannya, yang bisa dilakukan saat ini adalah pertama, stigma buruk, memalukan, dan mengerikan tentang penyakit HIV/AIDS ini harus diakhiri, karena HIV/AIDS tidak berbeda dengan penyakit Hepatitis B atau Hepatitis C yang cara penularannya sama.

Kini obat bagi penderitanya sekarang juga sudah ada, yaitu ARV (Anti Retro Viral).

Meski obat ini harus diminum seumur hidup, hal ini berarti sama saja dengan penderita diabetes yang memakai insulin.

"Karena dia belum bisa sembuh 100 persen, maka penderita harus meminum tablet atau dengan injeksi insulin seumur hidup," ujarnya saat ditemui dalam Lokakarya Forum Kader Desa Peduli AIDS (KDPA) di Kantor BPSDM Provinsi Bali, Rabu (4/9/2019).

Kedua, dalam pencegahannya, desa adat harus lebih berperan aktif dalam memberantas HIV/AIDS ini.

Ia meminta kepada pimpinan daerah mengeluarkan instruksi agar izin kafe remang-remang yang tidak mempunyai izin langsung ditutup dan pihak-pihak yang memohon izin pendirian kafe remang-remang jangan diberikan.

Ketiga, mencegah adanya hubungan seksual yang berisiko karena inilah yang menjadi sumber-sumber penularan HIV/AIDS.

Menurutnya, hal tersebut membuat kesan tidak baik untuk Bali. Untuk itu ia mengimbau kepada desa adat, baik karang taruna, STT, bendesa, prajuru agar terus mensosialisasikan terkait HIV/AIDS.

Seluruh kader-kader peduli HIV/AIDS di desa adat diharapkan dapat membuat sangkepan mengumpulkan krama desa memberikan pemahaman terkait HIV/AIDS.

"Kalau semua desa adat melakukan hal seperti itu, saya yakin pemahaman tentang HIV/AIDS akan baik di masyarakat dan begitu terjadi pemahaman yang baik di masyarakat, maka kita mendapat hasil yang bagus," tuturnya.

Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) menyampaikan sejak ditemukan tahun 1987 sampai Juni 2019 secara komulatif kasus HIV/AIDS mencapai 21.597 kasus.

Jika dilihat dari laporan Dinas Kesehatan Bali per Maret 2019 kasusnya berjumlah 21.018 orang. Artinya ada penambahan 579 orang dalam tiga bulan atau 193 kasus baru setiap bulannya.

Seseorang yang terinveksi HIV disebabkan karena prilaku seksualnya sangat berisiko tertular atau menularkan.

Selanjutnya fenomena yang bersangkutan terinfeksi HIV berlanjut masuk dalam stadium AIDS, lalu sekarat pulang ke desanya sering terjadi stigma dan diskriminasi serta pengucilan di desanya karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS.

Tidak jarang saat ada penderita yang meninggal jenazahnya tidak berani disentuh oleh keluarga maupun krama banjarnya.

"Kita perlu melipatgandakan upaya penanggulangan, agar tidak kalah cepat dengan laju HIV/AIDS itu sendiri, salah satunya memperkuat posisi dan jumlah KDPA," tuturnya.

Kisah Isye Wanita Tertular HIV

Isye Susilawati menghela nafas. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat-saat terberat dalam hidupnya, akhir 2005 silam. Tahun itu, Isye divonis HIV positif.

Ia tertular dari suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik.

Mendapat vonis itu, Isye terpukul. Ia minder, tidak percaya diri, jatuh terjerembab, dan merasa hampa.

Apalagi, selama ini ia merasa tidak pernah berbuat aneh, nakal, atau melakukan hal-hal berisiko tinggi yang bisa membuatnya terkena HIV-AIDS.

"Berat banget untuk mengakui dan menerima saya HIV positif. Butuh waktu dua tahun untuk saya bisa menerima ini," ujar Isye, kepada Kompas.com, di Bandung, belum lama ini.

Puncaknya, saat ia mengalami diare akut dan kandidiasis oral selama tiga pekan.

Berat badannya turun 23 kilogram dari 50 kilogram menjadi 27 kilogram.

Badannya yang kurus kering membuatnya enggan melihat kaca.

Kalau melihat kaca, bawaannya ingin membanting kaca tersebut.

Saat-saat terberat ini dilaluinya bersama keluarga terutama anaknya yang saat itu masih berusia 5 tahun.

Anak terbesarnya inilah yang merawat Isye.

Saat ia merintih kesakitan karena penyakitnya, sang anak yang memberinya obat.

Semakin besar, anaknya pula yang mengingatkan Isye untuk meminum ARV dan cek rutin ke dokter.
"Dia yang tahu saya saat ngedrop. Dia yang selalu memberikan obat. Dia yang menjadi motivasi saya untuk bertahan sampai sekarang. Dia pernah berkata, Bunda harus bisa melihat kakak sampai dewasa, kuliah," ungkap Isye, dengan mata
berkaca-kaca.

Berkat anaknya, ia bisa menerima penyakitnya dengan ikhlas tanpa merasa benci pada suaminya. Sebab, pada awal divonis HIV, kerap ada kalimat, "gara-gara kamu (suaminya), saya jadi seperti ini".

Namun, semakin lama, ia melihat rasa dendam terhadap suami tidak akan menyelesaikan masalah. Rasa minder yang menderanya pun tidak akan mengubah status HIV positifnya.

Ia pun mulai membuka statusnya kepada orang lain. Ada yang mendukung, ada pula yang malah memberikan stigma.

"Orang tahu saya tertular dari suami. Tapi, suka ada orang yang berkarta, kamu dulunya nakal sih dan lain-lain," ucap dia.

Meski stigma kerap menghampiri perjalanan hidupnya. Ia bertekad menjalankan hidupnya dengan bekerja dan mengurus keluarga.

Hingga suaminya meninggal tahun 2011.

Beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan sesama pengidap HIV dan dikaruniai satu orang anak. Suami keduanya meninggal pada 2018.

"Sekarang saya single parent. Tidak mudah, tapi saya dan anak-anak menjalankannya dengan baik," ucap dia.

Saat ini, anak pertamanya sudah menginjak semester 3 salah satu perguruan tinggi di Bandung dan anak keduanya baru masuk SD.

"Mereka negatif (HIV)," tutur dia.

Sepak bola Selain mengurus anak, Isye kini aktif di Rumah Cemara dan bekerja di Female Plus sebagai pendukung sebaya. Dari pekerjaannya di LSM inilah, ia bisa menghidupi keluarganya.

Ia pun tetap aktif berolahraga. Bahkan, ia terpilih menjadi satu-satunya wanita dalam Tim Nasional Homeless World Cup (HWC) 2019.

Isye bersama timnya akan mewakili Indonesia untuk berlaga di Cardiff City, Inggris, pada 27 Juli-3 Agustus 2019.

Perjuangan Isye untuk gabung di Timnas HWC 2019 tidak diperoleh dengan mudah. Ia memulainya di tahun 2013 saat menjuarai pertandingan sepak bola tingkat Jabar.

Tadinya, Isye akan diberangkatkan dengan tim HWC lainnya pada 2014, namun batal.
Tak mau menyerah, ia kemudian ikut seleksi di 2019 dan menjadi peserta perempuan satu-satunya.

Selama seleksi dan latihan, ia mengaku tidak pernah canggung, walau semua anggota tim lainnya laki-laki.

Ia tetap latihan serius mengocek bola dan berperan maksimal sebagai pemain depan.

Isye dinyatakan lolos dan akan segera bertolak ke Inggris untuk mengikuti pertandingan.

Dalam HWC ini, Isye mengangkat isu perempuan HIV positif, bahwa mereka tetap bisa berkarya.

"Jangan menyerah sehingga dipandang sebelah mata. Kita bisa bangkit sama seperti laki-laki," kata dia.

Paling Banyak HIV

Wilayah Kota Kupang menempati urutan pertama penderita HIV/AIDS terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT).

Dinas Kesehatan Kota Kupang, mendata jumlah penderita HIV/AIDS di Ibu Kota Provinsi NTT itu per Juli 2019 mencapai 1.509 orang.

Kadis Kesehatan Kota Kupang, drg. Retnowati diwawancarai POS-KUPANG.COM, Senin (9/9/2019) menjelaskan, dari jumlah 1.509 penderita tersebut 1.069 merupakan penderita HIV dan sisanya, 440 penderita AIDS.

Ia mengatakan, baik penderita HIV maupun AIDS, sebagian besar berada pada rentang usia 25 sampai 49 tahun dan dominan tertular melalui hubungan seks.

Padahal kata dia, berbagai macam sosialisasi sudah terus menerus dilakukan oleh Dinkes Kota Kupang serta LSM untuk menekan penyebaran HIV-AIDS.

Menurutnya, ada 3 cara prinsip dalam pencegahan penularan HIV, yaitu A, B, dan C atau dapat diartikan prinsip Abstinence, be faithfull, condom, dan no drugs.

Retno menjelaskan, Abstinence berarti tidak berhubungan dengan orang lain selain pasangan, B dari be faithfull saling setia terhadap pasangannya, dan C condom, menggunakan kondom jika pasangan kita mengidap HIV/AIDS atau jika kita tidak yakin terhadap pasangan kita. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Laus Markus Goti)

21 Ribu Teridentifikasi HIV/AIDS

Jumlah itu meeupakan data dari Dinas Kesehatan Baliumlah.

Dimana diawbutkan bahwa kasus penderita HIV/AIDS di Bali hingga Maret 2019 berjumlah 21.018 orang.

Upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS ini sepatutnya melibatkan berbagai pihak, salah satunya desa adat yang harus banyak dilibatkan.

Terlebih penyebarannya juga sudah berada di desa-desa.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (Ratu Aji) meminta agar menutup tempat-tempat prostitusi seperti kafe remang-remang di wilayah desa adat yang berpotensi menjadi tempat penularan HIV/AIDS.

Pihaknya menyambut baik kegiatan yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali dengan melibatkan kader-kader desa Peduli AIDS. Menurutnya, angka penderita yang mencapai 21 ribu sangat memprihatinkan.
Bali sudah masuk lima besar penderita HIV/AIDS di Indonesia. Dari 21 ribu itu, 90 persen merupakan krama Bali.

Dikatakannya, yang bisa dilakukan saat ini adalah pertama, stigma buruk, memalukan, dan mengerikan tentang penyakit HIV/AIDS ini harus diakhiri, karena HIV/AIDS tidak berbeda dengan penyakit Hepatitis B atau Hepatitis C yang cara penularannya sama.

Kini obat bagi penderitanya sekarang juga sudah ada, yaitu ARV (Anti Retro Viral).

Meski obat ini harus diminum seumur hidup, hal ini berarti sama saja dengan penderita diabetes yang memakai insulin.

"Karena dia belum bisa sembuh 100 persen, maka penderita harus meminum tablet atau dengan injeksi insulin seumur hidup," ujarnya saat ditemui dalam Lokakarya Forum Kader Desa Peduli AIDS (KDPA) di Kantor BPSDM Provinsi Bali, Rabu (4/9/2019).

Kedua, dalam pencegahannya, desa adat harus lebih berperan aktif dalam memberantas HIV/AIDS ini.

Ia meminta kepada pimpinan daerah mengeluarkan instruksi agar izin kafe remang-remang yang tidak mempunyai izin langsung ditutup dan pihak-pihak yang memohon izin pendirian kafe remang-remang jangan diberikan.

Ketiga, mencegah adanya hubungan seksual yang berisiko karena inilah yang menjadi sumber-sumber penularan HIV/AIDS.

Menurutnya, hal tersebut membuat kesan tidak baik untuk Bali. Untuk itu ia mengimbau kepada desa adat, baik karang taruna, STT, bendesa, prajuru agar terus mensosialisasikan terkait HIV/AIDS.

Seluruh kader-kader peduli HIV/AIDS di desa adat diharapkan dapat membuat sangkepan mengumpulkan krama desa memberikan pemahaman terkait HIV/AIDS.

"Kalau semua desa adat melakukan hal seperti itu, saya yakin pemahaman tentang HIV/AIDS akan baik di masyarakat dan begitu terjadi pemahaman yang baik di masyarakat, maka kita mendapat hasil yang bagus," tuturnya.

Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) menyampaikan sejak ditemukan tahun 1987 sampai Juni 2019 secara komulatif kasus HIV/AIDS mencapai 21.597 kasus.

Jika dilihat dari laporan Dinas Kesehatan Bali per Maret 2019 kasusnya berjumlah 21.018 orang. Artinya ada penambahan 579 orang dalam tiga bulan atau 193 kasus baru setiap bulannya.

Seseorang yang terinveksi HIV disebabkan karena prilaku seksualnya sangat berisiko tertular atau menularkan.

Selanjutnya fenomena yang bersangkutan terinfeksi HIV berlanjut masuk dalam stadium AIDS, lalu sekarat pulang ke desanya sering terjadi stigma dan diskriminasi serta pengucilan di desanya karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS.

Tidak jarang saat ada penderita yang meninggal jenazahnya tidak berani disentuh oleh keluarga maupun krama banjarnya.

"Kita perlu melipatgandakan upaya penanggulangan, agar tidak kalah cepat dengan laju HIV/AIDS itu sendiri, salah satunya memperkuat posisi dan jumlah KDPA," tuturnya.

Kisah Isye Wanita Tertular HIV

Isye Susilawati menghela nafas. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat-saat terberat dalam hidupnya, akhir 2005 silam. Tahun itu, Isye divonis HIV positif.

Ia tertular dari suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik.

Mendapat vonis itu, Isye terpukul. Ia minder, tidak percaya diri, jatuh terjerembab, dan merasa hampa.

Apalagi, selama ini ia merasa tidak pernah berbuat aneh, nakal, atau melakukan hal-hal berisiko tinggi yang bisa membuatnya terkena HIV-AIDS.

"Berat banget untuk mengakui dan menerima saya HIV positif. Butuh waktu dua tahun untuk saya bisa menerima ini," ujar Isye, kepada Kompas.com, di Bandung, belum lama ini.

Puncaknya, saat ia mengalami diare akut dan kandidiasis oral selama tiga pekan.

Berat badannya turun 23 kilogram dari 50 kilogram menjadi 27 kilogram.

Badannya yang kurus kering membuatnya enggan melihat kaca.

Kalau melihat kaca, bawaannya ingin membanting kaca tersebut.

Saat-saat terberat ini dilaluinya bersama keluarga terutama anaknya yang saat itu masih berusia 5 tahun.

Anak terbesarnya inilah yang merawat Isye.

Saat ia merintih kesakitan karena penyakitnya, sang anak yang memberinya obat.

Semakin besar, anaknya pula yang mengingatkan Isye untuk meminum ARV dan cek rutin ke dokter.
"Dia yang tahu saya saat ngedrop. Dia yang selalu memberikan obat. Dia yang menjadi motivasi saya untuk bertahan sampai sekarang. Dia pernah berkata, Bunda harus bisa melihat kakak sampai dewasa, kuliah," ungkap Isye, dengan mata
berkaca-kaca.

Berkat anaknya, ia bisa menerima penyakitnya dengan ikhlas tanpa merasa benci pada suaminya. Sebab, pada awal divonis HIV, kerap ada kalimat, "gara-gara kamu (suaminya), saya jadi seperti ini".

Namun, semakin lama, ia melihat rasa dendam terhadap suami tidak akan menyelesaikan masalah. Rasa minder yang menderanya pun tidak akan mengubah status HIV positifnya.

Ia pun mulai membuka statusnya kepada orang lain. Ada yang mendukung, ada pula yang malah memberikan stigma.

"Orang tahu saya tertular dari suami. Tapi, suka ada orang yang berkarta, kamu dulunya nakal sih dan lain-lain," ucap dia.

Meski stigma kerap menghampiri perjalanan hidupnya. Ia bertekad menjalankan hidupnya dengan bekerja dan mengurus keluarga.

Hingga suaminya meninggal tahun 2011.

Beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan sesama pengidap HIV dan dikaruniai satu orang anak. Suami keduanya meninggal pada 2018.

"Sekarang saya single parent. Tidak mudah, tapi saya dan anak-anak menjalankannya dengan baik," ucap dia.

Saat ini, anak pertamanya sudah menginjak semester 3 salah satu perguruan tinggi di Bandung dan anak keduanya baru masuk SD.

"Mereka negatif (HIV)," tutur dia.

Sepak bola Selain mengurus anak, Isye kini aktif di Rumah Cemara dan bekerja di Female Plus sebagai pendukung sebaya. Dari pekerjaannya di LSM inilah, ia bisa menghidupi keluarganya.

Ia pun tetap aktif berolahraga. Bahkan, ia terpilih menjadi satu-satunya wanita dalam Tim Nasional Homeless World Cup (HWC) 2019.

Isye bersama timnya akan mewakili Indonesia untuk berlaga di Cardiff City, Inggris, pada 27 Juli-3 Agustus 2019.

Perjuangan Isye untuk gabung di Timnas HWC 2019 tidak diperoleh dengan mudah. Ia memulainya di tahun 2013 saat menjuarai pertandingan sepak bola tingkat Jabar.

Tadinya, Isye akan diberangkatkan dengan tim HWC lainnya pada 2014, namun batal.
Tak mau menyerah, ia kemudian ikut seleksi di 2019 dan menjadi peserta perempuan satu-satunya.

Selama seleksi dan latihan, ia mengaku tidak pernah canggung, walau semua anggota tim lainnya laki-laki.

Ia tetap latihan serius mengocek bola dan berperan maksimal sebagai pemain depan.

Isye dinyatakan lolos dan akan segera bertolak ke Inggris untuk mengikuti pertandingan.

Dalam HWC ini, Isye mengangkat isu perempuan HIV positif, bahwa mereka tetap bisa berkarya.

"Jangan menyerah sehingga dipandang sebelah mata. Kita bisa bangkit sama seperti laki-laki," kata dia. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved