Kisah Muhammad Zainuddin Warga Timor Leste yang Mengungsi ke Noelbaki Setelah 20 Tahun Referendum

Negara Timor Leste baru saja memperingati 20 tahun pelaksanaan Referendum atau Jajak Pendapat, Jumat (30/9/2019).

Editor: Agustinus Sape
(ABC/Iffah Nur Arifah
Muhammad Zainuddin bersama ibunda, Nurhayati Usman. 

Dan setiap tahun dia juga masih bisa mengantarkan bantuan untuk kerabatnya yang tinggal di sejumlah titik pengungsian di NTT dan NTB.

Minimnya perhatian dan bantuan menjadi keluhan yang biasa didengarkannya.

"Terakhir saya pulang ke kamp pengungsi di Noelbaki tahun 2017 untuk mengantarkan bantuan, banyak yang mengaku menyesal telah memilih ikut Indonesia karena merasa tidak dihargai dan tidak diperhatikan."

"Tidak ada perubahan dalam hidup mereka sejak mengungsi. Perhatian juga tidak ada, terakhir ada bantuan 2016, setelah itu kamp pengungsi tidak ada lagi karena sudah ditutup."

"Warga pengungsi hidup di tanah orang menumpang. Mereka menjadi buruh tani, menjual batu karang, buruh bangunan, jadi ojek, jadi apa sajalah untuk bertahan hidup,"

Zainuddin mengaku tidak sedikit dari teman-teman kecilnya di pengungsian telah memilih kembali ke Timor Leste untuk mengadu nasib di sana.

"Dari segi pendapatan mereka yang kerja di Timor Leste memang lebih baik, karena upah di sana pakai dollar."

"Jadi lebih besar, jaga toko saja di sana sudah cukup. Jadi banyak juga yang kembali. Apalagi yang masih punya sanak famili di sana, itu mudah tinggal ikut mereka. Ada juga yang diajak ke Portugal," ungkapnya.

Sutrisno Susanto atau Ano Gomez mengungsi dari Dili ke Noelbaki pasca perang konflik bersenjata di Timor Timur pada 1999 ketika berusia 7 tahun.
Sutrisno Susanto atau Ano Gomez mengungsi dari Dili ke Noelbaki pasca perang konflik bersenjata di Timor Timur pada 1999 ketika berusia 7 tahun. (Pribadi via ABC News Indonesia)

Pandangan serupa juga diungkapkan Sutrisno Susanto, mahasiswa perguruan swasta di Depok, Jawa Barat ini mengaku akhir tahun lalu mengunjungi kembali kamp pengungsi eks Timtim di Naelbaki, Kupang, NTT.

Pada tahun 1999, ia sempat tinggal di kamp itu sebelum diajak mengungsi ke Jakarta oleh pendiri panti asuhan Aswain Timor, Almarhum Ali Bin Don Duro.

Menurutnya, tidak banyak perubahan berarti dirasakan warga pengungsi selama 20 tahun terakhir.

"Saya pulang ke Noelbaki, karena ada saudara yang menikah. Mereka masih tinggal di kamp pengungsian.'

"Kondisi mereka masih jauh dari sejahtera, mereka bertahan di rumah-rumah di lahan pengungsian, dindingnya dari papan kayu, tidak ada fasilitas, listrik saja kami masih menyantol dari rumah warga sekitar, sudah 20 tahun mereka hidup seperti itu," ungkapnya.

Pria yang dipanggil dengan marga khas Timor, Ano Gomez ini mengatakan kerabatnya kini telah berdamai dengan keadaan, meski awalnya merasa kecewa karena tidak diperhatikan pemerintah.

Namun demikian sebagai warga pendatang mereka masih dihantui rasa was-was atas kepastian rumah tinggal mereka.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved