Mahkamah Kontitusi Tolak Gugatan Gerindra, Ini Komentar Akademisi FISIP Unwira
penegasan yuridis bahwa bukti-bukti yang diajukan dalam gugatan para caleg yang tidak lolos itu dinilai tidak kuat.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso

Mahkamah Kontitusi Tolak Gugatan Gerindra, Ini Komentar Akademisi
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan yang diajukan Partai Gerindra dengan nomor perkara: 159-02-19-PHPU.DPR.DPD/XVII/2019 pada hari ini, Selasa (6/8/2019).
Menanggapi hal ini, pengajar Komunikasi Politik pada FISIP Universitas Katolik Widya Mandiri (Unwira) Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona memberikan komentarnya.
Menurut Mikhael, penolakan MK menjadi penegasan yuridis bahwa bukti-bukti yang diajukan dalam gugatan para caleg yang tidak lolos itu dinilai tidak kuat.
Secara politis, lanjut Mikhael, ini sebuah kemajuan dalam konsolidasi demokrasi di mana cara-cara konstitusional dan proseduralisme demokrasi melalui lembaga-lembaga seperti MK masih dipercaya.
Artinya, ini sekaligus juga memberi konsekuensi bahwa putusan itu harus diterima oleh para politisi karena mereka sendirilah yang menetapkan prosedur-prisedur demokrasi itu lewat undang-undang di mana salah satunya adalah sengketa pemilu harus lewat MK," katanya saat dihubungi POS-KUPANG.COM pada Selasa (6/8/2019) malam.
"Soal apakah putusan itu benar atau tidak, saya kira kebenaran adalah urusan filsafat epistemologi, tidak cukup waktu untuk memperdebatkan itu apalagi ini lebih sebagai produk hukum dan politik," tambahnya.
Dijelaskan Mikhael, gagalnya para caleg incumbent dari beberapa partai besar di NTT di berbagai level sebenarnya tidak melulu karena masalah pencurian suara dan penggelembungan suara atau akibat permainan pihak KPU.
Hal tersebut dikarenakan dilibatkannya saksi secara berjenjang di mana semua partai juga menghadirkan dua saksi di setiap TPS, maka sangtlah sulit membayangkan dilakukan pencurian suara secara masif dan teratruktur.
Menurut Mikhael, pencurian atau sabotase suara itu terjadi adalah benar, tetapi sangatlah sulit dilakukan dalam angka gigantis atau banyak. Harus diakui bahwa khusus untuk pemilu legislatif 2019, itu adalah salah satu pemilu paling brutal dan kasar dengan permainan uang dan pembelian suara di level akar rumput.
"Jadi kegagalan seorang caleg, tidak hanya disebabkan oleh partai lain tapi juga karena di internal partai terjadi "perang di kandang sendiri antarpara caleg". Kekuatan uang di hari H untuk membeli suara oleh mereka yg dibekingi oleh pemegang kekuasaan lokal atau para bos lokal adalah nyata," jelasnya.
Masalahnya, ujar Mikhael, adalah membuktikannya sangtlah sulit. Sebab selain uang itu dikomodifikasi menjdi bantuan-bantuan, juga karena para pemain lapangan tidak mungkin mengakuinya.
"Istilahnya uang itu tidak berbau sehingga sulit diidentifikasi. Sedangkan masyarakat kecil yg sedang kesulitan scra ekonomi tdk melihat itu sbgai dosa tpi justru sbgai berkat lima tahunan," paparnya.
Hal lain yang dapat dilihat dari fenomena kegagalan para incumbent menurut Mikhael, adalah perubahan mind set pemilih.
"Saya mencatat bahwa ada banyak sekali mantan 'Bos lokal' dan juga tokoh aktif di DPR yg gagal lolos ke senayan. Menurut saya realita tersebut menunjukkan bahwa saat ini di NTT sedang terjadi semcam transformasi kesadaran pemilih," ungkapnya.