Opini Pos Kupang

Opini Pos Kupang 22 Juli 2019, Pendidikan di NTT dan Revolusi Industri 4.0

Istilah revolusi industri 4.0 memang bukan lagi hanya jargon para pegiat industri manufaktur dan orang-orang IT, melainkan telah menjadi isu penting

Editor: Ferry Jahang
ISTIMEWA
IST Theodorus Mario De Robert 

Pendidikan di NTT dan Revolusi Industri 4.0
Oleh : Theodorus Mario De Robert
Alumnus Pasca Sarjana Teknologi Pendidikan

SEJAK 1 April 2019 berdasarkan surat edaran BAN-PT nomor 570/BAN-PT/LL/2019 pemerintah mewajibkan kampus-kampus menggunakan instrumen akreditasi baru yang berbasis pada revolusi industri 4.0.

Istilah revolusi industri 4.0 memang bukan lagi hanya jargon para pegiat industri manufaktur dan orang-orang IT, melainkan telah menjadi isu penting di dunia pendidikan.

Seperti kita ketahui, revolusi industri 4.0 ditandai tiga fenomena besar yakni big data, cloud computing dan internet of things.

Big data (maha data) merupakan sebutan untuk serangkaian teknik dan teknologi terintegrasi untuk mengolah dan memanfaatkan secara cepat berbagai data dengan volume sangat besar dari berbagai sumber dan berbagai jenis format (Hashem, et al., 2015).

Cloud computing (komputasi awan) adalah suatu model komputasi yang memungkinkan pengguna dapat menyimpan data dalam jumlah besar pada server internet, bukan lagi pada hardisk komputer.

Dengan itu maka orang bisa saling berbagi sumber data dengan atau tanpa bantuan dari penyedia layanan (Mell; Grance, 2011).

Sementara Internet of Things (IoT) merupakan teknologi yang memungkinkan benda-benda di sekitar kita terhubung dengan jaringan internet.

IoT memungkinkan objek tertentu punya kemampuan untuk mentransfer data lewat jaringan internet tanpa memerlukan interaksi dari manusia ke manusia ataupun dari manusia ke perangkat komputer.

IoT secara riil misalnya hadir dalam teknologi GPS, teknologi peringatan dini tsunami, e-parking, dll.

Tiga fenomena di atas adalah gambaran tentang kondisi dunia saat ini sekaligus dunia di masa yang akan datang, yang mau tidak mau mengarahkan kita pada cara pandang yang lebih mutakir.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Ir. Joko Widodo saat menyampaikan orasi sebagai presiden terpilih periode 2019-2024 (Minggu, 14 Juli 2019).

Dalam pidatonya Jokowi menekankan harus ada perubahan pola pikir dalam menjawab tantangan dunia saat ini jika Indonesia ingin bertumbuh sebagai negara maju.
Begitupun halnya dengan pendidikan.

Harus ada perubahan cara pandang dalam menyelenggarakan pendidikan masa kini sehingga Revolusi industri 4.0 tidak hanya sebatas jargon atau sekadar koar-koar teoretik

tetapi harus dibumikan secara sungguh-sungguh di kampus-kampus dan sekolah-sekolah, melalui beragam cara seperti revisi kurikulum, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, sarana prasarana, perubahan budaya belajar dan lain sebagainya.

Hal itu dilakukan mengingat lembaga pendidikan adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mempersiapkan masa depan generasi bangsa.

Menurut data Kemendikbud RI, jumlah sekolah dasar dan menengah di NTT 7.980 sekolah, dengan perincian SD/sederajat 5.287 sekolah, jumlah SMP/sederajat 1.811 sekolah, dan SMA/SMK/sederajat 882 sekolah.

Dari jumlah keseluruhan sekolah di atas diperkirakan terdapat 1,3 juta anak usia sekolah yang akan menjadi tenaga kerja pada tahun 2030 ke atas (Bdk. NTT Dalam Angka 2018, BPS).

Misalkan saja 80 persen dari jumlah tersebut akan menamatkan perguruan tinggi, maka pada tahun 2030 akan ada kurang lebih 1 juta tenaga kerja berijazah sarjana.

Pada tahun itu perkembangan teknologi dan industri tentu sudah jauh lebih pesat daripada saat ini. Persaingan tenaga kerja juga sudah jauh lebih terbuka bukan hanya di kawasan Asean dan Asia Pasifik tetapi juga terbuka untuk level global.

Saat ini sudah ada sedikit putra-putri NTT yang menjadi pekerja migran berkeahlian di beberapa negara terutama sebagai tenaga kesehatan misalnya.

Ke depan jumlah tersebut diharapkan mengalami peningkatan. Angkatan kerja berijazah sarjana dengan jumlah sedemikian besar pada tahun 2030 tentu diharapkan bisa bersaing dalam pasar tenaga kerja global tersebut.

Agar harapan seperti itu bisa tercapai maka langkah-langkah strategis patut dipikirkan dan dimulai sejak sekarang terutama di dunia pendidikan kita,

baik menyangkut manajemen mutu, revisi kurikulum, revoluasi metode pembelajaran maupun terkait strategi penyiapan SDM pengajar yang andal.

Tidak ada waktu lagi untuk berhenti ataupun bersantai-santai. Dunia pendidikan NTT harus berlari untuk mengikuti perkembangan dunia yang makin hari kecepatannya semakin menjadi-jadi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (NTT Dalam Angka 2018) dari total 63 perguruan tinggi yang berada di NTT saat ini, jumlah mahasiswa/i yang mengenyam pendidikan tinggi di NTT mencapai 101.592 orang.

Sayangnya kita belum memiliki database tentang putra putri NTT yang mengenyam pendidikan tinggi di luar NTT, sehingga belum dapat ditaksir total anak-anak NTT yang saat ini mengeyam pendidikan tinggi.

Terlepas dari itu, data di atas sesungguhnya mengingatkan bahwa dalam 5 tahun ke depan akan ada lebih dari 100 ribu angkatan kerja baru berijasah sarjana di NTT.

Namun patut diingat, salah satu efek buruk dari bonus demografi yang saat ini dialami Indonesia adalah tingkat pengangguran yang cukup tinggi pada usia kerja.

Karena itu penting untuk sedini mungkin mempersiapkan SDM NTT yang mempunyai kompetensi andal pada bidangnya masing-masing.

Dan apapun bidangnya, aspek penguasaan teknologi adalah tuntutan vital di era revolusi industri 4.0.

Dengan demikian paradigma pendidikan kita saat ini adalah menciptakan dan mendidik anak-anak usia sekolah agar menjadi bagian dari masyarakat melek teknologi.

Ada sekurang-kurangnya dua hal yang dapat dilakukan saat ini. Pertama, perombakan kurikulum kampus dan sekolah-sekolah. Kedua, penyediaan SDM TIK.

Rombak Kurikulum

Secara regulasional UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan setiap perguruan tinggi berkewajiban melakukan evaluasi terhadap kurikulum yang digunakan setiap 3 (tiga) tahun sekali.

Artinya sudah terdapat payung hukum yang mengatur tentang perombakan kurikulum di kampus-kampus.

Revisi kurikulum adalah perkara mutlak. Hal ini dimaksudkan agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dan dalam rangka mencari formula terbaik untuk menjawab kebutuhan zaman.

Kurikulum baru haruslah mewadahi upaya membangun kultur yang baru di kampus. Kurikulum baru tersebut harus memungkinkan kampus misalnya tidak lagi mewajibkan kuliah tatap muka di ruangan kelas.

Kampus dapat membangun fasilitas alternatif berupa kelas daring (online) dengan memanfaatkan aplikasi google classroom. Dengan itu proses perkuliahan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Untuk memastikan kehadiran/partisipasi mahasiswa dalam kelas daring semacam itu tinggallah dikontrol melalui pengerjaan tugas-tugas atau

bisa dibuat aplikasi presensi wajah berbasis android sehingga mahasiwa bisa `daftar hadir' secara daring dengan cara scan wajah di ponsel pintarnya masing-masing.

Proses perkuliahan pun sedapat mungkin bersifat paperless (tanpa kertas) dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang tersedia.

Beberapa kampus besar seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi 10 November Surabaya sudah menjalankan proses perkuliahan daring tersebut.

Universitas Indonesia bahkan sudah memulainya sejak 2002 yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai sarana penunjang proses pembelajaran.

Begitu pun Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) yang telah membuka perkuliahan online sejak 2006. Perkuliahan yang dikenal dengan sebutan share (sharable and reusable) ITS.

Dua contoh di atas menegaskan bahwa pola perkuliahan konvensional akan pelan-pelan bergeser menjadi pola perkuliahan modern, sehingga mau tidak mau, siap tidak siap pembelajaran saat ini sedang ditantang di-muthakhirkan.

Program kelas daring sebagaimana sudah diuraikan, selain sebagai bentuk pemanfaatan terhadap perkembangan teknologi yang ada, sebetulnya juga adalah upaya dalam rangka membiasakan mahasiswa/peserta didik dengan kultur baru dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan kata lain media pembelajaran dan proses pembelajaran itu sendiri sebenarnya adalah proses pendidikan agar bisa menjadi generasi yang benar-benar melek teknologi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kampus-kampus di NTT sudah siap untuk itu?

SDM TIK

Di samping kurikulum, keberadaan SDM TIK saat ini sangat dirasakan perlu pada setiap jenjang pendidikan guna membelajarkan insan NTT menguasai smart technology.

Keberadaan SDM TIK mempunyai peran sentral dalam menggiring generasi baru NTT agar tidak begitu saja mau dijajah oleh teknologi, tetapi menjadi pengguna teknologi yang aktif sekaligus sadar.

Dalam nomenklatur baru Kemenristekdikti No. 257/ M/KPT/2017 Tentang Nama Program Studi Perguruan Tinggi menunjukkan concern pemerintah

dalam mengupayakan setiap lembaga perguruan tinggi mampu menghasilkan para SDM TIK (lih. nomor 32 tentang Pendidikan Keguruan Teknik Informatika).

Hal ini harusnya direspons setiap lembaga perguruan tinggi di NTT seperti yang dilakukan salah satu universitas swasta di Kota Kupang,

Universitas Citra Bangsa (UCB) yang membuka program studi Pendidikan Guru Teknik Informatika sebagai bentuk dukungan terhadap usaha pemerintah dalam mencetak SDM TIK. Harapannya kampus-kampus lainpun mengikuti jejak UCB.

Selain merombak kurikulum dan menyiapkan SDM pengajar TIK, tentu banyak langkah lain yang patut dipikirkan bersama.

Semua itu akan membawa anak-anak NTT masa depan menjadi masyarakat sadar teknologi, paham ekses dari penggunaan teknologi, tak gampang percaya berita bohong (hoax),

tak mudah menyebarkan konten tidak mendidik, serta berdaya saing untuk memanfaatkan akselerasi teknologi bagi peningkatan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved