Renungan Harian Kristen Protestan

Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 22 Juni 2019 “Allah Menyesal dan Pilu HatiNya''

Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 22 Juni 2019 “Allah Menyesal dan Pilu HatiNya'

Editor: maria anitoda
dokumentasi pribadi
Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 22 Juni 2019 “Allah Menyesal dan Pilu HatiNya' 

Jadi, kalau hati yang merupakan sumber itu rusak, maka seluruh kehidupan menjadi rusak.

Kalau kecenderungan hati sudah jahat, maka praktek-praktek kejahatan akan mengalir dari sana.

2. Kejatuhan Hawa, sampai pada ceritera kejadian 6 memperlihatkan bahwa kecenderungan manusia pada hal-hal yang nampak menarik dari luar banyak kali tanpa pertimbangan yang matang dan mendalam.

Dan yang menarik dari luar atau pandangan mata selalu saja menjadi godaan terbesar.

3. Ketika alam hanya dilihat dari sebagai objek yang menarik dan dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi manusia, maka alam akan diekspolitasi sejadi-jadinya.

Karena sesungguhnya Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif.

Secara teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan.

Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa.

Dalam arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri.

Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.

Kristus mengingatkan bahaya mamonisme (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24 ; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan material.

Maka supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya.

Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias materialisme/mamonisme.

Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

4. Dalam Kejadian pasal 6 disebutkan bahwa umur yang dimiliki manusia pun diperpendek oleh  Allah menjadi seratus dua puluh tahun (6:3). Ini berarti bahwa dalam kehidupan manusia,kematian semakin mendekat kepada dirinya, bahkan dalam Mazmur 90:10, Musa menyebutkanbahwa masa hidup manusia tujuh puluh tahun dan jika ia kuat akan mencapai delapan puluh tahun.

Peristiwa air bah dalam Kejadian 6:9-9:17 menunjukkan bahwa manusia mengalami kematian karena kejahatan mereka makin bertambah di bumi, segala kecenderungan hati mereka selalu membuahkan kejahatan (Kej. 6:5), dan bumi menjadi rusak oleh kejahatan manusia (Kej.6:11-12). 

Hanya Nuh dan keluarganya yang mendapat kasih karunia dari TUHAN (Kej. 6:8;7:7), karena Nuh adalah orang benar, tidak bercela, dan hidup bergaul dengan Allah (Kej. 6:9),tetapi pada akhirnya, Nuh pun mengalami kematian (Kej. 9:28-29).

Setiap hari kita dikejutkan dengan kematian-kematian yang tidak wajar, bahkan kematian dalam usia yang relative muda. Ini juga akibat dari alam yang telah tercemar.

 5. Marilah kita membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan.

Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga.

Saya ingat sekitar tahun 1990-an, pemerintah TTS mengeluarkan surat ijin untuk menambang marmer di sebuah bukit batu yang bernama Fatu Naususu–Anjaf di Fatukoto Mollo-TTS.

Rakyat, khususnya kaum perempuan di bawah pimpinan Ibu Aleta Baun, melakukan penolakan dengan berbagai cara.

13 tahun mereka berjuang untuk mengusir para investor. Satu hal yang membuat mereka terus berjuang, yaitu karena pemahaman mereka terhadap alam.

Dalam salah satu pidato Ibu Aleta, dikatakan: “Nenek moyang kami mengajarkan kami hidup bersama alam, karena tubuh alam bagaikan tubuh manusia.

Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu monit mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia. Karena itu ketika batu itu dipotong, mereka merasakan seperti tubuh mereka yang terpotong-potong.

Saudara….Hanya dengan memahami bahwa alam adalah bagian dari kehidupan kita, maka kita akan dengan sungguh-sungguh merawatnya.

6. Ketika kita dimurkai, alampun turut mengambil bagian dalam penderitaan kita.  Hewan-hewanpun turut musnah.

Sebaliknya melalui pertobatan manusia, alampun akan ikut dipulihkan.

Melalui Nuh, seorang anak manusia yang taat, Ia mendapat kasih karunia Allah dan karena itu ia tidak ikut dimusnahkan.

Bahkan melalui ketataan Nuh, alam dipulihkan kembali. Manusia dimungkinkan kembali untuk ada di muka bumi.

Kiranya hubungan kita yang harmonis dengan Allah tercermin melalui hubungan kita dengan alam. Tuhan memberkati kita semua. Amin

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved