Renungan Harian
Renungan Harian Protestan, Minggu 26 Mei 2019, "Makian Anjing dibalas Anjing, Kita Jadi Gukg-gukg"
Renungan Harian Protestan, Minggu 26 Mei 2019, "Makian Anjing dibalas Anjing, Kita Jadi Gukg-gukg"
Perkataan baju dan jubah menunjuk kepada aturan taurat yang diterapkan untuk melindungi manusia bandingkan misalnya Ulangan 24:1-22.
Menurut Ulangan 24, 10-13 seeorang berhak menuntut kembali barang pinjamannya, entah pakaian bagian atas atau pakaian bagian bawah, tetapi itupun dengan syarat-syarat tertentu.
Misalnya orang miskin yang mengadaikan kainnya, maka barang gadaian itu harus dikembalikan si penerima gadai pada waktu matahari terbenam sehingga ia dapat menggunakannya pada waktu tidur.
Ketika Yesus meminta murid-murid untuk juga menyerahkan jubah, itu tidak menurut hukum taurat, tetapi menurut kasih dan kemurahan.
Perkataan Tuhan Yesus tentang berjalanlah juga sejauh dua mil berkaitan dengan adat istiadat Yahudi, dimana menemani seseorang yang mengadakan perjalanan.
Sangat berbahaya jika seorang berjalan sendiri di tengah padang, maka kewajiban si pendamping untuk melindungi dari bahaya-bahaya tersebut.
Sebab jika terjadi apa-apa terhadap orang itu, jemaat atau orang dari kampung itu yang bertanggung jawab.
Bagi seorang Parisi: saya hanya menemani seorang teman yang baik, yang cocok menurut aturanku, orang berdosa tidak akan aku temani (bandingkan kisah tentang orang Samaria).
Murid-murid Yesus justru diminta untuk menunjukkan sikap yang lain untuk selalu siap untuk menemani dalam segala hal, bahkan berjalan sejauh dua mil.
Disini ajakan Yesus ini tidak menurut hukum, tetapi menurut hukum kasih, menurut sikap suka menolong dan keramahtamahan. Termasuk memberi pertolongan dan bantuan kepada mereka yang meminta bantuan seperti yang dikatakan dalam ayat 42.
Kualitas hidup beriman bukan reaktif pada sikap orang lain tetapi proaktif terhadap kasih dan anugerah Allah yang diperolehnya.
Dalam Matius 5:45-48 ditekan bahwa orang percaya harus mengembangkan sikap-sikap revolusioner yang berbeda dari biasanya sebagai cerminan dari kualitas hubungannya Allah Bapa pencipta yang bermurah hati kepada siapa saja.
Oleh karena itu benar seperti yang ditekankan oleh Udo Schnelle bahwa pemahaman teks Inji Matius 5:38-48 ini harus dalam bingkai pemahaman perikop Matius 5:1-7:29 dengan judul “die Bergpredigt”, bahasa Jerman artinya khotbah di Bukit (lihat Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, 5 Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht, Goetinggen 2005, hal. 269).
Khotbah di Bukit dan beberapa bagian teks lainnya dari Injil Matius sebetulnya memperlihatkan atau mencerminkan etika dari Injil Matius yang menekankan bahwa para murid dan orang percaya mampu melakukan kehendak Allah sebagai syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah (bandingkan Matius 4:23; 9;35; 24:14). Percaya kepada Yesus berarti melakukan kehendak Bapa-Nya.
Sebagaimana Yesus sendiri, taat kepada kehendak Allah (Matius 3:15), yaitu yang bermuara pada melakukan dan mewujudkan dikaiosyne (bahasa Yunani artinya kebenaran) Allah dalam kehidupan nyata (band. Matius 5:6,10, 20; 6:1, 33; 21:32).
Oleh krena itu marilah kita mengembangkan bahasa-bahasa dan budaya kasih Allah sebagai sarana kita dalam pergaulan dan relasi kita satu sama lain, sebagai cerminan relasi kita dengan Tuhan Allah pengasih dan penyanyang itu.
********