Renungan Harian

Renungan Harian Protestan, Minggu 26 Mei 2019, "Makian Anjing dibalas Anjing, Kita Jadi Gukg-gukg"

Renungan Harian Protestan, Minggu 26 Mei 2019, "Makian Anjing dibalas Anjing, Kita Jadi Gukg-gukg"

Editor: Eflin Rote
istimewa
Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh MA 

Renungan Harian Kristen Protestan Minggu 26 Mei 2019

Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh Ma

--

Jika “Makian Anjing” dibalas dengan Anjing, lama-lama kita jadi “Gukg-gukg”!!!

Hari ini, Minggu 26 Mei 2019 kita berada pada minggu terakhir dari perayaan Bulan Bahasa dan Budaya dalam tema besarnya Bahasa dan Budaya Menjadi Sarana Berelasi dengan Tuhan dan Sesama.

Khususnya pada hari ini atau minggu ini Majelis Sinode GMIT memberi tema kecil “Mengubah Kebiasaan Dunia”. Kebiasaan dunia apa yang harus kita ubah? Teks Injil Matius 5:38-42 bisa memberikan jawaban kepada para pembaca yang budiman.

38 Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. 39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.

 40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 41 Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.

43 Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?

48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Matius 5:38-42).

Teks ini mengajarkan beberapa hal terutama hukum, budaya atau kebiasaan balas membalas dalam masyarakat.

Menurut R.E. Nixon (R.E. Nixon, Matthew, dalam New Bible Commentary, Third Edition, Guthrie, dkk, Inter Varsity Press, Leicester-Endgkand, 1970,   hlm., 824)Yesus dalam bagian ini  (Matius 5:38-48) memperhadapkan kebiasaan hukum membalas dengan pembalasan menurut Anugerah Allah.

Dengan kata kata lain pembalasan versus anugerah.

Basis legalistik yang mengatur bingkai kehidupan masyrakat seperti “tit for tat” (artinya kebaikan dibalas kebaikan atau kejahatan dibalas kejahatan) sekarang diperhadapkan dengan prinsip anugerah yang diajarkan Yesus sebagai inti pesan Injil Kerajaan Allah.

Tuhan Yesus disini mengajarkan para murid dan orang percaya untuk hidup tidak sekedar memenuhi apa yang diwajibkan hukum, tetapi tanpa melihat jiwa dari hukum itu sendiri.

Lex Talionis atau Hukum balas membalas (dalam hukum Taurat lihat misalnya Keluaran 21:23 dan seterusnya) dikritisi Yesus. Hukum-hukum itu memang sudah baik untuk mengatur hubungan antar manusia, tetapi jika hanya itu saja tidak cukup.

Begitu juga budaya dan adat istiadat kita memamg baik dan perlu karena sudah mengatur kehidupan kita selama ini, tetapi semuanya harus diuji kembali dengan prinsip anugerah dan kasih Allah apakah cocok dan sesuai atau tidak?

Oleh karena itu sebelumnya dalam Injil Matius 5:20 Tuhan Yesus menekankan bahwa sikap hidup para murid dan orang percaya harus berbeda dengan Kaum Farisi dan ahli Taurat yang lebih menekankan aspek legal atau hukum dari pada hubungan persaudaraan antar manusia (Matius 5:20).

“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”

Yesus mencela sikap hidup orang farisi yang lebih menekankan sisi legal atau menekankan Hukum Taurat dan mengorbankan persaudaraan dan tindakan kasih kepada sesama berdasarkan anugerah Allah tanpa membeda-bedakan manusia.

 “Allah yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45 b).

Bagi Yesus orang-orang beriman jangani hanya melihat kulit luar dari Taurat tanpa melihat jiwa dari Taurat itu sendiri.

Penafsir Jerman F. Rienecker, mengajak orang percaya jangan berpatokan pada hukum menurut pembalasan ku atau hukum menurut pembalasan yang diatur dalam aturan, tetapi hidup dalam hukum pembalasan kasih.

Rienecker membedakan antara “Von der Ich-Vergeltung” (Pembalasan ku), Von der Rechtsvergeltung (pembalasan menurut hukum), dan Von der Liebes-Vergeltung (pembalasan menurut kasih).

Dorongan manusia yang paling dalam adalah dorongan perilakunya untuk membalas jika disakiti. Selama dorongan ini dibangun atau bergerak pada jalan yang benar, maka hal ini dikatakan sehat atau alamiah.

Dorongan itu baru menjadi buruk, jikalau ia disertai dengan kekerasan yang tanpa peduli pada orang lain; dalam napsu ku, dalam kerakusanku, dalam ketamakanku, dalam napsu membalas dendam, dalam rasa dengki, dan dalam kebencian.

Dsb. Jahat akan dibalas dengan yang lebih jahat. Penghinaan akan dibalas dengan penghinaan yang lebih keras.

Akibatnya hubungan manusia menjadi lebih buruk dan orang tidak lagi dapat berhubungan dengan orang lain secara baik, oleh karena kehidupan pribadinya telah diracuni oleh prinsip pembalasanku.

Prinsip pembalasanku atau tunggu pembalasanku hanya akan melahirkan keretakan dan perpecahan, anarki, dan kekacauan dalam masyarakat seperti lingkaran setan yang tidak akan pernah berakhir.

Supaya pembalasan menurut ku tidak membuat masyarakat dan dunia ini kacau, maka muncullah aturan. Allah menciptakan hukum Taurat untuk mengatur manusia, sehingga manusia tidak bertindak menurut kehendak hatinya sendiri.

Aturan mengatur pembalasan yang benar. Besarnya pembalasan diukur dengan besarnya kesalahan. Sehingga menurut Hukum Taurat mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Jadi kalau satu gigi dirubuhkan oleh seseorang, maka orang hanya berhak secara Hukum Taurat meminta satu dari giginya yang dirubuhkan dan tidak menuntut lebih dari itu.

Jadi disini pembalasan menurutku di atur menurut hukum. Hukum menuntut pembalasan yang benar atau setimpal, dan bukan berlebih-lebihan menurut hawa napsu dan kemarahan.

Pembalasan menurut hukum merupakan satu tingkatan yang lebih tinggi dari pembalasan menurut aku.

Tetapi menurut Yesus, pembalasan menurut hukum memang baik dan perlu untuk mengendalikan perilaku manusia. Tetapi hukum yang tidak dilandasi dengan cinta kasih bukanlah hukum yang benar.

Karena itu Yesus lebih suka berbicara tentang pembalasan atau ganjaran menurut kasih berdasarkan anugerah Allah.

Yesus berkata kepada murid-muridnya dalam Matius 5:39 “janganlah melawan kejahatan dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan”. Artinya murid-muridnya tidak mencari pembalasan menurut diri mereka sendiri dan menurut hukum Taurat.

Kepada yang jahat mereka harus membalasnya dengan kebaikan. Dan bagi Yesus itu artinya ketika murid-murid menahan tangannya untuk membalas, mereka membiarkan tangan Allah yang bertindak bagi mereka.

Allah yang membuat yang terbaik bagi mereka. Karena Allah itu adil kepada semua orang (Ulangan 32:4; Ayub 8:3; 34:12; Mazmur 7:11; 36:6; 58:11; 65:5; 71:19; 116:5; Pengkhotbah 12:14; Yesaya 5:16; 30:18; Roma 2:5; Wahyu 15:3; 16:7).

Disini kita belajar untuk  tidak menunjukkan sikap dan reaksi yang sama persis dengan orang-orang yang berbuat jahat kepada kita.

Kita tidak  boleh menjadi hamba dari perilaku orang lain yang buruk dan membalasnya dengan  sikap dan perilaku yang lebih buruk lagi, penghinaan dibalas dengan penghinaan yang lebih buruk.

Bukanlah kata-kata dan sikap orang lain yang menjadi ukuran dan perilaku kita, tetapi kehendak dan Firman Allah itulah yang menjadi ukurannya. Makian anjing dibalas dengan anjing, lama lama kita tidak lagi memaki tetapi mengggongong: “guk-guk”, hehehe.

Kata-kata dalam ayat 40-42 mempunyai latar belakang sejarah Yahudi.

Perkataan baju dan jubah menunjuk kepada aturan taurat yang diterapkan untuk melindungi manusia bandingkan misalnya Ulangan 24:1-22. 

Menurut Ulangan 24, 10-13 seeorang berhak menuntut kembali barang pinjamannya, entah pakaian bagian atas atau  pakaian bagian bawah, tetapi itupun dengan syarat-syarat tertentu.

Misalnya orang miskin yang mengadaikan kainnya, maka barang gadaian itu harus dikembalikan si penerima gadai pada waktu matahari terbenam sehingga ia dapat menggunakannya pada waktu tidur.

Ketika Yesus meminta murid-murid untuk juga menyerahkan jubah, itu tidak menurut hukum taurat, tetapi menurut kasih dan kemurahan.

Perkataan Tuhan Yesus tentang berjalanlah juga sejauh dua mil berkaitan dengan adat istiadat Yahudi, dimana menemani seseorang yang mengadakan perjalanan.

Sangat berbahaya jika  seorang berjalan sendiri di tengah padang, maka kewajiban si pendamping untuk melindungi dari bahaya-bahaya tersebut.

Sebab jika terjadi apa-apa terhadap orang itu, jemaat atau orang dari kampung itu yang bertanggung jawab.

Bagi seorang Parisi: saya hanya menemani seorang teman yang baik, yang cocok menurut aturanku, orang berdosa tidak akan aku temani (bandingkan kisah tentang orang Samaria).

Murid-murid Yesus justru diminta untuk menunjukkan sikap yang lain untuk selalu siap untuk menemani dalam segala hal, bahkan berjalan sejauh dua mil.

Disini ajakan Yesus ini tidak menurut hukum, tetapi menurut hukum kasih, menurut sikap suka menolong dan keramahtamahan. Termasuk memberi pertolongan dan bantuan kepada mereka yang meminta bantuan seperti yang dikatakan dalam ayat 42.

Kualitas hidup beriman bukan reaktif pada sikap orang lain tetapi proaktif terhadap kasih dan anugerah Allah yang diperolehnya.

Dalam Matius 5:45-48 ditekan bahwa orang percaya harus mengembangkan sikap-sikap revolusioner yang berbeda dari biasanya sebagai cerminan dari kualitas hubungannya Allah Bapa pencipta yang bermurah hati kepada siapa saja.

Oleh karena itu benar seperti yang ditekankan oleh Udo Schnelle bahwa pemahaman teks Inji Matius 5:38-48 ini harus dalam bingkai pemahaman perikop Matius 5:1-7:29  dengan judul “die Bergpredigt”, bahasa Jerman artinya khotbah di Bukit (lihat Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, 5 Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht, Goetinggen 2005, hal. 269). 

Khotbah di Bukit dan beberapa bagian teks lainnya dari Injil Matius sebetulnya memperlihatkan atau mencerminkan etika dari Injil Matius yang menekankan bahwa para murid dan orang percaya mampu melakukan kehendak Allah sebagai syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah (bandingkan Matius 4:23; 9;35; 24:14).  Percaya kepada Yesus berarti melakukan kehendak Bapa-Nya.

Sebagaimana Yesus sendiri, taat kepada kehendak Allah (Matius 3:15), yaitu yang bermuara pada melakukan dan mewujudkan dikaiosyne (bahasa Yunani artinya kebenaran) Allah dalam kehidupan nyata (band. Matius 5:6,10, 20; 6:1, 33; 21:32).

Oleh krena itu marilah kita mengembangkan bahasa-bahasa dan budaya kasih Allah sebagai sarana kita dalam pergaulan dan relasi kita satu sama lain, sebagai cerminan relasi kita dengan Tuhan Allah pengasih dan penyanyang itu.

********

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved