Peringati Hari Buruh Internasional di Kupang, KOMITMEN Gelar Aksi Massa
Peringati Hari Buruh Internasional di Kota Kupang, komitmen gelar aksi massa
Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
Untuk jam kerja para buruh, ujar Oceph, batas maksimum kerja 8 jam per hari masih terus dilangar. Untuk memperoleh upah
yang layak, buruh dipaksa bekerja lembur melampaui batas tersebut, seringkali dengan
bayaran sangat murah.
Di lain sisi, buruh dengan orientasi seksual yang berbeda (LGBT) mengalami stigma dan didiskriminasi di tempat kerja.
"Bahkan RUKHP yang tengah disusun DPR bersama pemerintahan Jokowi mengkriminalkan mereka. Kaum buruh tetap diberangus hak-haknya untuk berserikat secara mandiri (union busting). Tidak sedikit yang
mengalami pemecatan sepihak dan dipidana karena mengadvokasi dan menuntut haknya," tambahnya.
Selain itu, dengan mengerahkan dan menempatkan tentara irganio/non organik, secara aktif dan sistematis rezim-rezim pasca reformasi yang dipilih melalui pemilu, terus menindas bangsa West Papua, menyiksa dan membunuh mereka yang memperjuangkan hak rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Mukadimah UUD 1945 dan standar HAM internasional. Hak-hak buruh PT Freeport yang dipecat dengan dalih rasionalisasi dan perampingan operasi tambang bertahun lalu
merupakan kasus klasik kegagalan pemerintah melindungi hak-hak buruh," katanya.
Selain itu, Oceph juga menjelaskan, lahan pertanian dan pemukiman diberbagai wilayah pedesaan saat ini masif dirampas tanpa
kompromi, menguntungkan petani serta keputusan pengadilan yang menguntungkan petani.
Pemerintah pusat maupun daerah, kata Oceph, selelu menggelar 'karpet merah' bagi para pemodal maupun investor di industri sawit, semen, maupun tambang.
"Dengan dukungan pemerintah dan legislator pusat maupun daerah serta aparat keamanan
(seringkali mengerahkan tentara), para oligarki bebas merusak alam, ekosistem, wilayah
hutan lindung serta komunitas adat," katanya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)