Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 12 April 2019: Oleh-Oleh ke Senayan
Oleh-oleh ini hanyalah tampilan sebuah fakta dan menjadi bahan aspiratif terutama untuk para caleg yang lolos ke Senayan.
Untuk mencapai pemerataan di bidang politik, perlu ditinjau kembali peraturan perundang-undangan yang menetapkan sistem pemilu di tanah air.
Umpamanya, menentukan quota jumlah kursi untuk WIB, WITENG dan WIT. Cara lain misalnya, setiap kabupaten/kota mendapatkan jatah awal 1 kursi untuk DPR RI, tak peduli berapapun jumlah penduduknya.
Sedangkan bagi kabupaten kota dengan jumlah penduduk tertentu bisa memperoleh tambahan kursi. Cara ini untuk memberi perhatian pada daerah-daerah otonom di kabupaten/kota seluruh Indonesia yang berjumlah tidak kurang dari 508.
Jadi setiap kabupaten/kota agar minimal mempunyai seorang wakil di DPR RI seperti di zaman Orde Baru. Hal ini sebagai pengejawantahan sila-sila Pancasila (personal communication, F. J. Pullu, SH, 11 Maret 2019).
Mengapa daerah-otonom ini perlu mendapai perhatian? Sebelum penjajahan, wilayah NTT terdiri dari kerajaan-kerajaan mandiri.
Peperangan dan ekspansi selalu mewarnai dalam perjalanannya. Kerajaan-kerajaan tersebut tersebar dari Komodo di barat sampai Kolana di timur dan dari Palue di utara sampai Rote-Sabu di selatan.
Sisa-sisa kerajaan masih ditemukan dan yang masih terpelihara adalah adat istiadat dan budaya daerah yang bisa disaksikan hingga saat ini. Adat dan budaya merupakan identitas dan kebanggaan masing-masing komunitas/daerah.
Kemandirian dan harga diri kita hari ini berakar dari bawaan adat istiadat dan budaya tersebut sebagai falsafah masyarakat NTT.
Pemahaman post modern, bahwa keyakinan dan pandangan kita akan kebenaran, berakar dari komunitas tempat kita berada. Orang-orang post modern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah.
Bagi mereka masalah pemahaman atau pandangan hidup adalah masalah konteks sosial. Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda. Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks Anda (Grenz.1996, p.29).
Umpamanya kita tidak mengenal kebiasaan minta-minta tetapi kita juga tidak menolaknya kalau itu merupakan kebiasaan di tempat lain. Ternyata kebiasaan kita itu mempunyai kotribusi terhadap kemandirian.
Dengan kalimat lain, kemandirian bukanlah hal baru bagi orang NTT.
Mari, kita lestarikan adat istiadat dan budaya serta mengembangkan kearifan lokal. Adat istiadat dan budaya terbukti mampu menuntun masyarakat NTT sejak ribuan tahun silam hingga hari ini dan akan sanggup pula membimbing kita jauh kedepan.
Alasan-alasan inilah mengapa harga kursi untuk berbagai wilyah itu harus bervariasi.
Konsep ini akan menghasilkan harga kursi yang berbeda-beda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya sebagai kompensasi terhadap luasnya wilayah yang dihuni dan identitas yang berbeda.
Dengan kata lain sistem mana saja yang digunakan atau melalui perhitungan apapun juga agar mendapatkan kursi yang seimbang antara wilayah WIB dengan wilayah WITENG dan WIT.