Opini Pos Kupang
Mutasi Subjek dari Off ke On hingga Hoaks
Artinya, menjadi subjek media sosial. Subjek dalam media sosial adalah subjek yang direpresentasikan baik secara verbal
Mutasi Subjek dari Off ke On higga Hoaks
Oleh Marsel Robot
Dosen FKIP dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan Lembaga Penelitian Undana
POS-KUPANG.COM - Ketika Anda memberikan komentar terhadap status sahabat, teman atau musuh melalui facebook, instagram, Twitter, WatsApp, You Tube, maka sedang terjadi transsubjek, dari subjek realitas eksistensial (subjek terberi) atau subjek off ke subjek On yakni "subjek curah" alias subjek yang diterbitkan dan ditertibkan oleh media sosial.
Artinya, menjadi subjek media sosial. Subjek dalam media sosial adalah subjek yang direpresentasikan baik secara verbal (bahasa) maupun secara non verbal (simbol dan perilaku bermakna), Namun, bukan subjek dalam pengertian Off.
• Intip Yuk! 19 Gaya Rambut Kece BTS Sejak Debut 2013 Hingga 2019 Bisa Jadi Refrensi Gaya Rambut Kamu
• Akhirnya Sule Bongkar Alasan Utama Diceraikan Lina Hingga Alasan Masih Pajang Foto Lina di Rumahnya
• Ramalan Zodiak Senin 11 Maret 2019, Aquarius Beruntung, Libra dan Scorpio Waspada
Diferensitas subjek Off dan subjek On tidak dapat divalidasi dengan cara apapun. Keduanya menyatu seperti self (kemampuan diri sendiri untuk menerima diri sebagai objek) dan me (ku), yang berbeda dengan "I" (saya) dalam terminologi George Herbert Mead (baca, teori Interaksi Simbolik).
Satu hal yang dimungkinkan pada subjek On adalah menyempitnya "ruang bawah sadar ditimbun informasi instan yang datang mengepung tanpa henti. Akibatnya, subjek On cenderung terlegokan dalam kecerdasan artifisial.
Subjek On berbasis informasi dan "tanah airnya" adalah media sosial. Subjek On dipersatukan oleh kepentingan, selera, dan kesenangan tertentu. Salah satu ciri subjek On ialah `sosialita jejaring berbasis internet" yang lintas batas kultural, lintas batas geografis, lintas batas negara, lintas batas agama, lintas batas etis.
Subjek On sangat tergantung pada ritme situasi (konteks) dan cenderung bertendens. Subjek On balepotan dengan informasi dan frekuensi tinggi tanpa mengalami ruang dan waktu. Dengan begitu, subjek On mudah tergelincir dalam cobaan sosial, semisal hoaks, ujaran kebencian, atau fitnah.
Subjek On selalu muncul dalam berbagai manipulasi, baik dalam bentuk instansi (bentuk-wadah) maupun dalam bentuk substansi (konten-isi). Dengan kata lain, subjek On mudah dinegosiasi oleh konteks dan informasi yang menerpanya.
Kasus demonstrasi sebagian umat Muslim di Solo yang mencurigakan mozaik mirip salib di jalan Jenderal Sudirman merupakan pesan konteks. Subjek (orang-orang) yang memviralkan mozaik mirip Salib dengan berbagai pelintirannya belum tentu anti Kristen atau membenci umat Kristiani. Ini sungguh hasil negosiasi dengan konteks.
Dalam kasus yang lebih luas misalnya, politik identitas (agama) yang kini sedang membara dalam sekam perpolitikan Indonesia dimana agama dijadikan belati yang menyerang kelompok tertentu. Fenomena ini sangat boleh jadi pesan konteks (politik).
Konteks itulah yang membimbing subjek On untuk terlibat dalam hoaks, ujaran kebencian, fitnah atau caci-maki.
Pembuat konten hoaks misalnya, tidak hirau dengan risiko sosial yang diakibatkan hoaks atau ujaran kebencian yang dibuatnya. Sebab, mereka hanya pekerja, tukang order yang kadang tidak mempunyai kebencian secara pribadi dengan kelompok tertentu.
Sifat subjek On yang bisa dinegosiasi, maka sulit divalidasi karakteristiknya. Lazimnya, negosiasi subjek On bergerak dalam tiga pilihan. Pertama, segera masuk dalam kategori tertentu dan berusaha membangun komunitas berbasis kepentingan (semisal grup-grup WatsApp).
Kedua, atau masuk kategori rivalitas atau pertentangan. Ketiga, mengambil posisi netral. Demikian juga, kadar keterlibatannya dalam sebuah kategori bisa saja mendua, labil dan kadang ganjil.
Ketiga kategori tersebut secara rinci sulit diukur kadar keberpihakannya dan pertentangannya. Dalam konteks subjek di media sosial, kategori usia, pendidikan, jenis kelamin, agama, suku, sama sekali tidak relevan.
Jika melihat subjek-subjek yang dihadirkan, yang muncul adalah subjek kepentingan (subjek politik, subjek agama, subjek ekonomi). Di sanalah muncul narsistik kolektif yang dibangun dengan batu bata kepentingan.
Bangkrutnya Demokrasi
Jika dibilang, pihak yang memproduksi dan melakukan ujaran kebencian, hoaks, fitnah dianggap masyarakat yang tidak kritis atau tidak literatif. Maka pertanyaan yang mengepung kita ialah, masa kita ragukan kecerdasan Ratna Sarumpaet, atau Profesor Amien Rais?
Jadi subjek On, sesungguhnya tidak relevan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Subjek On berbasis informasi dan mendirikan menara narsistik kolektif dalam grup-grup media sosial untuk memelihara kepentingan. Dengan demikian, keadaan itu sangat tergantung pada konteks dan pilihan keterlibatan dalam konteks tersebut.
Sebab, dalam diri kita sebenarnya ada perangai atau watak hewani, kadang bertindak di luar pemikiran rasional yang oleh psikolog Sigmud Freud disebut id. Kita memang binatang berakal, dan jika dominan berperilaku binatang, maka kita dikategorikan berakal binatang.
Subjek On yang bertanah air di media sosial dimana dirinya bukan lagi sebagai pusat ide. Ia tersingkir dari otoritas subjek sebagai pusat ide yang oleh Descartes disebut cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).
Hakekat subjek On memiliki hubungan dengan informasi yang terus-menerus menerpa dan kemudian menjadi sangat tergantung padanya. Di sana ada otonomi dan otoritas yang berbeda dengan sifat alami diri. Pada subjek On otoritas subjek sebagai pusat ide, gagasan, atau pengetahuan diringkaskan dan kadang tersingkirkan sama sekali.
Pada sisi lain, demokrasi adalah kebutuhan akan kebebasan berpikir, kebebasan berbeda, dan terpenting berani menerima perbedaan secara rasional.
Dengan demikian, demokrasi modern sangat tergantung pada pemikiran kritis, kecerdasan, dan kebebasan berbeda. Dalam konteks demikian, subjek On dapat menghidupkan demokrasi karena bertambahnya pengetahuan melalui informasi yang benar.
Sebaliknya, ia menjadi subjek berbisa (beracun) apabila ia tak mampu meliterasi informasi atau, ia ikut dalam pembuatan dan pembiakkan hoaks misalnya.
Karena itu, ketika subjek On telah mendirikan narsisme kolektif sebagai rumah adat, mereka merasa unggul dan memandang rendah terhadap kelompok lain, maka keadaan itulah yang menyuburkan benih hoaks dan ujaran kebencian. Dan saat bersamaan, terjadi dekadensi atau pembangkrutan demokrasi. Gosip, bisik, dan kebohongan tergenang di aula pemikiran sekaligus menjadi hama demokrasi.
Semestinya, era keterbukaan informasi dan pesatnya teknologi informasi dipahami sebagai era pencerahan. Keterbukaan informasi akan melahirkan transparansi dan kejujuran. Hanya dalam terang informasi, perilaku mudah dikontrol dan cenderung berbuat baik.
Sebaliknya dalam kegelapan informasi, cenderung melakukan maksiat sosial dan kekuasaan terus menutup ventilasi informasi. Jika segalanya terang dan terbuka, maka sesungguhnya kerja pihak kepolisian semakin berkurang, kerja pihak kejaksaan kian sedikit, kerja Komisi Pemberantasan Korupsi tidak banyak.
Masyarakat kita lagi asyik secara berjemaah melakukan mutasi gen sosial atau
transsubjek. Sayangnya, transsubjek tanpa daya kritis dan tradisi literasi yang kuat,
maka sulit membedakan sebuah informasi yang benar dan informasi sampah seperti
hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, dan sejenisnya. Di sanalah
demokrasi disusutkan mejadi sekadar berbeda untuk saling menghujat.
Aneh memang, dan memang aneh, ketika negara ini semakin tua usianya,
malah kehidupan demokrasinya masih ingusan, bahkan kualitas demokrasi cenderung menurun jauh. Orang-orang cerdas dan negarawan tak mampu menghalau godaan sosial (kepentingan). Kepentingan lazimnya menafikan hal penting.
Dalam konteks itu, media sosial berperan menggembur keadaan hingga terjadi semacan turbulensi sosial. Padahal, media sosial mesti diterima sebagai meja perjamuan kemanusiaan dimana demokrasi dan romantisme kehidupan dimuliakan.
Di sanalah bunga-bunga pluralitas mekar, aromanya menyapa dunia, akarnya menghujam di hati dan pikiran kita. (*)