Telaah : Ini Seputar Polemik tentang Kafir
mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka
Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dengan realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural.
Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan pseudo meritokrasi, ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya.
Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama'i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya.
Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis. Namun, mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin).
Kalau demikian adanya, maka itu merupakan "pandangan hukum keagamaan atau fatwa". Oleh karena itu terserah kepada "pasar bebas", mau membeli atau menolak. Maka, tidak usah ribut dan repot. Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral "jangan mudah menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, karena itu tidak bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan".
Maka, kepada umat Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yang saling mengkafirkan, saling menghina seperti kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)! Sesuai Firman Ilahi, "yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina". Allahu a'lam bis shawab. (Yangon, 5 Maret 2019).*
*)Ketua Dewan Pertimbangan MUI