Telaah : Ini Seputar Polemik tentang Kafir
mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka
Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap "pihak lain atau pihak luar", seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik.
Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerja sama antar agama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah "pemeluk agama lain" seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dan seterusnya, bahkan istilah Bahasa Inggeris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama-agama lain).
Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan. Istilah atau konsep muwathin (citizenshipatau warga negara) adalah lain.
Konsep ini sudah lama ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles).
Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa', Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi', Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesquieu, John Lock, atau Hegel.
Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan).
Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukakan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sebagai padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).
Dalam Pesan Bogor yang dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yang pertama: i'tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah).
Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara.
Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah. Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial.
Arus migrasi antarnegara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran. Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.
Dalam konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia dari awal kelahirannya sudah memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yang oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Februari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama.
Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul 'Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktekkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerja sama antar anak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan eksklusif lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.
Implementasi muwathanah/ kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi political liberty and equality (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual).