Berita Cerpen
Cerpen Gensy Fallo : Raibnya Senja dan Gadis Penjaja Kopi
"Kakak, kopi satu," serunya kepada gadis penjaja kopi yang duduk berteduh di balik tenda lusuh.
Penulis: PosKupang | Editor: Apolonia Matilde
SEPERTI biasa lelaki paruh baya itu menghabiskan waktu senggangnya di tepi pantai dengan rokok yang terus menempel di bibirnya dan asap terus mengepul menutupi wajahnya.
Konon ia pernah bersembunyi dari kejaran ayahnya di balik semak belukar dan rokok berbatang-batang ludes dibakar sekadar untuk mengusir nyamuk yang berlomba menghisap darah dari tubuh kurusnya.
Namun, setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas di kampungnya, ia dipercayakan untuk melanjutkan studinya di
salah satu universitas di Kupang.
• Jelang Pasola Wanokaka, Wabub Marthen Ngailu Toni Minta Semua Penonton Kenakan Pakaian Adat Sumba
Petuah ayah dan ibu selalu saja terngiang di telinganya, "Utamakan kuliah. Setelah itu barulah kau pikirkan untuk menikah, " kata ayahnya suatu senja ketika ia akan berangkat kembali ke Kupang.
Rasa takut terus menghantui manakala terbayang kuliah yang mogok dikarenakan gadisnya yang lebih dahulu hamil. Kerapkali ia menepis imajinasi yang menjelma momok menakutkan itu dengan duduk berlama-lama di tepi pantai sembari melewatkan senja memerah di ufuk barat dengan rokok dan kopi.
Baginya, senja indah nan singkat itu perlu dihantar ke peluk malam sehingga pacar yang paling setia menemaninya duduk adalah kopi pemelek mata dan rokok pembangkit imajinasi.
Sering ia terlanjur datang lebih awal sebelum sang surya kembali tampak merahkan ufuk barat. Dan begitulah yang terjadi sore ini. Kuliahnya keburu selesai karena dosen yang absen datang kampus.
• Gara-Gara Chat WA, Pria Ini Pukul dan Tendang Perempuan di Konter Handphone, Ini Kisahnya
"Kakak, kopi satu," serunya kepada gadis penjaja kopi yang duduk berteduh di balik tenda lusuh. Setelah memesan kopi, ia berlalu dan memilih tempat duduk di sudut agar leluasa matanya menatap ombak yang terus menghempas tembok pembatas laut dan daratan tempat para penjaja kopi mencari laba dan para fotografer memotret para pengunjung tempat yang akrab disebut Lopo Oesapa.
"Ini kopinya, Kak. Silahkan diminum, nanti keburu dingin," ucap gadis penjaja kopi sembari tersenyum menampakkan gingsul yang membuat dagu lancipnya membentuk serupa panorama indah.
Seolah terhipnotis, lelaki paruh baya yang baru saja akan menyelesaikan ujian semester satunya itu terperangah.
Cepat-cepat gadis itu berbalik menenteng baki dan pergi. Ombak yang menjadi objek paling hangat dipandang sekejap derunya merajam rasa tak tentu di dadanya.
Penantian terhadap senja yang selalu menggelitik mata dan imajinasi pun beralih menjadi keinginan sekadar berkenalan dengan gadis penjaja kopi yang manis itu.
"Kakak Nona, boleh tambah lagi gula? Kopi ini terasa hambar!" Ucap lelaki itu dengan tangan menjulurkan gelas kopi yang belum juga ia seruput.
• Gaji Wasit-wasit di Italia, Rp 60 Juta Setiap Kali Tampil
Rupanya itu alasan untuk membangun relasi sederhana dengan gadis manis itu. "Iya boleh, Kak! Saya pikir perokok itu suka kopi yang pahit, " balas gadis itu tanpa merasa berdosa sedikit pun.
Ia menambahkan gula sesendok lalu menyuruh lelaki itu menyeruputnya.
"Cukup! Ini baru namanya kopi racikan gadis manis. Saya memang suka kopi yang pahit, tapi semenjak melihat kamu, aku mulai suka kopi manis."
Gadis itu terbuai dengan kata-kata sang lelaki berhidung mancung itu. Seketika keduanya tertawa lepas membiarkan lalu lalang pengunjung mengumpat dengan mata sinis.
Keduanya saling menjabat tangan sembari menyebutkan nama masing-masing. Sempurna! Keinginan Leang, lelaki paruh baya itu tercapai.
"Oh iya Sis, saya ke sana sebentar," pamit Leang kepada gadis bernama Siska itu.
Ia kembali ke tempatnya lalu mengeluarkan handphone dari kantong celananya. Ia mulai ritualnya dengan memotret merah senja, seruput kopi, dan menghisap rokok. Berulang kali ia lakukan ritualnya hingga senja benar-benar pergi ke peraduan.
• Analisis Gestur: Monica Simpulkan Jokowi dan Prabowo Berhasil Sampaikan Argumen Secara Damai
Sedang imajinasinya terus mengitari wajah manis Siska, ia menulis caption untuk gambar senja yang baru saja ia abadikan di facebook-nya.
"Serupa puisi senja, wajahmu kini aksara yang mencari tempat di hatiku."
***
Sepulang liburan semester ganjil, Leang ingin mengulangi lagi ritualnya di tempat yang sama, Lopo Oesapa. Kali ini ia berencana mendatangi tempat yang sudah ditinggal dua bulan lamanya dengan membawa setangkai mawar merah.
Di bagian tangkai mawar akan ia tulis puisi sebagai ungkapan perasaan untuk gadis penjaja kopi di pinggir pantai. Semalam suntuk ia menulis puisi itu. Sebungkus rokok ia sulut satu per satu hingga puisi itu kelar ditulis. Sedang kopi pun terus diseduh.
Begitulah ia ingin sekadar menepis rasa takut akan petuah ayahnya kala ia akan berangkat ke Kupang.
Pagi ini ia bangun lebih awal dari biasanya dan mendatangi tempat di mana bunga mawar dijajakkan. Ia memilih setangkai mawar merah yang menurutnya indah lalu membayar kepada kasir dan beranjak pulang ke kost.
Dibungkusnya mawar dan puisi tersebut dalam kotak kado yang berbalut kertas merah muda bergambar jantung dengan tulisan 'Happy Valentine Day'. Tak hanya sampai di situ persiapannya. Motor Satria FU hitamnya pun dicuci bersih.
Berulang kali ia menatap arloji yang melingkari pergelangan. Tak sabar lagi hasratnya menemui gadis penjaja kopi itu. Jarum jam serasa lambat meniti lingkaran dua belas angka di balik kaca bening itu.
Sambil menanti jarum jam terpojok ke angka empat, ia berbaring sebentar. Kilas wajah Siska memenuhi kepalanya. Bagaikan album foto yang disetel slide, terus-menerus wajah manis plus dagu lancip itu mengitari pikirannya.
• Jangan Mengukur Kehidupan Sorgawi dengan Cara Pandang Dunia! Mengapa?
Sesekali ia menatap handphone, menggeser layarnya dan menemukan ikon facebook. Diketuk sekali lalu muncul gambar dan tulisan yang diunggah teman-temannya di kabar berita.
Sesekali ia menekan tanda jempol di pojok kiri bawah gambar-gambar tersebut.
***
Kurang seperempat pukul empat ia sudah siap berangkat ke Lopo Oesapa tempat gadis penjaja kopi dan senja yang sempurna dapat ditemukan.
"Kok tempat ini sepi sekali? Apakah pemerintah sudah menggusur tempat dan para penjaja di sekitar sini pun dipindahkan ke tempat lain?" Tanya Leang kepada seorang perempuan tua yang sibuk mengumpulkan plastik-plastik bekas air mineral yang berserakan.
Ia heran mendapati tempat biasa ia nongkrong dan menghabiskan waktu berjam-jam sudah rata. Tak ada lagi kafe-kafe dan penjaja kopi di sekitar tempat itu.
"Bukan pemerintah. Beberapa waktu lalu, hujan deras dan air laut naik sehingga menyapu bersih tempat ini. Semua orang sudah jarang ke sini. Tempat ini sepi sekali," ulas perempuan tua itu sembari tangannya terus memungut plastik-plastik bekas.
• Program BLOOM di Nagekeo,125 Remaja Diwisudakan
Tanpa bertanya lebih lanjut, Leang memutar motornya dan berbalik ke kost dengan rupa-rupa tanya penuh kecewa mengantre di kepalanya. Pulang mungkin pilihan terbaik untuk saat ini.
Tak ada lagi yang perlu ditemui di tempat ini. Senja terlanjur beranjak gelap. Siska pun demikian. Untuk hari ini, senja dan Siska terlanjur raib sebelum ia berhasil menyodorkan kado untuk gadis itu dan mengajaknya bercerita tentang banyak kisah.
Setibanya di kost, Leang mengunci pintu kamarnya dan mulai menulis cerpen ini. Entahlah, ia benar-benar kecewa. Memang ia tidak tahu soal air laut yang menerjang pantai Oesapa sebab di kampungnya tidak ada signal dan listrik sehingga informasi-informasi penting susah diperoleh.
"Nasib anak kampung memang begini. Sudah tidak ada pacar, jaringan pun ikut-ikutan lagi," desah Leang penuh kesal.
(Gensy Fallo, adalah Mahasiswa semester II, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Nusa Cendana Kupang).