Opini Pos Kupang

Dari Via Dolorosa Menuju Via Laetitia Tentang Jalan Daerah di NTT

Kita berharap dengan perlahan-lahan status jalan `via dolorosa' yang begitu banyak di NTT bisa berubah menjadi `via laetitia' (jalan sukacita)

Editor: Ferry Jahang
istimewa
Isidorus Lilijawa 

Dari Via Dolorosa Menuju Via Laetitia
(Tentang Jalan Daerah di NTT)

Oleh Isidorus Lilijawa
Tenaga Ahli DPR RI

Pada tanggal 27 Oktober 2018 lalu, bersama Ketua Komisi V DPR RI, Fary Francis, saya ikut dalam perjalanan menuju desa Fatululat Amfoang Tengah.

Di sana diagendakan pertemuan bersama warga masyarakat dari beberapa kecamatan di Amfoang. Kami berangkat pukul 06.00 pagi melewati jalur Takari -Lelogama -Fatululat.

Kondisi jalan yang rusak berat mengakibatkan perjalanan dirasa begitu lama. Kendaraan-kendaraan kecil perlu perjuangan ekstra keras melewati jalur ini. Kendaraan motor roda dua pun butuh skill khusus pengendaranya agar dapat melewati jalanan berbatu dan berlobang.

Kami tiba di tempat kegitan sekitar jam 10 pagi. Jarak tempuh yang hampir 40-an kilometer dengan durasi waktu 4 jam.

Inilah kondisi nyata jalanan di Amfoang Kabupaten Kupang yang benar-benar menjadi `via dolorosa' (jalan dukacita). Memang sudah ada beberapa terobosan dan perjuangan untuk meretas isolasi Amfoang.

Pembangunan jalan Poros Tengah yang tetap dikawal Ketua Komisi V DPR RI sudah cukup membantu warga.

Namun belum sepenuhnya menjadikan via dolorosa warga Amfoang berganti via laetitia (jalan sukacita) karena masih puluhan kilometer yang belum tertangani.

Angin segar dilontarkan Gubernur NTT untuk membangun infrastruktur Amfoang dengan anggaran Rp. 250 miliar. Yah, mudah-mudahan terobosan ini dapat menjawab salah satu persoalan infrastruktur yang sering dikeluhkan masyarakat Amfoang soal jalan.

Banyak jalan-jalan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) saat ini dalam kondisi rusak berat, kurang terawat, dan memprihatinkan.

Konteks NTT

Kondisi mantap jalan negara di NTT mencapai 99 persen dari total panjang jalan negara 1.400 kilometer. Ada juga 1.100 kilometer jalan dengan status jalan strategis nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Untuk jalan negara, dana APBN mengkover semua pembiayaan sehingga kondisinya mencapai 99 persen mantap.

Berbeda dengan kondisi jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota. Sepanjang 709 kilometer jalan provinsi di NTT masih dalam kondisi rusak berat atau sekitar 26,75 persen dari total seluruh ruas jalan provinsi di NTT sepanjang 2.650 kilometer.

Tercatat sepanjang 1.444 kilometer ruas jalan provinsi dalam kondisi baik, kondisi sedang sepanjang 247,8 kilometer, dan rusak ringan 249,1 kilometer.

Minimnya anggaran menyebabkan jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota saat ini dalam kondisi tidak terawat dengan baik.

Setiap tahun NTT mendapat alokasi dana untuk pembangunan jalan provinsi sepanjang 50 kilometer dan pemeliharaan hanya 10 persen.

Ini tentu sangat minim dibanding kondisi jalan provinsi yang ada di 22 kabupaten. Jika dibagi rata, masing-masing daerah cuma mendapat 2 kilometer per tahun.

Belum lagi jalan kabupaten/kota yang menjadi kewenangan daerah masing-masing dengan total panjang 1.400 kilometer. Minimnya dana dari APBD dapat menghambat pembangunan jalan kabupaten/kota.

Kondisi infrastruktur jalan yang rusak ini mengakibatkan akses dari tempat yang satu ke tempat yang lain menjadi sulit. Bahkan jalan-jalan di NTT cenderung memiliki nama yang sama yakni `via dolorosa' (jalan dukacita).

Perlu banyak pengorbanan baik tenaga, material, pikiran dan energi untuk melewati via dolorosa ini.

Rentang jalan pendek tetapi durasi waktu tempuh berjam-jam. Bahkan hanya bisa dilalui kendaraan-kendaraan besar. Jalanan berbatu dan berlubang selalu menimbulkan risiko entah kendaraan rusak atau pengendara yang jatuh.

Malah ada istilah seperti ini: jika melewati jalan dengan kondisi demikian ada dua situasi yang bisa saja terjadi, jika tidak makan lumpur berarti makan debu atau sebaliknya.

Soal Regulasi

Mengapa ada gap yang besar antara kondisi jalan negara dan jalan daerah? Sampai saat ini pemerintah pusat tidak dapat membangun di jalan milik provinsi atau kabupaten/kota.

Demikian juga provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat membangun di jalan negara. Regulasi tidak mengizinkan itu.

Kondisi inilah yang mendorong Komisi V DPR RI periode ini menggodok RUU tentang jalan.

Komisi V DPR RI sepakat bahwa status jalan sering menjadi hambatan bagi pemerintah dalam melakukan intervensi pembangunan. Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah merubah regulasinya.

Sambil menanti perubahan regulasi soal jalan, pemerintah pusat telah melakukan kebijakan untuk turut serta membangun jalan daerah yakni dengan status strategis nasional yang di NTT panjangnya mencapai 1.400 kilometer.

Bahkan akses masuk ke tempat wisata, ke terminal, pelabuhan dan bandara juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Jika RUU Jalan itu diterima dan disahkan menjadi Undang-undang, maka pemerintah pusat pun memiliki kewenangan untuk membangun jalan provinsi dan kabupaten/kota.

Di NTT, dengan kondisi jalan negara yang saat ini sudah mencapai 99 persen mantap, maka ke depan tinggal pemeliharaan saja, dan sebagian dana bisa dialokasikan untuk membangun jalan provinsi dan kabupaten/kota.

Bahkan ada terobosan dari Kementerian PU yang sudah merancang penambahan satu Dirjen lagi yakni Dirjen Jalan Daerah yang khusus menangani jalan daerah.

Itu berarti, pemerintah pusat sudah memiliki acuan untuk membantu meningkatkan jalan-jalan daerah menuju kondisi mantap.

NTT Bangkit

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakilnya Josef Nae Soi memiliki energi dan terobosan luar biasa dalam menuntaskan persoalan infrastruktur jalan di NTT.

Sepanjang 709 kilometer jalan yang rusak berat menjadi prioritas pembangunan selama tiga tahun ke depan.

Prioritas-prioritas ini diharapkan dapat memberikan daya dukung terhadap perkembangan ekonomi terutama di daerah pelosok baik dari sektor pertanian, pariwisata, dan lainnya.

Untuk mewujudkan prioritas ini, pada tahun anggaran 2019 mendatang, Pemprov NTT mengalokasikan dana sebesar Rp 636 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) I untuk mewujudkan program pembangunan jalan provinsi sepanjang kurang lebih 176 kilometer.

Kebijakan anggaran ini sudah tercatat dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran Penetapan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS).

Dana tersebut tidak termasuk untuk jembatan, embung, pemeliharaan daerah irigasi, dan pembangunan daerah irigasi. Jadi anggaran untuk jalan ini meningkat signifikan.

Demikian penjelasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTT, Andre W Koreh.

Untuk menuntaskan pembangunan jalan provinsi, Pemprov NTT menetapkan skala prioritas untuk ditangani pada tahun 2019 mendatang.

Untuk Pulau Timor, Pemprov NTT memprioritaskan pembangunan ruas jalan provinsi tepatnya jalur Bokong-Lelogama di Kabupaten Kupang sepanjang 40 Km, Pulau Sumba diprioritaskan pada pembangunan ruas jalan provinsi jalur Nggongi-Malahar di Kabupaten Sumba Timur sepanjang 20 Km.

Di Pulau Flores diprioritaskan pembangunan ruas jalan provinsi jalur Bealaing-Mbasang-Mukun, Kabupaten Manggarai Timur sepanjang 17,5 Km.

Sedangkan untuk kabupaten-kabupaten lain yang ada jalan provinsi namun belum masuk dalam skala prioritas untuk ditangani tahun 2019, tetap ada intervensi sepanjang 4 Km per kabupaten.

Pembangunan 4 Km itu pun tidak dihabiskan dalam satu ruas jalan, karena ada jalan provinsi di kabupaten yang jumlahnya lebih dari satu ruas.

Dengan pioritas ini, maka terjadi pergeseran pola penanganan infrastruktur jalan di NTT. Jika sebelumnya yang dikedepankan adalah aspek keadilan dan pemerataan setiap kabupaten/kota, maka saat ini penekanannya adalah membangun infrastruktur dalam satu ruas prioritas hingga tuntas.

Pendekatan sebelumnya, anggaran pembangunan jalan dibagi merata ke setiap kabupaten. Penanganannya pun tidak tuntas karena anggaran terbatas sedangkan bentangan jalan cukup panjang.

Namun, dengan pendekatan terkini, dipastikan dalam satu tahun anggaran ada tiga atau empat ruas jalan yang ditangani secara tuntas.

Kita berharap dengan terobosan-terobosan ini, perlahan-lahan status jalan `via dolorosa' yang begitu banyak di NTT bisa berubah menjadi `via laetitia' (jalan sukacita).

Ini akan terjadi jika pembangunan jalan itu berhasil meretas isolasi antar wilayah, dapat dengan mudah menghubungkan rakyat dari satu tempat ke tempat lain, kepentingan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial mudah dijangkau, transportasi dari desa ke kota lebih gampang.

NTT bangkit NTT sejahtera itu adalah soal bagaimana membangkitkan NTT dari kondisi belum merdeka dalam aspek pembangunan infrastruktur dan bagaimana menyejahterakan rakyat dengan kondisi jalan daerah yang kian mantap. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved