Salman Rushdie: Saya Tak Ingin Bersembunyi Lagi

Rushdie berhenti menggunakan nama palsu pada 11 September 2001, ketika Teheran mengatakan, ancaman eksekusi terhadap dia sudah berakhir.

Editor: Ferry Ndoen
AFP/JOEL SAGET
Penulis buku The Satanic Verses, Salman Rushdie. 

Rushdi menambahkan, bukunya yang menghebohkan itu amat disalahartikan.

"Sebenarnya, itu adalah novel yang berkisah tentang para imigran Asia Selatan di London," kata dia.

Salah seorang kawan Rushdie, penulis Inggris berdarah Pakistan Hanif Kureishi mengatakan, hari ini tak ada seorang pun yang berani menulis " The Satanic Verses" apalagi menerbitkannya.

Kureshi, penulis novel "The Black Album" yang banyak mendapat pujian yang berkisah soal para pemuda Muslim Inggris yang terpapar radikalisasa, mengaku saat membaca buku Rushdie dia tak menyangka karya tersebut akan memicu kontroversi.

"Saat itu saya tidak menemukan apapun yang bisa menyinggung kelompok fundamentalis. Saya memahami buku itu sebagai kisah tentang psikosis, pembaruan, dan perubahan," kata Kureshi.

Namun, kontroversi seputar buku Rushdie itu menjadi sebuah awal bangkitnya politik Islam.

Penulis dan jurnalis India Salil Tripathi dari PEN International, yang mengkampanyekan hak-hak para penulis, mengatakan, dia berharap penerbit besar masih berani untuk mencetak "The Satanic Verses".

"Di India dengan nasionalisme Hindu, orang amat takut berbicara soal para dewa dan dewi karena tak tak konsekuensi apa yang akan menimpa. Ancaman kelompok fundamentalis telah meningkat secara fenomenal,"kata Tripathi.

Sekarang, intimidasi dilakukan kelompok massa dan bukan lagi pemerintah. Tripathi menilai, sebagian tokoh agama membutukan kemarahan massa untuk publikasi.

Menurut Tripathi, kondisi ini amat menakutkan khususnya bagi para penulis sebab kondisi intoleransi yang kompetitif terus tumbuh.

Sean Gallagher, dari Index of Censorship yang berbasis di London, mengatakan bahwa dunia belum bergerak banyak sejak masalah Salman Rushdie.

"Isu yang kita hadapi sekarang masih sama. Debat soal hukum penistaan agama menjadi bagian pembicaraan yang terus terulang," ujar Gallagher.

"Amat penting bagi kita untuk terus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan dialog antarbudaya," tambah dia.

Sementara, Rushdie mencoba untuk bersikap filosofis saat ditanya soal bukunya yang kontroversial itu.

"Saya ingin mengambil posisi Edith Piaf: Je ne regrette rien (tak ada penyesalan)," ujarnya mengutip kalimat dalam lagu terkenal penyanyi Perancis itu. (*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved