Berita Kota Kupang Terkini
Dicky Senda Dari Urus Kampung Sampai ke Inggris, Apa Yang Sudah Dilakukannya?
Sudah memiliki pekerjaan dan mapan namun sastrawan Dicky Senda memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Mollo. TTS dan berkarya di sana
Penulis: Hermina Pello | Editor: Hermina Pello
Namun dia sadar tidak bisa bergerak sendiri. Sehingga apa yang sudah dimilikinya yakni jejaring sosial untuk mencari orang yang memiliki visi yang sama.
Dengan jejaring yang dimilikinya dan melalui media sosial, Dicky lalu bertemu dengan orang yang sama-sama memiliki visi yang sama, terutama anak-anak dari TTS yang ingin membangun kampung di TTS.
"Saat bersuara di medsos, buat caption apa keinginan mau dibuat. Lalu ketemu belasan orang muda Timor, kebanyakan dari TTS kuliah di luar NTT. Mereka ada niat tapi susah karena tidak ada teman," jelas Dicky,
Atas keinginan bersama juga, mereka membuat komunitas yang diberi nama Lakoat.Kujawas yang beralamat di Jalan Kampung Baru, Desa Taiftob Kecamatan Mollo Utara, TTS.
Nama komunitas ini merepresentasikan mimpi dan harapan untuk hidup lebih baik di kampung sendiri
Pada tahun 2016, komunitas Lakoat.Kujawas fokus pada literasi karena masalah paling besar di TTS adalah kualitas pendidikan, putus sekolah tinggi dan anak tidak mendapatkan akses pendidikan yang baik, fasilitas pendidikan dan kualitas guru seadanya. Kondisi itu juga yang membawa banyak anak-anak terjerumus dalam human trafficking.
"Kami merasa bahwa literasi bisa menjadi pintu masuk dan solusi. Pertama kami buat perpustakaan tapi dalam perjalanan, aktivitas baca buku terlalu sederhana, dan terlalu kurang. Kami pikir, harus berlari lebih cepat, menciptakan sesuatu. Lalu kami membuat komunitas seni," katanya
Kegiatan yang lebih beragam tersebut mendorong banyak kreativitas, dengan adanya kelas teater, tari, musik dan menggali tradisi lokal. Bagaimana teater modern dikreasi dengan seni bertutur orang Mollo.
Tarian modern dihubungkan dengan Bonet dan lainnya. Itu sebagai bagian dari menggali identitas.
Namun dalam perjalanan dia merasa bahwa tidak ada dampak kalau tidak ada identitas yang kuat dan nilai yang kuat. Sehingga mereka bersama mencari identitas apa yang paling kuat dari Mollo yang bisa mewakili generasi muda.
"Kami lahir dari keluarga yang tidak membiasakan bahasa daerah. Generasi baru yang tidak tahu tradisi tutur. Sehingga ini juga bagian dari gerakan pulang kampung. Dengan kesadaran mau kenal kampung, budaya dan apa yang bisa kami buat," ujarnya..
Kegiatan bersama 140-an anak di kampung tersebut ternyata mendapat respon positif karena mereka bisa salurkan kreativitas.
Sekolah ternyata belum menjawab keinginan mereka untuk kembangkan potensi diri dan komunitas menjawab keinginan mereka.
Dalam perjalanan, orang tua melihat ada perubahan dalam diri anak-anak, dimana anak bisa belajar antri, saling menghargai, sabar dan lainnya. Sehingga orang tua pun mau bergabung karena ternyata ada kerinduan dari orang tua.
"Berkebun saja tidak cukup bagi orang tua dan mereka ingin menyalurkan ekspresi diri sehingga komunitas ini melebar dengan orang tua juga. Saya selalu tawarkan apa ide mereka, karena mereka ada impian dan keinginan," ucapnya.